Judul : Hati Suhita
Penulis : Khilma Anis
Jenis : Novel fiksi
Penerbit : Telaga Aksara Ft Mazaya Media
Tebal : 406 hal
Peresensi : Emma Nur Halizza
Ketika berbicara tentang keluarga kyai, apa yang terlintas dalam pikiran kita? Apakah keluarga kyai identik dengan perjodohan, ketaatan dan keterikatan? Atau masa depan keturunan kyai seolah sudah terlihat tentang keahliannya dalam agama seperti orang tuanya? Jika iya, novel Hati Suhita ini pantas digunakan sebagai salah satu bacaan untuk melihat bagaimana kehidupan di pondok pesantren yang sedikit berbeda.
Ning Khilya Anis memberikan tanggapan dari fenomena yang sering terjadi di masyarakat dengan sebuah novel yang tentunya bukan hanya menghadirkan kritik, sudut pandang yang berbeda tetapi juga sepaket dengan solusinya. Pada ceritanya, penulis memperkuat argumen dengan fakta-fakta dan serangkaian cerita wayang yang membuat isi dari novel tersebut lebih menarik dan kental akan nilai sejarahnya.
Penulis novel Wigati ini menawarkan cerita menarik dengan konflik yang semakin memanas setiap bab nya. Seperti ketika awal menikah, bahwa Alina harus menerima kenyataan pahit bahwa tidak ada ruang khusus untuk dirinya di hati Gus Birru, justru perempuan lainlah yang bertahta dan diinginkan suaminya.
Pada karyanya, novelis kelahiran Jember ini menghadirkan tiga sudut pandang tokoh yang tampak sangat teguh dengan pilihanya masing-masing. Di depan Alina Suhita, Birru tampak angkuh, sedangkan Rengganis seolah seperti perebut hati lelaki, yaitu Gus Birru karena sosok Reangganis-lah yang menjadi wanita idaman dari Gus Birru. Namun, dengan keteguhan hatinya, Alina tetap menunjukkan dirinya sebagai sosok istri yang setia, terlebih karena pernikahannya dengan Gus Birru merupakan amanah dari Kyainya yang tak bukan adalah bapak dari Gus Birru.
Kehadiran Suhita bagaikan telaga di tengah gurun dalam dunia sastra pesantren, tidak hanya seperti nawaning pada umumnya, Alina tampak shalehah dengan kesopanan yang menonjol, berpendidikan tinggi dan terlebih dia juga sebagai penghafal Al-Qur’an. Alina juga memberikan gambaran sosok perempuan Jawa yang kental dengan khas kejawaanya yang dikemas dengan sangat populer.
Sedangkan Gus Birru seorang putra tunggal kyai besar yang hidup dalam dunia aktivis. Menyuarakan dan turun tangan ke lapangan atas penindasan yang terjadi terhadap rakyat kecil, tetapi tak mampu memperjuangkan hak dan pilihanya sendiri. Seorang aktivis ini tak mampu menolak dan menghapus keputusan dan titah orang tuanya. Begitu juga dengan Rengganis, seorang aktivis pergerakan yang gencar dengan dunia literasi. Inilah alasan mengapa Birru menambatkan hati padanya, terlebih dengan ide-ide menarik yang selalu lahir dari otak nya.
Nama Suhita diambil dari seorang perempuan yang pernah berkuasa di Majapahit pada tahun 1429-1447 M bersama suaminya, Aji Ratnapangkaja. Pada sebuah cuplikan, suhita mengatakan ia harus tetap berpura pura harmonis walau perang di dalam batinnya berkecambuk di setiap detiknya, harus tabah mengobati luka seorang diri, karena menurutnya ini adalah tirakat, sebuah jalan menuju kemuliaan. Alina yakin, kakeknya tak akan menyematkan nama Alina Suhita kecuali dengan tujuan agar Alina menjadi perempuan yang kuat dan tangguh seperti tokoh perempuan Majapahit yang dimaksudkan kakeknya.
Tak ada hal yang lebih menarik di sini dibanding cerita rumah tangga Alina yang selalu sabar dan tetap mengabdikan diri sepenuhnya pada suaminya dan pesantren mertuanya. Bahkan sejak duduk di bangku sekolah dasar yang mengatur di mana Alina akan melanjutkan jenjang belajar adalah calon mertuanya, jurusan apa yang diambil juga pilihan kyainya. Tak tanggung-tanggung ketika orang tua Birru meminta untuk keluar dari kuliahnya dan fokus pada Al-Qur’an pun Alina menurutinya.
Rengganis memang bukan bernasab se-kufu (setara) dengan Alina, namun Rengganis bukan perempuan biasa yang awam akan pendidikan. Jurnalis smart yang selalu hadir dengan keberanian tinggi. Sering bertemu dalam satu kegiatan juga menjadikan buih-buih cinta diantara dia dan Birru tumbuh, hingga kisah cinta yang sedang membara itu harus padam seketika dengan perjodohan kekasihnya. Tetapi Rengganis tetap terlihat kuat sekalipun ditinggalkan, seolah mencerminkan bahwa dia perempuan aktivis yang berwawasan.
Di mata Birru, hanya rengganis lah yang sefrekuensi dan mengerti passionnya. Rengganis juga yang menawarkan ide ide menarik sesuai dengan passionnya. Menawarkan ide-ide untuk karir kekasihnya, seperti membuka penerbitan dan menuangkan pemikiran-pemikiranya dalam bentuk tulisan. Tapi rupanya Birru tidak bisa menolak perjodohan itu dengan pilihan orang tuanya. Birru harus tetap berdiri tegak seolah tak ada goncangan dalam rumah tangganya, padahal hatinya remuk redam menjalani hari harinya dengan keterpaksaan.
Cara Khilma Anis dalam menghidupkan romansa pesantren dengan menampilkan ajaran Jawa yang memang melekat dengan kyai-kyai pesantren seperti “mikul duwur mendem jeru” dan juga “bekti nastiti ati ati”. Novel Hati Suhita mengajak pembaca yang masih awam akan sejarah menjadi tertarik untuk mendalami ceritanya, yang di dalamnya memuat cerita Mbah Kiai Hasan Besari yang merupakan guru dari Ranggawarista, seorang pujangga Jawa. Selain itu, Suhita juga mengajarkan bahwa berziarah dan berdiam di makam waliyullah seperti Mbah Mutamakkin, Mbah Sholeh Darat, Ki Ageng Hasan Besari, Mbah Sunan Tembayat bisa menjadikan washilah dari hajat yang diinginkannya, juga memberi ketenangan dalam dirinya.
Novel ini dicetak dengan cover menarik berwarna orange kebiru-biruan beserta gambar perempuan di bagian tengahnya. Latar samudra seolah menggambarkan luasnya kesabaran yang diterapkan dalam menghadapi permasalahan. Berawal dari keisengan yang ditulis di laman facebook, novel karya Ning Khilma Anis berhasil menjadi salah satu deretan novel best seller bergenre Islami.
Ditulis dengan sangat apik dan disusun dengan bahasa yang ringan, namun tidak sedikit penggalan dari novel tersebut yang memakai bahasa jawa, padahal pembaca bukan semuanya paham akan bahasa jawa. Selain itu novel ini akan lebih menarik jika ditambahkan dengan tokoh antagonis yang kuat dalam menjalani kehidupanya. Ratna Rengganis memang orang ketiga dalam rumah tangga mereka, tetapi Renggais hadir seperti karakter tokoh lain nya, protagonis.
Pada akhirnya, novel ini dapat dijadikan sebagai gambaran bahwa di dalam dunia pesantren akan selalu ada hal yang menarik dan berbeda. Selain itu juga bisa mengenalkan tradisi dan juga ajaran Jawa dalam beberapa cuplikanya.