Judul
Buku : Tembang Tali Jiwo
Pengarang
: Sudjiwo Tedjo
Penerbit
: DIVA Press
Cet/Tahun : Kedua/2020
ISBN : 978-602-391-912-3
Jumlah
Halaman : 264 halaman
Peresensi
: Annas Akmalul Huda
Buku
bertajuk Tembang Tali Jiwo ini memang tidak terlalu tebal. Sekilas terlihat
layaknya novel yang tidak terlalu berat untuk dibaca, apalagi oleh orang yang
beranjak remaja dan sedang gandrung-gandrungnya membahas cinta. Tapi, nyatanya
buku ini memiliki makna yang dalam dan tidak terbilang ringan untuk dipahami
oleh pembaca. Hal tersebut dapat terlihat dari sampul bukunya yang bertuliskan
“Cinta Harga Mati, Rindu Mematikannya” tepat di bawah judul.
Gaya
bahasa dalam Tembang Tali Jiwo terbilang unik, nyentrik, dan juga menggelitik.
Unik dan nyentrik karena dalam tulisannya Sudjiwo Tedjo mengkritik keadaan yang
terjadi di Indonesia, baik dalam hal pemerintahan, sosial, maupun budaya
menggunakan pendekatan fenomena sehari-hari. Menggelitik karena di dalam buku
ini pembaca akan disuguhi tulisan-tulisan yang membuat dahi mengernyit serta
membuat merenung akan peristiwa yang terjadi di masyarakat kebanyakan. Namun,
di dalamnya juga dibumbui dengan sajak-sajak yang membuat tulisan semakin kaya.
Sudjiwo
Tedjo membagi tulisannya dalam enam bab, yang terdiri dari Sebingkis Senja
Tanpa Bungkus, Menitipkan Tangis Pada Dunia, Zaman Batu Digital, Kunjungan
Kenangan, Gelas Setengah Penuh, serta Sepaket Kebohongan.
Tiap
bab ini juga dibagi lagi menjadi beberapa sub bab. Menariknya, Sudjiwo Tedjo
tidak menyampaikan pemaparannya dengan ndakik-ndakik.
Tapi di lain sisi pengemasannya yang justru padat berisi karena tidak ditulis
dalam banyak lembar akan tetapi tulisan-tulisannya berhasil mengritik tepat
sasaran.
Salah
satunya pada bagian Pelukis Debu Kaca Mobil yang mengkritik fenomena dalam lingkup
politik di negara tercinta ini. Satire yang membuat saya tertawa adalah ketika
sebuah kasus korupsi yang dikenal dengan “Kardus Durian” dibungkus secara halus
dan mengena.
Lalu
pada judul Plastik, dalam hal ini menyinggung kasus Ratna Sarumpaet seorang
seniman yang aktif dalam seni teater menyebar hoaks bahwa wajahnya lebam-lebam
dikarenakan penganiayaan. Tetapi sebetulnya itu dikarenakan operasi plastik
yang ia lakukan di penghujung tahun 2018.
Muannas
selaku pelapor kasus penyebaran berita bohong yang dilakukan Ratna berkata,
Ratna semestinya sadar untuk tidak mengulangi lagi kesalahannya mengenai sikap
politik yang harusnya sehat bukan dengan menghalalkan segala cara. Pada sub bab
ini secara tidak langsung mengandung pembelajaran akan pentingnya mengungkap
fakta kebenaran.
Adapun
dalam sub bab lain dengan judul Cerita yang Tercecer, Sudjiwo Tedjo seolah
mengkritik mengenai fenomena masyarakat yang seakan kehilangan identitas
budayanya. Dimana banyak pemuda yang memiliki gelar sarjana tetapi tidak
memiliki budi pekerti.
“Tak
usah sewot, kekasih, perguruan tinggi memang cuma meninggikan ilmu. Untuk
meninggikan budi pekerti, mereka cuci tangan” (h 113).
Kutipan
pada sub bab ini membuat saya berpikir memang kenyataannya sekarang adalah
seperti itu. Para oknum yang mengaku sebagai sarjana ataupun orang berpendidikan
ternyata tidak lebih dari seorang hewan yang bergelar tanpa budi pekerti.
Pengkritikan
kasus yang diangkat Sudjiwo Tedjo terkadang bukan merupakan kasus yang viral
dan tersorot media, sehingga membuat para pembaca terkadang bingung. Tidak bisa
dipungkiri, masyarakat sekarang lebih suka menonton tayangan hiburan daripada membaca
berita. Hal inilah yang membuat pembaca terkadang tidak paham dengan satire
yang dimaksud Sudjiwo Tedjo sebelum mereka mencari tahu kasusnya terlebih
dahulu.
Namun,
manusia bukanlah makhluk yang sempurna tak terkecuali Sudjiwo Tedjo. Dalam
penulisan buku Tembang Tali Jiwo yang ringan masih terdapat beberapa kekurangan
dalam buku ini. Mengenai bahasa yang kerap kali masih membuat bingung pembaca,
hal ini bisa saja terjadi karena adanya pemahaman multitafsir jika buku hanya
dibaca sekali. Penggunaan diksi yang kerap kali menumbuhkan kekeliruan makna
membuat buku ini tidak bisa disimpulkan hanya dengan sekali duduk.
Secara
garis besar, Sudjiwo Tedjo coba mendiskusikan mengenai nilai-nilai luhur yang
tergerus bahkan hampir hilang di negeri ini. Mirisnya negeri yang kian bobrok karena
ulah rakyatnya ini terjadi sebab turut tenggelam dalam degradasi nilai-nilai
luhur bangsa seperti peduli terhadap sesama, jujur, turut melestarikan budaya,
dan masih banyak hal lainnya. Selamat membaca sebuah buku yang (tak) mudah serta
membuat otak berpikir keras.