https://images.app.goo.gl/XGpPgu9etF6pK2D77 |
Era modernisme yang gencar memberhalakan kemewahan dan kenyamanan tanpa disadari merenggut jiwa kemanusiaan yang humanis dan sosialis. Segala cara dihalalkan untuk mendapat kenikmatan, sehingga bentuk individualitas semakin tinggi di ranah masyarakat.
Maraknya bentuk ketidakadilan, ketimpangan dan diskriminasi masyarakat pinggiran menjadi bukti masih terdapat praktek kapitalisme neo-liberal. Modernitas yang ditandai oleh kemajuan sains dan teknologi membuat manusia berhadapan dengan berbagai krisis kehidupan.
Dengan adanya berbagai krisis ini, kita dapat melihat dengan mata telanjang tingginya angka kemiskinan, ketertindasan dan konflik-konflik kemanusiaan lainnya, yang berlangsung bahkan semakin hari kian meroket. Adanya krisis tersebut berpangkal dari krisis persepsi manusia modern itu sendiri, yang terjebak dalam pandangan mekanistik, Pandangan yang melihat mekanisme dunia berjalan dengan alamiah tanpa adanya campur tangan ilahiah.
Pandangan dunia yang seperti ini kemudian secara perlahan menyingkirkan peran agama dalam ranah manusia modern. Nuansa spiritual agama yang hilang mengakibatkan manusia modern masuk dalam dunia yang tandus, dunia yang kehilangan hati nurani, dunia yang kehilangan nilai kemanusiaan dan tergantikan oleh sifat-sifat kerakusan dan ketamakan personal.
Meskipun dunia modern telah memfasilitasi kecanggihan teknologi dan ilmu pengetahuan, yang berguna bagi kehidupan manusia secara praktis dan ringkas, namun tetap saja, menurunnya kesadaran spiritual dalam dunia modern membuat manusia menjauh dari kehidupan yang beradab, karena pada tahap ini mereka disetir oleh keegoisan dan kerakusan untuk meraih kemapanan dirinya sendiri. Kejadian inilah yang kemudian menyebabkan kerusakan akhlak manusia modern.
Krisis spiritual yang berada di tengah-tengah manusia modern ini, menyebabkan dampak yang tidak kecil di peradaban dunia ini, dampak yang dihasilkan mewujudkan sikap pemberhalaan umat terhadap hal yang bersifat duniawi. Sikap pemberhalaan ini juga mendorong manusia untuk tenggelam dalam sikap individual yang sangat tinggi.
Masyarakat modern adalah masyarakat anti-sosial, masyarakat individual, acuh tak acuh apabila disekitarnya terjadi ketimpangan, ketidakadilan dan penindasan. Terlebih lagi kehidupan saat ini semua aspek telah terkondisikan oleh hukum-hukum produksi dan konsumsi yang digerakkan oleh kekuatan ekonomi dan politik neoliberal. Kemudian menyebabkan dunia yang kita huni menjadi gersang akan nilai-nilai spiritual.
Perlunya menyegarkan kembali wacana tasawuf agar menjadi ajaran yang terus relevan untuk semua umat yang hidup di dunia harus segera direalisasikan. Dengan ini dapat membuktikan bahwa tasawuf tidak hadir dalam ruang-ruang yang abstrak, melainkan juga mampu berkontribusi dalam kehidupan yang bersifat material. Disepakati atau tidak, prinsip tasawuf sejatinya bertolak pada realitas sosial yang bergerak dinamis. Singkatnya, semakin tinggi jiwa spiritual seseorang, semakin tinggi juga kepekaan terhadap sesamanya. Selama praktek tasawuf masih dijalankan tanpa adanya kesadaran akan kondisi sosial hanya menghasilkan ruang sepi tanpa kehidupan.
Tentunya dalam membangun kembali semangat spiritual yang lebih profesional terhadap konteks sosial tidaklah mudah seperti melantunkan dzikir, perlu adanya wacana teoritis-praksis dalam mengaktualisasikannya. Terlepas dari wacana arus utama keberislaman manusia sekarang dalam bertasawuf yang hanya berkutat pada dimensi metafisika, semangat spiritual yang baru berusaha melampaui wacana arus utama keberislaman untuk melebarkan sayap ke dunia yang sesak akan ketamakan dan kerakusan. Di lain sisi juga menjadi bukti bahwa ajaran spiritual dalam Islam tidak hanya mengakibatkan pemeluknya tenggelam dalam perenungan-perenungan transendental secara personal, akan tetapi dapat memberikan kesadaran bagi pemeluknya untuk ikut serta aktif dalam problem-problem sosial yang kini sedang berlangsung di muka bumi.
Haikal Furqon (Pengurus Lembaga Kajian dan Kepenulisan PMII Rayon Ushuluddin Komisariat Walisongo Semarang)