Bagaimana Seharusnya Mahasiswa Melakukan Gerakan di Era Modern?

Demonstrasi di Gedung DPR (Source: Kompas.id) 

Sebagai generasi mahasiswa terbaru, kita telah banyak mendengar cerita heroisme gerakan mahasiswa dalam bentang sejarah bangsa ini terbentuk hingga menjadi seperti sekarang ini. Tetapi yang paling banyak disebut tentu gerakan mahasiswa yang menamakan gerakaanya dengan afiliasi nama angkatan seperti angkatan 66, angkatan 74 dan angkatan 98. Nama angkatan yang terakhir yang menjadi paling populer karena mengeklaim sebagai salah satu bidan yang membantu reformasi lahir ke jagat politik Indonesia setelah selama 32 tahun berada di dalam rahim otoritarianisme. Mahasiswa baru di kampus mana pun sering mendengar adagium “mahasiswa penyambung lidah rakyat”. Mahasiswa diharap bisa menjadi speaker dari berbagai jeritan suara rakyat dikala mereka merasa tertindih oleh keadaan.

Konteks Gerakan Mahasiswa 1966

Indonesia melakukan Pemilu pertama yang bersekala nasional pada tahun 1955 yang diikuti 30 Partai Politik. Dari jumlah tersebut hanya 18 Partai yang mendapatkan jatah kursi dan 4 Parpol besar yang mendominasinya, PNI, Masyumi, NU dan PKI. Kekuatan-kekuatan ini juga yang akan mempengaruhi banyak kebijakan dan berbagai dinamika perubahan kabinet selama kurun waktu 1960-1965. Banyaknya partai politik juga disinyalir menjadi salah satu penyumbang ketidaksetabilan kondisi politik di masa ini. Kondisi ini diperparah dengan semakin kentalnya muara politik yang berpusat pada tiga kekuatan menjelang akhir 1965 yaitu poros Soekarno, poros ABRI dan poros PKI.
 
Soekarno mengalami masalah perekonomian yang sulit, beberapa hal menjadi penyebabnya. Pertama haluan politik luar negeri yang menempatkan Indonesia berhadap-hadapan dengan politik ideologis negara-negara Eropa. Soekarno juga banyak membangun proyek strategis nasional (infrastrutur) yang menghabiskan banyak Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN) , membangun stadion Gelora Bung Karno (GBK), Sarinah dan Monumen Nasional (Monas). Hal ini membuat inflasi sampai menyentuh angka 600%. Hal ini memicu gerakan mahasiswa melahirkan Tri Tura (Tiga Tuntutan Rakyat):
1. Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) 
2. Pembersihan Kabinat Dwikora dari unsur-unsur yang terlibat G30S 
3. Penurunan harga

Menurut JJ. Rizal (sejarawan) yang benar sebenarnya adalah sejarah gerakan pemuda, bukannya sejarah gerakan mahasiswa. Narasi gerakan mahasiswa membuat gerakan ini eksklusif, dan ini juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh gerakan tahun 1966 yang melibatkan aksi Tentara. Gerakan 1966 tak hanya melibatkan mahasiswa, melainkan pemuda bahkan pelajar. Hal ini seharusnya membuat kita tidak kaget saat ada pelajar (STM dan pelajar di tingkatan yang sama) ikut terlibat aksi #reformasidikorupsi. 

Kenapa kita tidak harus kaget? Pertama, hal tersebut adalah DNA sejarah gerakan massa di Indonesia. Kedua, keterbukaan informasi dan kemajuan dunia teknologi membuat akses pengetahuan bisa didapatkan secara lebih transparan. Dua hal ini memungkinkan gerakan demokrasi untuk melakukan aksi protes turun ke jalan menjadi hal yang wajar.

Jika ditarik ke belakang, pada dua dekade abad 20 awal (1990-1920) sering disebut sebagai zaman pemuda. Bukan hanya secara biologis tetapi sebagai penanda , tua-muda, modern-kolot, sadar-belum tahu. Jika usianya belasan tahun tetapi kolot dan belum tahu, berarti ia tua secara gerakan. Sebaliknya meski bapak-bapak usia kepala empat, kalalu dia modern dan sadar terhadap realita politik yang ada, maka ia muda secara gerakan meski secara biologis tetap tua. 

Kemunduran Demokrasi

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2019) dalam bukunya  "Demokrasi Mati" menjelaskan bagaimana cara pemerintah otoriter mempertahankan kekuasaanya. Pertama, mengganti wasit. Kedua menghilangkan pemain bintang. Ketiga mengganti peraturan. Ketiga hal ini jelas pernah terjadi di zaman Orde Baru. Tetapi di era paska reformasi, hal tersebut bisa dikatakan terjadi dalam bentuk lain yang serupa. 

Pergantian wasit maksudnya mengganti posisi strategis jabatan publik dengan loyalisnya. Kasus Ketua Mahakamah Konstitusi yang menjadi ipar presiden sempat mendapat sorotan karena dinilai berpotensi melahirkan politic of interest.[1] Wasit lainnya yang disoroti publik adalah perubahan UU KPK. Menghilangkan pemain bintang maksudnya menculik bahkan menghilangkan orang yang kritis terhadap pemerintah, yang paling populer di zaman Orba misal menuduh orang subversif lalu memenjarakan atau bahkan menghilangkan bahkan sampai membunuhnya. Zaman paska reformasi tentu tidak sama, tetapi ada pasal karet UU ITE yang selalu disorot Freedom House [2] sebagai salah satu penghambat perkembangan demokrasi di Indonesia. Pasal karet ini dalam waktu mendekati pemilu bisa dialamatkan kepada oposisi. Terakhir, mengganti peraturan. Hal ini bisa dilihat dalam perkembangan penyusunan Omnibus Law yang sudah cacat sejak penyusunannya. Penyusunan tersebut dinilai melanggar UU 12/2011 Undang-Undang (UU) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.[3]

Relevansi Aksi Demonstrasi

Meski ada kecenderungan kemunduran demokrasi di Indonesia, apa benar masih relevan aksi-aksi demontrasi di jalan? Pertanyaan ini sering dibenturkan dengan narasi bahwa aksi demonstrasi ini mengganggu kepentingan umum dan narasi lainnya yang kontra dengan aksi demonstrasi tersebut. Bagi penulis penting untuk mengingat pendapat Noam Chomsky bahwa propaganda pemerintah, jika didukung oleh kelas berpendidikan dan tak terjadi penyimpangan, maka pengaruhnya akan sangat besar. 

Chomsky dalam karyanya "Politik Kuasa Media" mulai melacak propaganda dari formula Mohawk Valley yang menjadi salah satu kesuksesan propaganda dan berkembangnya industri humas. Di mana syarikat buruh yang baru saja mendapat hak berorganisasi (wagner act), digiring oleh suatu propaganda agar dimusuhi publik saat melakukan pemogokan. Dilabeli biang rusuh, pengacau dan berlawanan dengan perjuangan kepentingan bersama.  

Propaganda seperti ini tentu terinspirasi dari Creel Comittee yang sukses mengubah masyarakat Amerika yang anti perang menjadi menggebu-gebu berperan di perang Eropa. Selain itu kisah menakut-nakuti terhadap isu sosialisme (red scare) tentu mendapat perhatian yang sama. Keberhasilan seperti itulah yang membuat propaganda dan humas terus dikembangkan.
Terbaru ada fenomena Hacker yang mencoba membocorkan beberapa data yang selama ini dianggap dilindungi pemerintah. Ia mengajak:
 “this is a new era to demonstrate differently, nothing would change if fools were still given enormous power. The supreme leader in technology should be assigned to someone who understands, not a politician and not someone from the armed forces, because they are just stupid people.” 
(Ini adalah era baru untuk menunjukkan secara berbeda, tidak ada yang akan berubah jika orang bodoh masih diberi kekuatan yang sangat besar. Pemimpin tertinggi di bidang teknologi harus ditugaskan kepada seseorang yang mengerti, bukan politisi dan bukan seseorang dari angkatan bersenjata, karena mereka hanyalah orang-orang bodoh.) 

Pepatah Latin
Fortiter In Re Et Suaviter In Modo” penulis menemukan pepatah ini saat membaca kisah Koran Kompas dibredel di masa orde baru. Artinya kurang lebih ‘Tegas dalam prinsip namun lembut dalam cara’. P.K Ojong memutuskan untuk menolak melakukan permintaan maaf kepada pemerintah, sementara Jacoeb Oetama melakukkannya. Prinsip P.K. Ojong jelas: 
"Jangan minta maaf, mati dibunuh hari ini, nanti atau tahun depan, sama saja..."

Sementara Jacoeb berpikiran lain, menurutnya perjuangan masih panjang, sementara jika menolak minta maaf maka Kompas tidak lagi bisa melanjutkan perjuangannya. Hal ini bisa kita refleksikan di tengah perjuangan gerakan PMII yang pada titik nadirnya mengedepankan titik tengah dalam nilai-nilai perjuangannya, yang terinfilterasi dari nilai-nilai dan prinsip Aswaja. 

Apa yang dipegang teguh tentu prinsipnya, tetapi untuk memenuhi prinsip tersebut bisa dilakukan dengan berbagai cara. Secara prinsipil gerakan mahasiswa adalah panggilan jiwa, dia anak emas perjuangan nasib kelompok tertindas. Ia bersama elemen lainnya, terutama angkatan muda sudah seharusnya tidak boleh menolak panggilan jiwa ini. Cara memenuhi prinsip perjuangan ini tentu harus adaptif, PMII tidak boleh hanya mengandalkan gerakan jalanan tanpa mengimbangi dengan kemampuan kadernya di bidang kemajuan teknologi serta pemahaman yang terus dikembangkan mengenai kompleksitas kondisi sosial politik yang ada.
Potensi gerakan angkatan milenial sudah banyak terbukti punya warna dan ciri tersendiri. Angkatan 1920, 1966, 1998 punya tantanganya sendiri. Sekarang, tuntutan zaman sudah mulai berkembang, platform seperti change.org juga bisa menjadi gerbang masuk seseorang merubah kebijakan publik, satu story instagram selebgram kadang gaungnya lebih terdengar dibanding ketua PMII Kota Semarang yang punya ribuan kader. Refleksi metode dan strategi gerakan mahasiswa dari masa ke masa memang patut selalu dipertanyakan ulang dan diperbarui secara adaptif.

Ahmad Muqsith (Wakil Ketua Rayon PMII Rayon Ushuluddin 2013-2014)

[1] https://nasional.kompas.com/read/2022/06/03/11093501/jadi-ipar-presiden-jokowi-ketua-mk-dianggap-langgar-kode-etik , https://nasional.kompas.com/read/2022/03/23/07080011/potensi-konflik-kepentingan-ketua-mk-disebut-minim-walau-jadi-ipar-presiden, https://kumparan.com/kumparannews/potensi-konflik-kepentingan-bila-ketua-mk-jadi-ipar-presiden-jokowi-1xjgC21VXri, https://www.hukumonline.com/berita/a/konflik-kepentingan--anwar-usman-diminta-mundur-lt6298877ed910c/?page=all 
[2] https://freedomhouse.org/country/indonesia/freedom-world/2022 
[3] PUTUSAN MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020



Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama