Pemimpin Perempuan, Pantaskah?

Ibu Khofifah Indar Parawansa sedang berpidato (Jawapos.com) 

Narasi kesetaraan gender terus digaungkan semenjak adanya kajian feminisme. Kajian feminisme sendiri sudah ada sejak akhir abad 18 M dan terus dibumikan hingga sekarang. Hal itu membuat adanya perubahan pemahaman dalam struktur sosial, yaitu antara hak laki-laki dan perempuan. Hampir semua aspek kehidupan saat ini menjadikan perempuan bersaing dan setara, baik dalam urusan rumah tangga, pekerjaan maupun dalam lingkungan sosial.

Dalam perkembangannya, konsep kesetaraan hampir menduduki semua aspek yang ada dimana perempuan mampu menduduki jabatan yang sentral yang dahulunya hanya diisi oleh kalangan laki-laki. Hal itu tidak lain karena adanya narasi kesetaraan gender dan feminisme yang terus digaungkan oleh masyarakat sekarang. Kita bisa melihat salah satu contohnya dalam hal kepemimpinan dalam organisasi, pemerintahan hingga kepala negara.
Namun di lain sisi akhirnya melahirkan berbagai problematika dalam arah geraknya. Tidak sedikit corak kepemimpinan perempuan yang menggunakan pendekatan emosional dalam mengambil keputusan sehingga kepemimpinannya memiliki banyak ketimpangan. Maka dari itu akan kita ulas bagaimana pro-feminisme yang di gaungkan oleh Simone de Beauvoir dalam memandang hak seorang perempuan.

Pada dasarnya Simone de Beauvoir menggunakan pandangan tentang “feminisme eksistensialis” yang beranggapan bahwa manusia adalah bebas sebebas-bebasnya. Hal itu membuat wanita memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam segala aspek kehidupannya. Sehingga dalam banyak aspek kehidupan, tidak diperlukan pandangan bahwa ini laki-laki atau ini perempuan, karena semuanya sama.

Dalam salah satu karyanya “The Second Sex” yang menjadi bukti konkrit buah pikiran Simone dalam menggunakan filsafat eksistensialisme dalam menjelaskan teorinya mengenai feminisme, menjelaskan bahwa perempuan harus diberikan kebebasan yang sama dengan kebebasan yang diberikan pada laki-laki untuk menentukan kehidupannya sendiri. Maka bagi Simone, institusi pernikahan (termasuk institusi lain yang bisa mengekang kebebasan perempuan) merupakan suatu institusi yang merenggut kebebasan perempuan, dimana perempuan dengan suka rela menukarkan kebebasannya dengan ketenangan, kemapanan, kepuasan dalam berumah tangga. 

Dari feminisme tersebut, perempuan dengan kebebasannya juga memiliki hak untuk bisa menjadi seorang pemimpin. Sehingga ketika perempuan menjadi pemimpin bukan lagi menjadi hal yang aneh dan tabu. Namun di satu sisi, dalam menjadi pemimpin ternyata perempuan memiliki beberapa kelemahan. Yang pertama, wanita memiliki keterbatasan fisik dan ruang gerak yang cukup terbatas jika dibandingkan dengan laki-laki. Pada umumnya laki-laki diciptakan dengan kondisi fisik yang lebih kuat jika dibandingkan dengan perempuan. Salah satu fakta yang mendorong ini adalah ketika dalam menghadapi sebuah masalah wanita lebih mudah memasukkan masalahnya ke dalam hati. Berbeda dengan laki-laki yang cenderung bersikap lebih tenang dan dipikirkan matang-matang terlebih dahulu. Bukan bermaksud merendahkan wanita, tetapi kejadian seperti itu jika terlalu dipikirkan dan terlalu dimasukkan ke dalam hati justru akan menimbulkan suatu keresahan, bahkan bisa mengganggu kondisi psikologis yang dampaknya pada kondisi fisik ke depannya.

Yang kedua, tanggung jawab mereka sebagai seorang perempuan, dalam artian adalah tanggung jawab mereka sebagai seorang istri dan seorang ibu, tanggung jawab ini sudah cukup berat, melihat bahwa wanita pada dasarnya mengandung, melahirkan, menyusui, dan hal-hal lain yang tidak bisa digantikan perannya oleh seorang suami atau laki-laki. Beda konteks jika membahas tentang mengurus rumah seperti menyapu, mengepel lantai dan mencuci piring yang merupakan tanggung jawab bersama dan bukan mutlak tanggung jawab wanita sebagai seorang istri. Masalah ini juga sering menjadi kesalahan oleh beberapa laki-laki yang merasa acuh dan selalu menuntut istri bahwa itu adalah tanggung jawab istri. Terlebih adalah bahwa perempuan sebagai seorang ibu adalah madrasatul ula (sekolah/guru pertama) bagi anaknya. Tentu saja akan menjadi jauh lebih berat jika perempuan mendapatkan double jobs untuk sekaligus menjadi seorang pemimpin. Hal itu membuat adanya ketidakseimbangan di dalam suatu hal yang dipimpin oleh perempuan dimana perempuan tidak boleh meninggalkan tanggung jawabnya sebagai seorang istri yang sekaligus sebagai seorang pemimpin.

Namun, di sisi lain banyak juga perempuan yang berhasil menjadi seorang pemimpin. Hal itu karena mereka mampu mengkolaborasikan antara kedudukan dan komponen-komponen yang diisi oleh laki-laki. Kita bisa melihat fakta di negara kita membuktikan bahwa perempuan sudah berani mengambil langkah dan membuktikan kemampuannya untuk menjadi seorang pemimpin. Seperti contohnya, Ibu Khofifah Indar Parawansa yang menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur, Ibu Tri Rismaharini mantan Walikota Surabaya yang sekarang menjabat sebagai Menteri Sosial Republik Indonesia dan masih banyak lagi. Mereka tentu bisa mengolaborasikan antara kewajibannya sebagai seorang ibu dan juga sebagai pemimpin.

Dengan demikian, sebenarnya tidak bisa menutup kemungkinan bahwa perempuan juga pantas untuk menjadi seorang pemimpin. Maka dari itu perlu adanya suatu gebrakan baru dalam diri seorang perempuan bahwa perempuan tidak hanya bisa 3M (masak, macak, manak). Dan diperlukan kesadaran paling dasar bahwa perempuan adalah pemimpin bagi dirinya sendiri, sehingga tidak terjadi ketergantungan terhadap laki-laki dan perempuan tidak selalu ada di kelas dua masyarakat.

Oleh : Dwiki Ahkam Maula

Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama