Judul : Menuju Aswaja Materialisme : Aswaja, Sains Marxisme dan Post-Moderatisme Islam
Penulis : Moh. Roychan Fajar
Jenis : Keagamaan
Penerbit : Intelegensia Media
Tahun Terbit : 2021
Tebal : 222 halaman
Peresensi : Riyan Wisnu Al-Amin
sumber : NU Online |
Buku ini menjadikan saya merasa
sedikit gelisah dan menggelitik. Pada buku ini, Penulis menyajikan bahan gerakan yang baru dan belum pernah digagas oleh siapapun. Maka sangat diwajarkan
apabila penulis kata pengantar buku ini, yakni Gus Fayyadl mempertanyakan tentang relevansi buku ini. Seperti, “Pentingkah meng-kiri-kan
Aswaja? Atau perlukah me-materialis-kan
pemeluk Aswaja?. Nah serpihan
kata pengantar inilah yang juga hadir ketika
memulai menggeluti kalimat demi kalimat dalam buku ini.
Penulis mengutarakan bahwa gagasan yang ditawarkan merupakan sebuah kritik terhadap aswaja yang notabenenya sebagai rezim pengetahuan yang tidak mampu menunjukkan taring di hadapan “problem-problem material-kerakyatan”. Maksud dari problem kerakyatan dalam buku ini adalah mencakup masalah politik-ekonomi-ekologi yang vis a vis dengan masyarakat akar rumput, yakni terhadap kebijakan yang hanya mengamini para kapitalis dan industri ekstraktif-eksploitatif.
Kesimpulan yang dibangun dari kebijakan kontra-rakyat inilah yang mengakibatkan terampasnya ruang hidup rakyat atas nama pembangunan dan yang sangat lebih memilukan adalah ketimpangan kelas. Rakyat yang berposisi sebagai mustadh’afin atau golongan yang secara struktural-sosial dilemahkan oleh negara dan korporasi ternyata dalam konteks inilah daya-guna pengetahuan Aswaja telah tertinggal untuk merespon problem-problem material tersebut. Seseorang yang mengaku Aswaja banyak yang memilih jalan menerima segala bencana struktural dan material sebagai takdir yang harus dipasrahkan.
Fikih Aswaja menggembor-gemgembori manusia hanya untuk ritus peribadatan semata, dan bila pun ada dimensi mu’amalah, Aswaja justru hanya menjangkau problem berbasis individu, bukan problem berbasis kelas. Menurut pandangan penulis, kritiknya ini bukanlah hal nihil. Ia mendasari dengan menilai bahwa Ulama dan cendikiawan muda NU pernah mencoba menggagas Aswaja yang lebih progresif. Puncak dari kritiknya ini ditandai dengan lahirnya gagasan istilah baru, yakni Post-Tradisionalisme atau yang lebih dikenal dengan Moderatisme. Paham semacam ini membawa nafas Aswaja dengan wajah toleran, lentur dan ramah akan keberagaman.
Saya sendiri menganggap bahwa penulis ini hanya sok-sokan menggagas wacana baru yang melebihi Moderatisme. Padahal apabila ditelisik gagasan tersebut sudah ada dan memang digunakan dalam konteks ke-Aswaja-an di Indonesia. Penyebutan “Moderatisme” menurut penulis adalah sebuah respon wacana elitis yang menguburkan masalah suprastruktur yang membela terhadap masyarakat akar rumput, yakni problem-problem material. Sehingga dari adanya hal tersebut, penulis lantas mengusulkan sebuah konsep yang melampaui moderatisme, yakni, “Aswaja Materialis” (Post-Moderatisme), sebuah gerak Aswaja yang dielaborasikan dengan sains marxisme, yaitu Materialis Dialektis dan Materialis Historis. Tawaran ini bukan semata-mata penulis tawarkan tanpa pertimbangan, bukan penghambaan pada materi sebagaimana yang dilantunkan oleh orang yang tidak mengenal marxisme secara mendalam. Namun, Aswaja materialis inilah yang diusung penulis dalam pembahasan pokok isi buku ini, yakni sains Marxisme dan Aswaja yang bersifat komplementer. Hasilnya adalah Teologi Materialis, Fikih Proletar dan Tasawuf Revolusioner.
Buku sangat tidak cocok dibaca siapapun yang belum
pernah mengkaji teologi Aswaja. Sebab seluruh tawaran penulis adalah menafikan
transendental yang sebenarnya merupakan ajaran dari Islam sendiri. Teori baru
yang ditawarkan adalah teori tanpa pertimbangan identitasnya sebagai aswaja
an-Nahdiyah. Padahal sudah jelas bahwa pendiri NU, K.H. Hasyim Asy’ari melarang
Materialisme Mutlak karena memang dapat merusak keimanan. Alih-alih, penulis
malah mendukung materialis mutlak dengan memasang ke-materialis-an itu pada ranah
teologi, seperti pandangan mengenai Tuhan “di sini”. Sementara mengenai
gagasan-tawaran Fikih Proletar kiranya memang perlu kita amini karena memang
fokus yang ditawarkan pun mengarah pada hukum memproduksi suatu, yang memang
selama ini tidak pernah dilirik sebagai penyebab adanya problem-problem
kemasyarakatan.
Oleh : Riyan Wisnu Al-Amin