pmiirashul.or.id – Perjalanan sejarah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) adalah perjalanan pemberontakan dari tata nilai yang stagnan. Perjalanan panjang PMII merupakan manifestasi dari gerakan progresif serta pola pikir yang melampaui zamannya. Sejak kelahirannya, PMII telah menginisiasi begitu banyak perubahan sebagai salah satu kekuatan penyeimbang civil society di Indonesia. Maka tidak berlebihan jika PMII dianggap memiliki andil yang cukup besar dalam keikutsertaanya membangun Agama, Bangsa, dan Negara ini.
Jika menilik sejarahnya, kelahiran PMII tak lepas dari nafas pemberontakan dan ketidakpuasan atas pembagian peran yang coba diusung oleh kakaknya, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Kader-kader progresif Nahdlatul Ulama (NU) kala itu menuntut peran lebih dalam upaya membangun dinamika sosial politik kenegaraan yang lebih baik. Mereka ingin, para pemuda NU yang telah mencapai tingkatan mahasiswa memiliki wadah tersendiri dalam mengejawantahkan gerakan, nilai, serta pola pikirnya.
Dengan diwarnai oleh berbagai perjuangan dan tarik ulur kepentingan, pada 17 April 1960 PMII disetujui sebagai salah satu Badan Otonom (Banom) yang mewadahi pemuda dan mahasiswa NU. Sejak saat itulah PMII mulai menunjukkan taringnya sebagai salah satu organisasi mahasiswa yang patut diperhitungkan di kancah Nasional. Kader-kader PMII mulai menggalang kekuatan internal sembari melakukan konsolidasi gerakan eksternal guna menjaga stabilitas gerakan mahasiswa di tengah carut marutnya kondisi sosial politik kenegaraan.
Nafas Pembaharuan
Hadirnya PMII dalam dinamika pergerakan awal kemerdekaan Indonesia seolah menjadi oase sekaligus kekuatan tambahan dalam mewujudkan idealisme pemuda yang menginginkan kehidupan lebih baik secara sosial, politik, maupun ekonomi. PMII dan organisasi mahasiswa lainnya menggalang kekuatan bersama civil society, bergerak mengkritisi pemerintah yang kala itu dianggap otoriter dan tak memihak rakyat kecil.Berkat kegigihan dan perjuangan tak kenal lelah, PMII bersama elemen mahasiswa dan masyarakat lainnya berhasil “menumbangkan” rezim yang sah (baca: rezim Soekarno) dan merumuskan tatanan masyarakat baru yang lebih ideal. Selanjutnya, ide, gagasan, dan gerakan kader PMII masih terus diperhitungkan dalam membangun demokrasi di Indonesia. Diaspora kader PMII di berbagai sektor menambah daya gedor keterwujudan atas ide dan gagasan yang ada.
Namun demikian, terlepas dari berbagai aksi heroik yang diperjuangkan oleh kader PMII di awal kelahirannya, PMII juga mengalami fase kebimbangan menentukan arah gerak saat rezim berganti dengan pola pengelolaan pemerintah otoriter yang lebih sistematis (baca: rezim Soeharto). PMII sempat dilanda kegundahan kala gerakan dan perjuangannya ditekan sedemikian rupa oleh rezim yang pada awalnya sangat dielu elukan mampu membuat perubahan yang signifikan.
Saat berada dalam tekanan itulah PMII menunjukkan gerakan dan pola pikir berkelas sebagai agent social control. Alih-alih menciut dan mengkerut karena dikerdilkan, PMII justru membanting setir mencari alternatif gerakan baru untuk tetap eksis dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Berawal dari gemblengan kawah candradimuka intelektualitas kader, PMII berusaha menciptakan kurikulum baru dalam kerangka mewujudkan kehidupan lebih baik di masyarakat.
Pencarian alternatif peran dan gerakan yang dilakukan oleh PMII saat itu menunjukkan bahwa PMII memiliki pondasi yang kuat dalam menentukan pola dan arak geraknya sendiri. Kedewasaan bersikap dan kematangan berpikir itu pada waktunya mengantarkan PMII mengambil jalan independen untuk tidak terikat dengan kekuatan sosial politik manapun dan memilih bebas bergerak sesuai mandat organisasi.
BerPMII: Mencipta Kurikulum
Dari simpul sejarah singkat diatas dapat diambil benang merah bahwa PMII hampir selalu mampu beradaptasi dengan setiap keadaan yang ada. Berbekal jiwa kritis dan nalar progresif, PMII kerapkali mendobrak tatanan sosial masyarakat yang tak sesuai dengan idealisme yang dipegang.Jiwa kritis dan nalar progresif tersebut tentu tidak lahir dari ruang kosong. Begitu banyak dialektika yang diciptakan sebelum satu keputusan dapat diambil. Dari berbagai dialektika itulah kematangan berpikir kader PMII dibangun dan dikembangkan.
Muh. Hanif Dhakiri dalam bukunya Post Tradisionalisme Islam: Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII menyebutkan bahwa kematangan dan corak pembaruan pemikiran PMII tidak lepas dari konsumsi bacaan dan sosiologi pengetahuan yang melingkupi. Kematangan berpikir tersebut setidaknya menciptakan tiga polarisasi paradigma gerakan. Pertama, pergeseran otoritas struktural ke otoritas kultural. Kedua, pergeseran otoritas massa ke penguatan otonomi individu. Ketiga, menggantikan mental elitis menjadi mental populis.
Kiranya tidak perlu penulis jelaskan bagaimana penjabaran dari ketiga polarisasi tersebut. Toh, kader PMII sudah cukup dewasa dan terbiasa untuk membaca buku dan memperdebatkannya hingga larut malam. Penulis hanya akan menyoroti bagaimana PMII mampu selalu bertahan bahkan survive dalam masa-masa kritis.
Seperti sama-sama kita ketahui, kondisi sosiologis kader PMII kebanyakan adalah masyarakat menengah kebawah. Dahulu, kondisi tersebut justru menjadi cambuk pergerakan dalam rangka menentang status quo masyarakat mapan. Buku-buku kiri seakan menjadi buku wajib setiap kader PMII dalam keberlangungan proses organisasi.
Sehingga tidak heran jika pada masa itu PMII dianggap sebagai macan yang sangat heroik dalam percaturan sosial politik Nasional. Bahkan kritik yang dilontarkan tidak akan lepas dari solusi yang ditawarkan. Saat itu, PMII bisa terlihat sangat melangit, namun juga sangat bisa diandalkan saat membumi.
Walau tak pernah hidup langsung dalam kurun waktu kelahiran PMII, namun buku-buku sejarah sangat mendekatkan penulis dengan nafas setiap pergeakan masa itu. Penulis mendapatkan kesan yang sangat berbeda dari apa yang telah dialami dan dilakukan PMII masa lalu dengan PMII saat ini.
Singkatnya, kita seringkali lupa bahwa salah satu esensi penting BerPMII adalah mencipta kurikulum. Kita sering lalai atas apa yang menjadi dasar kritik dan kecaman yang kita lontarkan. Kritik pada akhirnya hanya akan berakhir pada teriakan-teriakan semu yang tearabaikan dan bermuara pada upaya perubahan yang nihil dan tak berbekas.
Padahal, jika kita mau melihat dengan seksama apa yang ada di sekitar kita, sudah barang tentu kita pasti menemukan beberapa kurikulum/skema/prinsip/sistem yang tidak efektif atau bahkan bertentangan dengan apa yang kita yakini sebagai kader PMII.
Disanalah tugas dan posisi startegis kita sebagai agent social control dalam kerangka besar pembangunan kapasitas civil society yang ada untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Kesadaran kecil inilah yang penulis yakini akan berdampak besar dalam pengejawantahan tujuan PMII yang termaktub dalam Anggaran Dasar Bab IV pasal 4.
Untukmu satu tanah airku, untukmu satu keyakinanku. Panjang umur pergerakan, tumbuh subur kader PMII. Selamat Hari Lahir PMII ke-61. Semoga PMII semakin di depan dalam kemajuan. Amin.
(Nanang Bagus Zuliadi*)
*Penulis merupakan kader PMII yang pernah berproses sebagai Koordinator Biro Media dan Penulisan PMII Rayon Ushuluddin serta Ketua II PMII Komisariat UIN Walisongo Semarang.