Dewasa ini, era baru bernama era disrupsi banyak memberikan sumbangsih perubahan signifikan dalam pelbagai sektor kehidupan. Guru Besar Harvard Business School, Clayton M. Cristhensen pernah mengatakan bahwa disrupsi merupakan sebuah fenomena perubahan besar yang dapat mengubah tatanan (The Innovator Dilemma : 1997).
Salah satu contoh sederhananya adalah era disrupsi berhasil menggeser aktivitas masyarakat yang awalnya serba konvensional, digantikan oleh kecanggihan teknologi yang banyak memberikan kemudahan terhadap manusia. Perubahan tersebut berpengaruh terhadap orang-orang yang kian terhegemoni dengan media, overload dengan masuknya informasi, dan mudah memberikan penilaian pada orang lain maupun mengcover diri di media sosial sebagai daya upaya untuk eksistensi dirinya di mata publik tanpa mempertimbangkan esensi yang sebenarnya.
Melihat Kembali PMII Hari Ini
Persoalan di atas sesungguhnya juga dapat dijadikan sebagai cerminan organisasi PMII yang kini sudah berumur 61 tahun. Di saat dewasa ini batas eksistensi dan esensi tidak lagi memiliki patokan yang baku. Telah banyak kita jumpai, kader-kader PMII lebih cenderung mementingkan eksistensi dibandingkan esensi. Contoh konkritnya, PMII mempunyai kuantitas kader yang sangat banyak. Tak dapat dipungkiri yang tergabung didalamnya turut mendaku sebagai kader PMII, bangga menjadi bagian dari kader pergerakan yang diharapkan mampu membawa kebermanfaatan.Namun, mirisnya pengakuan itu tidak diimbangi dengan upaya meningkatkan kapasitas dari kualitas masing-masing kader. Padahal, kecenderungan untuk lebih mengedepankan eksistensi daripada esensi pada waktunya akan menimbulkan apa yang disebut Tom Nichols sebagai matinya kepakaran (The Death of Expertise).
Tom Nichols dalam bukunya menyebutkan bahwa matinya kepakaran adalah ketiadaan kemampuan yang dipercayai sebagai kebenaran disebabkan oleh intensitas publikasi. Dan matinya kepakaran tersebut tentu akan berimbas pada ketidakpercayaan publik.
Ini menjadi refleksi kita bersama untuk berbenah bahwa PMII sudah saatnya merekonstruksi daya juga upaya agar dapat membentuk dan mencetak kader yang berkualitas.
Berbicara perihal rekonstruksi, juga berkaitan dengan bagaimana kader PMII yang sampai sekarang masih terlalu terfokus pada problematika internal yang tak kunjung selesai. Hal sekecil apapun seperti persoalan remeh semacam politik kampus, faktanya mampu memporak-porandakan barisan soliditas kader PMII. Konflik-konflik semacam itulah yang kemudian membuat kader PMII lupa atas apa yang diperlukan didalam ber-PMII.
Di PMII kita diajarkan untuk bertanggung jawab atas kata “berproses”. Pada hakikatnya, Inti dari bangunan kata proses, berjuang, dan berkhidmah di PMII adalah menjadikan pribadi kader PMII itu menjadi lebih baik. Akan menjadi percuma jika berproses hanya dimaknai dengan pengarusutamaan eksistensi semata.
Memahami Tujuan PMII
Sebagai kader PMII, kita perlu kembali pada tujuan awal dari PMII itu sendiri. PMII adalah organisasi yang bertujuan pada terbentuknya pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya serta komitmen atas perwujudan cita-cita kemerdekaan Indonesia.PMII memberikan penekanan bahwasannya tujuan dari PMII adalah terbentuknya pribadi, maka yang dibentuk dalam PMII adalah pribadinya bukan terfokus pada organisasinya. Jadi tidak perlu membesarkan PMII, tidak perlu mengejar eksistensi pmii, karena PMII akan otomatis mempunyai eksistensi yang luas ketika kader-kadernya memiliki esensi yang mendalam. Hal tersebut dapat terjadi apabila PMII mampu menjadikan kader-kadernya beresensi, tidak hanya bereksistensi.
Menyoal Eksistensi dan Esensi
Seyogyanya, keduanya (eksistensi dan esensi) mesti diletakkan dalam posisi sejajar dan sejalan. Mengapa demikian? Karena esensi dan eksistensi memiliki keterkaitan yang erat. Dalam diri seseorang, ada dua aspek yang memiliki keterkaitan yakni esensi dan eksistensi. Esensi sendiri merupakan makna, tujuan, cum hakikat yang melekat dalam semua aktivitas manusia untuk bereksistensi.Esensi pada dasarnya sering digunakan dalam konteks substansial, atau arti terdalam atas sesuatu. Sementara eksistensi dapat diartikan sebagai upaya memperlihatkan keberadaan diri terhadap objek lain. Secara eksplisit, eksistensi menyentuh area narsisme setiap individu dalam kerangka menunjukkannya kepada pihak lain.
Eksistensi penting dalam konteks tertentu, namun sebelum menginjak kesana PMII butuh esensi. Esensi itu yang sebenarnya perlu dibangun sebelum masuk ke tataran eksistensi. Eksistensi dibangun ketika esensi minimal sudah pada pondasinya.
Implementasinya terletak pada pengembangan kualitas diri kader PMII secara komprehensif dan simultan. Dengan begitu, PMII mampu berkembang dan bersaing menunjukkan kualitas serta eksikstensinya di ranah publik, tanpa perlu takut akan kelemahan kualitas individu. Terakhir, jika kader PMII ingin dianggap mampu dan diperhitungkan di kancah nasional maupun internasional, yang perlu diperbaiki adalah esensi dan kualitas diri. (Elviana Feby Dwi Jayanti)