Rekonstruksi Emansipasi Menuju Kartini Kontemporer

Sejarah perkembangan emansipasi di Indonesia pada beberapa abad lalu sebagai upaya penyetaraan hak gender mempunyai rintangan yang tak mudah. Awal kegelisahan terhadap ketimpangan kebebasan ruang gerak antara kaum laki-laki dan perempuan dirasakan oleh kaum hawa khususnya kalangan darah biru atau golongan priyayi yang menjadi pelopor adanya emansipasi. Emansipasi ditujukan sebagai proses pelepasan dari stigma perempuan atas ketidakmampuan berkonstribusi di berbagai sektor, dipandang lemah, rendah atau pelepasan atas pengekangan hukum yang membatasinya untuk mengembangkan potensi diri.


Salah satu pelopor emansipasi yang hatinya tergugah untuk memberantas stigma mengenai kewajiban seorang perempuan yang berkutat pada ranah domestik atau rumah tangga adalah Raden Ajeng Kartini. Pada tahun 1912 beliau mendirikan sekolah Kartini di Semarang atas dorongan Van Deventer, salah seorang penggerak politik etis di Indonesia. Disusul oleh Rohanah Kudus yang membuat perkumpulan Amai Setia di Kota Gadang Bukittinggi, Sumatra Barat sebagai upaya penggalian minat bakat perempuan. Begitu pula Raden Dewi Sartika membangun Pengasuh Budi di Bandung serta Mariana Walanda Maramis mempelopori komunitas Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT) di Manado dan masih banyak lagi.


        Gerakan emansipasi sedikit demi sedikit memiliki ruang dan perhatian dalam perkembangannya. Mereka mempelopori dan memberi ruang untuk perempuan dalam mengasah kemampuan serta meningkatkan mutu kecerdasan wanita yang terpendam. Perjuangan emansipasi telah membuahkan hasil. Kita dapat menyaksikan kursi di berbagai bidang sudah diduduki oleh perempuan baik politik, ekonomi, sosial, pendidikan bahkan perusahaan swasta terkemuka.


        Kondisi kesetaraan gender yang sudah memiliki ruang bagi perempuan atas hak kebebasannya ternyata mengalami krisis. Dimana saat ini dengan kondisi yang serba normal, seakan mengikis term emansipasi. Ia jarang lagi digaungkan -meski masih digunakan untuk beberapa kepentingan- karena telah mencapai kesetaraan hak. Akibatnya emansipasi seakan dilupakan bahkan berkurangnya perhatian terhadap sejarah disparitas (kesenjangan) gender dan hanya menikmati hasil dari emansipasi.

    

        Ketidaksadaran itulah yang membuat keterbelengguan kebebasan hak wanita tidak hanya dari perbedaan gender saja, melainkan sesama genderlah yang membuat keterbelengguan atas kebebasan hak perempuan itu sendiri. Dengan minimnya manifestasi atas emansipasi sebagai proses penyamaan kebebasan hak dari pihak kaum hawa itu sendiri.


        Fakta ini dapat kita temui dalam istilah internalized misogyny yang digunakan oleh Michael Flood seorang sosiolog dari Universitas Wollongong, Australia. Dia mengungkapkan bahwa internalized misogyny adalah sikap atau perilaku hate speech (ujaran kebencian) perempuan terhadap perempuan lain atau terhadap dirinya sendiri. Para perempuan yang memiliki internalized misogyny akan mengategorisasi perempuan yang superior dan inferior (perempuan dalam pusaran Internalized Misogyny), sehingga kerap menjatuhkan sesama perempuan berdasarkan dengan persepktif standarisasi yang subjektif. Motif demikian didasari atas kebutuhan validasi seseorang bahwa ia lebih unggul daripada yang lain.


        Seperti contoh dalam sebuah realita bahwa tak sedikit perempuan akan men-judge kalau perempuan yang mudah dekat dan mempunyai banyak teman lelaki merupakan tindakan caper (cari perhatian) –yang konotasinya adalah negatif-. Alhasil, saat menemukan perempuan yang mudah berinteraksi, ramah, asik akan dilabeli sebagai perempuan genit juga piawai mencari perhatian para lelaki –dengan konotasi wanita murahan atau rendah-. Contoh lain adalah asumsi bahwa perempuan yang cantik terletak pada perempuan yang ber-make up tebal dan menganggap aneh mereka yang mempertahankan kecantikan secara natural, padahal itu hanya persoalan selera. Berdandan atau tidak, perempuan tetaplah perempuan. Tak hanya itu, seorang istri yang sesar dianggap sebagai ibu yang gagal dibandingkan melahirkan secara normal. (Mengenal Misogyny yang Terinternalisasi, Momok Menakutkan bagi Perempuan)

 

        

source: Pinterest

        Internalized
misogyny yang demikian menjadi pengikis perjuangan emansipasi oleh para tokoh perjuangan di masa lampau. Maka perlu pendidikan untuk memahami dan merekonstruksi emansipasi dari berbagai sudut pembelajaran. Agar setiap hal yang menjunjung tinggi kesetaraan bisa dipertahankan dan digaungkan serta apa yang membuat kehancuran dalam persamaan hak harus ditenggelamkan.


        Adagium atau lebih tepatnya slogan “women support women” perlu digaungkan kembali dan diimplementasikan bukan hanya dijadikan sebagai jargon belaka. Karena sudah menjadi keharusan bersama untuk mengubur internalized misogyny yang memberikan dampak buruk terhadap keberlangsungan gerakan emansipasi. Karena seorang wanita, memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap berkembangnya suatu bangsa dan juga terhadap generasi penerusnya.

  “Sampai kapanpun, kemajuan perempuan itu ternyata menjadi faktor penting dalam peradaban bangsa”.

Dikutip dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang Karya R.A Kartini


Oleh : Ayu Sugiarti

Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama