Siapa yang tak mengenal kapitalisme? Jika baru mendengar atau tak tau bagaimana awal kehidupannya sampai sekarang, seperti yang saya rasakan, maka mari mulai saja meskipun diri kita masih tergolong kere secara ekonomi, sosial dan politik.
Secara sederhana sistem kapitalisme merupakan sistem yang bergantung pada eksploitasi total, bila dipandang dari segi ekologi. Namun dalam definisi kesejarahannya, kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenis, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya (Kristeva, 2010).
Sejak mula kemunculan sistem kapitalis sudah dianggap aneh dalam sejarah. Pada abad 16, kapitalis hadir di Inggris sebagai respon kemajuan peradaban. Untuk membedakan kapitalis dengan sistem ekonomi lainnya bisa dilihat dari adanya manusia yang hanya menjual tenaga kerjanya, tanpa mempunyai barang komoditi.
Pasar, laba, sewa, modal, dan barang adalah kerangka pokok dari sistem ekonomi kapitalis. Atau dalam istilah fukuyama dalam buku the end historis, "sistem ini telah merasuk ke segala penjuru tingkah laku manusia. Sehingga bagi fukuyama, sistem ini adalah sistem terakhir umat manusia.
Pemisahan antara sarana produksi atau (lahan garapan, alat kerja, dll) merupakan poin dari sistem kapitalis. Sistem ini tidak ada kemiripan sama sekali dengan melepas burung merpati dari kandang. Ini lebih mirip dengan melepas kerbau gila di tengah pasar yang ramai (Dede Mulyanto, 2016: 19).
Contoh di atas adalah analogi dari sistem kapitalis yang perlahan membunuh korban yang tidak memiliki kekuatan bertarung di dalamnya. Sebuah penghancuran paripurna terhadap tatanan sosial tradisional.
Kembali ke Inggris, di mana sistem ini didirikan, bahwa petani yang awalnya memiliki lahan garapan dipisahkan oleh undang-undang yang baru dilegalkan oleh pemerintah. Yakni, disahkannya undang-undang Bill of Inclosure of Common (undang-undang agraria).
Pada abad 18 sampai 19, kemapanan kapitalis sangat begitu nyata. Di Inggris, kampung halaman industri, terjadi pengkaplingan dan perampasan lahan gila-gilaan. Belum lagi dengan disahkannya dua undang-undang yang berujung pemberantasan 18 ribu lahan tani di pedesaan demi berdirinya Industri.
Sejarah ini menjadikan petani yang tidak bisa bercocok tanam terpaksa bekerja sebagai buruh-upahan demi memenuhi sandang, pangan, dan papan. Walau nyatanya kerja setan, yakni bekerja hingga 14–16 jam dengan bayaran murah harus dilakukannya. Sementara para penguasa lahan dan barang produksi terus melanjutkan kerja dan mencari sebanyak-banyaknya lahan penduduk lalu dengan bantuan Bill of Inclosure of Common para pemodal ini dapat memiliki lahan dengan status hak milik pribadi.
Baca Juga, Mengubur Harap dalam Gelap
Pada masa pra kemerdekaan Indonesia, sekitar abad 18-19 perekonomian modern menyetir para golongan terhormat di jawa. Dan hal ini didukung oleh sistem pemerintahan. Seperti halnya yang terjadi di kesultanan cirebon (sekarang meliputi cirebon, majalengka, kuningan, indramayu), para pemegang pemerintahan lebih mementingkan lahan yang bagus untuk kepentingan penanaman tebu, sementara petani daerah setempat hanya diberikan akses dengan lahan yang jauh dari perairan. Tidak berhenti sampai di situ, sistem yang berjalan pun mewajibkan sewa lahan karena sistem pemerintahan waktu itu memanglah demikian.
Mengenai akumulasi kapital dan asal-usul ketimpangan, maka harus memasukkan Adam Smith sebagai tokoh kapitalis, dan Karl Marx sebagai antitesisnya. Jadi, dalam teorinya Smith, pembagian kerja kerja sosial atau dalam peristilahan marxis “keterpilihan masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial” terjadi setelah munculnya timbunan kekayaan ditangan segolongan orang. Penimbunan kekayaan di awal memang ajaran Smith untuk keberlangsungan produksi kekayaan secara logis. Dalam hal ini, Smith yang di satu sisi sebagai kaum borjuis terdidik, namun di sisi yang lain ia seolah-olah hendak meyakinkan kaumnya bahwa ketimpangan sosial yang terjadi hanyalah kejadian alamiah belaka.
Mengenai pandangan di atas, Marx memprotes dengan lantang bahwa kejadian tersebut bukanlah ahistoris (kejadian alamiah), tetapi terdapat sejarah yang didalamnya memuat perampasan, pengkaplingan, pengusiran, serta hal yang tidak manusiawi lainnya.
Di kehidupan sekarang, yakni kehidupan yang tidak lepas dari sistem ekonomi kapitalisme, kita hanya berkisar di sekitar benda-benda, hingga pada akhirnya kita mulai percaya bahwa kebahagiaan dapat diukur dengan seberapa banyak benda-benda yang dapat dimiliki. Maka jangan heran apabila untuk sekadar bertahan hidup pun kita harus bekerja kepada orang lain, yang sejatinya hanya memakmurkan orang lain yang mempunyai modal apalagi seseorang yang memiliki alat produksi. Dengan demikian kapitalisme telah menyusupkan arti hidup setiap orang pada apa yang mampu kita miliki bukan pada apa yang kita lakukan (Rikki Rikardo).
Dalam sistem ekonomi yang berfokus pada benda keuntungan hanya akan selalu milik kapitalis dan dalam mencari keuntungan sebesar-besarnya kaum kapitalis bekerjasama dengan pemerintah agar dapat menjalankan usahanya. Maka hal ini menjadi titik bahwa ketimpangan sosial merupakan akibat dari adanya kapitalis yang sekarang menjadi sendi dalam kehidupan ekonomi.
DAFTAR BACAAN
Mulyanto, Dede, Ganealogi Kapitalisme, Yogyakarta: Resist Book, 2016
Rikardo, Rikki, Mengapa Kapitalisme Menyebalkan, Katalis
Siti Fauziah dan Evi Syarifah, Sejarah Dunia II (Dari Perang Salib Sampai Arab Spring), Banten: Media Madani, 2020
Suryajaya, Martin, Asal Usul Kekayaan, Yogyakarta: Resist Book, 2013
Kristeva, Sayyid Santoso, Sejarah Ideologi Dunia, INPHISIS, 2010
Oleh, Ryan Wisnu Al Amin (Pengurus LKP PMII Rashul)
Editor, Tim Redaksi LKP Rashul