Bias-Bias Pemahaman Perjuangan Keadilan Perempuan dalam Buku Alih Haluan

Gambar: Pinterest DENAHAURA ideas

Judul                           : Alih Haluan

Penulis                 : Sister of Yours; Salsabila Maghfoor (@bellamaghfoor), Emerlada Noor Achni (@benfiko), Dena J Jaura(@denahaura). Ratih Paradini (@dr.ratihparadini), Nadia P Lukita (@nadialukita), Shebyka Amanda (@shebyka_)

Ilustrator                     : Nazri Nuriza

Penerbit                      : Alfatih Press

Tahun Terbit               : 2020

Jumlah Halaman        : 316

Pada awalnya saya mengira buku ini berisi tentang motivasi dan pengalaman hijrah dari para penulis saja. Namun, setelah selesai membaca isinya bukan sebatas motivasi belaka justru memuat opini yang sangat ringan sekaligus mengundang pro kontra. Pasalnya terdapat beberapa bab tertentu yang membahas tentang isu perempuan prespektif Islam dari pemahaman yang berbeda.

Misalnya, pada halaman 186 Salsabila Maghfoor menuliskan opini mengenai keadilan yang diperjuangkan oleh para feminis. Meski tidak secara spesifik menyudutkan suatu kelompok, akan tetapi narasi yang dibangun dalam tulisannya mendorong pada statement bahwa ia menganggap perjuangan tersebut hanyalah membuang waktu. Penulis seakan-akan menganggap realitas yang hari ini kita hadapi sebetulnya sudahlah digariskan oleh Tuhan. Sehingga tidak perlu lagi mempermasalahkan tentang keadilan gender.

Dalam tulisannya ia mencontohkan perihal perjuangan melawan stigma yang melekat terhadap perempuan yang sudah tidak perawan di masyarakat, dan laki-laki yang tidak dipermasalahkan perjakanya sebab tidak dapat dideteksi seperti halnya perempuan.

Penulis beranggapan bahwa perjuangan ini sudah menyalahi fitrah sebagai perempuan, dan menganggap bahwa itu adalah alibi untuk bisa mendapatkan kebebasan dalam melakukan hubungan seksual seperti halnya laki-laki. Hal serupa juga dikatakan oleh dokter Ratih Paradini yang juga salah satu penulis di buku ini. Ia mengungkapkan bahwa memperjuangkan keadilan tersebut adalah bentuk pembebasan terhadap perempuan agar mendapat legitimasi yang sama dengan laki-laki.

Padahal, orientasi dan esensi dari perjuangan tersebut bukan tentang kebebasannya, melainkan adanya stigma perawan ini merupakan privasi sekaligus sebuah fenomena ketidakadilan gender yang merugikan perempuan.

Selain melawan stigma yang ada, memperjuangkan keadilan bukan berarti berlomba-lomba untuk menyaingi laki-laki, kembali ke esensi perjuangan itu yakni agar perempuan medapatkan hak kebebasan sebagai sesama manusia dan juga makhluk ciptaan Tuhan dimana Tuhan-pun tidak menilai makhluknya dari gender/jenis kelamin, tapi Tuhan menilai dari takwanya. Inti tujuannya adalah agar perempuan tidak mendapat diskriminasi dan juga terbebas dari sifat patriarkis yang selama ini tumbuh subur di lingkup masyarakat awam.

Adanya dsikriminasi sehingga perempuan lekat dengan stigma negatif, keberadaan stigma perempuan yang sudah tidak perawan membatasi ruang geraknya dalam kehidupan, untuk mendapatkan pekerjaan yang masih saja mempertimbangkan keperawanan, standar syarat pernikahan para laki-laki, hingga pelabelan masyarakat awam yang membuat perempuan tidak nyaman dalam menjalankan kehidupannya.

Salsabila juga berpendapat melalui kalimat “membersamai lelaki meraih harmonisasi kehidupan di segala lini”, saya lebih setuju jika membersamai dan saling membantu agar meraih harmonisasi dan juga kebahagiaan bersama, karena jika membersamai saja tidak saling membantu namanya bukan saling melengkapi, artinya kesalingan harus dibangun oleh keduanya bukan satu pihak saja.

Pada bab berikutnya yang ditulis Emerlanda Noor Achni menyinggung tentang otoritas tubuh perempuan. Saya setuju jika tubuh yang kita miliki juga termasuk titipan Tuhan, tapi yang tidak saya sepakati adalah opini penulis yang lagi-lagi menyinggung tentang stigma perempuan yang tidak menutup auratnya dengan sempurna (berjilbab pajang, besar). Saya tidak mempermasalahkan jika memang narasi tersebut tujuannya adalah mengajak pada kebaikan tapi narasi penulis perihal merasa lebih baik dan judgement terhadap orang lain dalam hal berpakaianlah yang kurang saya setujui.

Apalagi menyinggung tentang korban kekerasan seksual yang masih penulis narasikan dengan pakian yang ia kenakan, padahal riset Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menyimpulkan bahwa pakaian yang terbuka bukan hal utama terjadinya kekekrasan  terhdap perempuan. Bahkan 17%  korban mengenakan pakian yang tertutup.

Sebab, hal yang terpenting sebelum mengingatkan orang lain adalah menepis ego bahwa diri ini merasa lebih baik dari orang lain. Adapun perihal bagaimana cara orang berpakaian saya sepaham dengan buya Husein (K.H. Husein Muhammad) dalam tulisannya yang mengatakan,

Perintah menutup aurat adalah dari agama (teks syara’), tetapi batasan mengenai aurat ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan dalam segala aspek. Untuk itu, dalam menentukan batas aurat, baik untuk lelaki maupun perempuan, diperlukan mekanisme tertentu yang akomodatif dan responsif terhadap segala nilai yang berkembang di masyarakat, sehingga dalam tingkat tertentu batasan itu bisa diterima oleh sebagian besar komponen masyarakat. Dalam hal ini, perimbangan khawf al-fitnah yang sudah dikembangkan oleh ulama fiqh juga harus menjadi salah satu penentu pertimbangan, supaya tubuh manusia tidak dieksploitasi untuk kepentingan-kepentingan rendah dan murahan, yang bahkan mungkin meimbulkan gejolak (fitnah) dan mengakibatkan kerusakan yang tidak diinginkan, terutama bagi tatanan kehidupan bermasyarakat” (h 144).

Sebagai pembaca buku bertajuk ‘Alih Haluan’ ini, bukan hanya perihal ketidaksetujuan saya terhadap beberapa narasi yang tersaji di dalamnya, melainkan terdapat pula pembahasan yang saya afirmasi salah satunya ketika Dena Haura (bagian dari penulis buku) memaparkan tentang insecurity.

Pada narasinya ia mengungkapkan bahwa manusia sudah memiliki porsi dari Tuhan dimana sebagai manusia sudah seharusnya mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan, meskipun  rasa Insecurity perlu asal masih dalam batasannya dan selama itu memberikan dampak yang positif.

Menjadi ketertarikan tersendiri terhadap karya tulis yang diterbitkan oleh Sisters of Yours ini, terutama perihal bagaimana para penulis begitu lihai mengemas isi secara ringkas pada pembahasan di setiap babnya, sehingga dapat dikatakan buku ini sangat bisa diselesaikan dalam sekali duduk saja.

Akan tetapi secara keseluruhan buku ini memantik setiap orang untuk mendiskusikan topik-topik yang ada, terlebih  isinya dapat menambah wawasan dengan menanggapi isu perempuan  yang ada di sekitar dari sudut pandang  yang berbeda. Namun, di samping itu perlu juga untuk bersikap skeptis dan analitis dari narasi-narasi yang dibangun oleh para penulis.

Membaca buku-buku lainnya dari penulis yang berkompeten dalam bidang keagamaan dan isu-isu terkait serta saling bertukar pikiran dengan orang lain juga dipelrukan agar memperluas khazanah pengetahuan dan bagaimana kita merespon buku ini.

Oleh: Nanda Nur Octavia Ningrum

Editor : Feby 

 

 

             

Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama