Quarter Life Crisis, Permasalahan Sejuta Umat bagi Remaja yang Beranjak Dewasa

Dewasa ini, istilah quarter life crisis makin banyak digunakan oleh kalangan remaja yang beranjak dewasa. Namun, banyak dari kita yang belum paham apa sebenarnya quarter life crisis itu sendiri, apa saja tanda-tanda orang yang mengalami quarter life crisis, sebab cum dampaknya, serta bagaimana cara menghadapi hal tersebut.

Pada mulanya, merujuk dari pendapat Atwood dan Scholtz, quarter life crisis ini mulai ada ketika awal abad ke-19 postmodern. Adanya kemajuan teknologi yang begitu cepat pada prosesnya mempengaruhi standar hidup masyarakat. Hal inilah yang kemudian berdampak pada banyaknya tuntutan hidup menurut standar tersebut yang secara tidak langsung harus dipenuhi. Tidak hanya itu, fenomena persaingan antar individu juga kerap melengkapi munculnya quarter life crisis ini (Gerhana Nurhayati, 2019).

Quarter life crisis atau krisis seperempat abad adalah kondisi seseorang dengan rentang usia 18-30 tahun yang sedang mengalami rasa cemas dan gelisah akan banyak hal dalam kehidupan. Orang yang mengalami quarter life crisis biasanya cenderung merasa bingung, tidak memiliki arah, khawatir akan masa depan, merasa kosong dan tidak memiliki tujuan hidup.

Konsep quarter life crisis sendiri dalam buku berjudul ‘Quarter Life Crisis : The Unique Challenges of Life in Your Twenties’, menjelaskan tentang kesengsaraan yang dihadapi individu ketika mereka membuat pilihan tentang karir, keuangan, pengaturan hidup dan hubungan relasi dengan orang lain.

Bahkan, beberapa dari mereka yang sedang mengalami quarter life crisis juga berpikir akan eksistensi dirinya sebagai manusia. Melansir dari rsjmenur.jatimprov.go.id (17/05/21), Linkedin pernah melakukan survei pada tahun 2017 yang menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 75% dari usia 25-33 tahun di dunia mengaku pernah mengalami quarter life crisis dengan usia rata-rata 27 tahun.

Pada umumnya, ada beberapa macam kondisi yang kemudian dapat memicu terjadinya quarter life crisis, seperti permasalahan perihal pekerjaan, finansial pribadi, insecure dengan pencapaian orang lain, hingga kegelisahan karena hubungan dengan pasangan dan masih banyak faktor lainnya.

Faktor-faktor tersebut membuat seseorang terkadang jadi bercermin kepada diri sendiri, mengkomparasikan dirinya dengan orang lain, bingung harus bagaimana melangkah menuju masa depannya, sulit menentukan hidup dengan kemauan sendiri atau memenuhi tuntutan lingkungan sekitar, baik dari keluarga maupun masyarakat yang kemudian menimbulkan degradasi motivasi dalam melakukan segala sesuatu alias sudah tidak punya semangat hidup.

Tentu saja, kondisi ini tidak baik bagi kesehatan mental seseorang, karena berasal dari hal-hal di atas seseorang bisa saja mengalami quarter life crisis dan menimbulkan dampak pada dirinya seperti kepercayaan diri menjadi turun, acap kali mengalami kondisi stress, cemas berlebih, kesepian dan demotivasi.

Lalu bagaimanakah cara menghadapi fenomena ini?

1.     Jangan membandingkan

Era digital hari ini banyak membuat semua orang seakan berlomba membagikan setiap momen dalam hidupnya ke media sosial, salah satunya pencapaian. Saat seseorang mengalami quarter life crisis ia akan merasa sangat menyedihkan, frustasi karna melihat pencapaian-pencapaian itu. Sebab, tanpa disadari hal itu sudah termasuk membandingkan dengan kehidupan teman (yang tampak bahagia) dengan kehidupanmu sendiri.

Padahal, membandingkan pencapaian orang lain hanya akan membuang-buang waktu dan membuat tingkat kekhawatiran semakin tinggi. Alih-alih memikirkan kehidupan orang lain, mulailah mencari tahu apa yang sebenarnya ingin dilakukan dalam hidup.

2.      Ubah keraguan menjadi tindakan

Saat merasa bingung akan suatu hal dalam hidup, itu bisa menjadi sebuah kesempatan untuk menemukan titik terang baru. Mulailah mengisi hari dengan berbagai hal positif supaya dapat menemukan jawaban atas keraguan itu.

Misalnya saat merasa ragu akan jurusan kuliah yang sedang dijalani. Di samping tetap menjalankan tanggung jawab sebagai mahasiswa, bisa juga mulai mengisi waktu luang dengan relaksasi, menambah wawasan dengan membaca buku, mengikuti forum-forum diskusi supaya dapat bertukar pikiran, atau mengobrol dengan orang yang dianggap bisa membantu mencari jalan keluar atas semua keraguan yang dirasakan.

3.      Temukan orang-orang yang bisa mendukung

Setiap hal yang dilakukan oleh orang yang sedang mengalami quarter life crisis akan sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat, seperti dukungan dalam menggapai impian dan cita-cita.

Carilah orang yang memiliki minat pada bidang yang sama, atau orang yang bisa memberi inspirasi dan membuat diri menjadi lebih baik. Dengan begitu, maka seseorang tidak akan merasa sendirian dalam menjalani kehidupan.

4.      Mencintai diri sendiri dahulu

Ketika seseorang sedang mengalami quarter life crisis, mungkin akan cenderung mengabaikan banyak nikmat yang sudah dimiliki. Padahal, untuk mencapai tujuan hidup, sangat diperlukan rasa syukur dan mencintai diri sendiri terlebih dahulu.

Mulailah memperhatikan kebutuhan dan kepentingan diri sendiri. Dengan langkah tersebut, maka  seseorang akan mengetahui langkah yang seperti apa yang dibutuhkan dan menjadi prioritas diri sendiri, untuk kemudian diwujudkan satu persatu passion diri dengan memulainya dari hal-hal yang terkecil dahulu. Tanpa disadari, hal-hal kecil tersebut yang membuat hidup terasa menyenangkan dengan menikmati proses rangkaian setiap tahapnya.

Quarter Life Crisis bisa menyerang siapa saja karena hal tersebut adalah masalah hidup dan itu termasuk wajar. Pada fase ini, sangat diperlukan pula mental yang kuat dan juga kewarasan berpikir agar dampak dari fase quarter life crisis tidak terlalu parah atau sampai berdampak buruk.

Oleh karena itu sangat diperlukan pula mengenai kebutuhan jiwa dan raga. Hal tersebut dapat diawali dari beragam kegiatan yang sederhana seperti menerapkan pola hidup yang teratur dengan olahraga yang rutin, konsumsi makanan yang bergizi, memperbanyak minum air putih hingga merawat diri. Semuanya merupakan ikhtiar dalam menjaga diri supaya tetap sehat.

Apabila upaya sederhana ini masih menjadi rasa sulit yang dialami dan tidak menemukan jalan keluar, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater. Sehingga seseorang dapat mengetahui apa yang sedang terjadi terhadap dirinya, dan tidak mudah memberikan pelabelan berdasarkan hasil diagnosa pribadi yang justru malah semakin memperparah kondisi diri.

Oleh: Aeiantara

Editor: Elviana Feby


Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama