Selain itu, tindakan represif aparat yang membuat para pengunjuk rasa semakin geram menjadikan api protes semakin berkobar. Kekerasan sampai penghilangan nyawa bisa dilakukan oleh aparat dengan mengatasnamakan menjaga keamanan. Tentu bukannya massa menjadi semakin gentar melainkan semakin membakar kegeraman masyarakat dari berbagai daerah.
Judul : Suara Rakyat Suara Tuhan
Penulis : Hendri Teja dkk
Penerbit : Serambi, Jakarta
Jenis : Sosial
Tebal : xx + 122 hal
Peresensi : Alvinaditya
Ada
sebuah buku yang menarik dan saya kira cocok untuk dibaca bagi para mahasiswa
aktivis, berjudul “Suara Rakyat Suara Tuhan”. Dari judulnya kita akan sedikit
menerka-nerka bagaimana buku yang dibungkus dengan sampul berwarna merah hitam,
khas perlawanan tersebut memberikan penjelasan tentang bagaimana rakyat yang
memiliki kekuatan untuk menggerakkan kekuatan lain (pemerintah) sebagaimana
Tuhan menggerakkan ciptaan-Nya.
Saya
katakan cocok bagi aktivis karena di dalam buku membahas bagaimana protes
masyarakat dari berbagai penjuru dunia bisa membuahkan hasil yang gemilang.
Paling tidak suara-suara mereka nantinya akan dipertimbangkan oleh penguasa.
Bagaimana tidak, jika begitu banyak tuntutan yang menggerakkan massa untuk ikut
turun jalan disadari dan dirasakan oleh mayoritas masyarakat sehingga mampu
menggerakkan massa protes yang masif.
Kesadaran masyarakat yang terjadi pada massa aksi protes tidak datang dengan tiba-tiba, melainkan perlunya kesadaran yang dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Dalam buku yang ditulis oleh Hendri Teja tersebut menjelaskan bahwa kesadaran tersebut tidak muncul dari kalangan masyarakat bawah ataupun lapisan masyarakat atas. Melainkan muncul dari masyarakat menengah yang notabenenya memiliki ekonomi yang sedikit mapan dan paham akan kondisi politik negaranya.
Permasalahan
yang sering diangkat adalah permasalahan tentang keadilan yang masih tidak
merata. Menjadikan seakan-akan keadilan hanya berpihak pada kaum tertentu saja,
meskipun kenyataannya pasti akan terjadi perbedaan dalam pemerataan keadilan.
Permerataan tersebut menjadikan pemerataan yang tidak proporsional. Namun, yang
menjadi masalah utama adalah ketika sudah proporsional, pemerataan tersebut
dengan atas nama keadilan malah menjadikan ketimpangan yang begitu tajam.
Dalam
masalah ekonomi, terkadang pemerintah juga mengambil kebijkan yang menjadikan
rakyat semakin tertekan, seperti pada penaikan bahan bakar pada beberapa negara
karena alasan devisit anggaran dan inflasi. Sehingga bisa terlihat begitu jelas
bagaimana kebijkan pemerintah yang tidak pro-rakyat tersebut harus disikapi.
Permalaslhan ketimpangan itu ditambah dengan pemerintah yang korup sehingga
menjadikan anggaran dana tidak tersalurkan sebagaimana semestinya.
Selain itu,
tindakan represif aparat yang membuat para pengunjuk rasa semakin geram
menjadikan api protes semakin berkobar. Kekerasan sampai penghilangan nyawa
bisa dilakukan oleh aparat dengan mengatasnamakan menjaga keamanan. Tentu
bukannya massa menjadi semakin gentar melainkan semakin membakar kegeraman
masyarakat dari berbagai daerah.
Permasalahan-permaslahan
semacam itu yang menjadikan istilah autumn of nations (kejatuhan
bangsa-bangsa). Yaitu di mana kondisi yang menjadikan sebuah negara mengalami
perubhaan secara signifikan (revolusi) atas desakan rakyat. Terbukti bagaimana
tidak hanya satu sampai dua negara saja, melainkan dari Asia, Amerika sampai
Eropa, seperti Hong Kong, Pakistan, Irak, Haiti, Brasil, Perancis, Aljazair,
dan masih banyak lagi negara-negara yang mengalami krisis dan kemudian
melakukan protes terhadap pemerintah yang berkuasa.
Ada pembahasan
yang menarik menurut saya, yaitu tentang bagaimana rakyat menjadi pahlawan
devisit anggaran. Seakan sebuah diksi yang membanggakan, namun di dalamnya
terdapat ironi mengenaskan bagaimana rakyat diperas sebanyak-banyaknya mulai
dari kebutuhan pokok, tempat tinggal, pajak transportasi sampai pendidikan
dengan mudahnya harga dinaikkan sedangkan di dalam pemerintahan, begitu banyak
penyelewengan pendanaan sehingga feedback yang diberikan pemerintah
kepada rakyatnya tidak seimbang dengan apa yang telah dibayar rakyatnya.
Kembali saya
tandaskan bahwa buku ini cocok untuk dibaca sebagai salah satu cara memandang
protes yang dilakukan oleh berbagai negara, karena di dalamnya dibahas banyak
bagaimana latar belakang permasalahan pada beberapa negara, seperti perancis
yang melakukan gerakan rompi kuning, haiti, aljazair dan masih banyak lagi.
Namun sayangnya, di buku ini selain tidak membahas secara rinci bagaimana
protes itu terjadi, atau tidak membahas secara mendalam juga tidak membahas
secara umum tentang bagaimana seharusnya protes dilakukan, terlebih buku yang
notabenenya ditulis oleh orang Indoensia sendiri tidak mengangkat tentang isu
yang ada di negaranya sendiri.