Post Truth atau sering kita dengar dengan era matinya kepakaran diartikan sebagai era penyebaran informasi menggunakan argumen, pendapat maupun keyakinan seseorang yang intensitasnya masih abu-abu. Faktor utamanya ialah pengaruh emosional serta kepercayaan terhadap keyakinan pribadi lebih tinggi dibandingkan fakta dan data yang objektif dalam membentuk opini publik.
Dalam sejarah, Post Truth digunakan sejak tahun 1992. Kemudian digunakan kembali oleh Donald Trump untuk tak-tik dalam pemilihan presiden AS. Tak heran, jika Post Truth bisa jua mempunyai arti "pasca politik". Karena kenyamanan penggunaan informasi bohong atau hoaks di tengah masyarakat demi suatu kepentingan politik.
Kini perkembangan pesat dunia teknologi, mengantarkan kita pada era media sosial. Semua pengguna media sosial bisa mengungkapkan argumen melalui akunnya masing-masing. Hanya akhir-akhir ini saja pengguna media sosial dibatasi dalam menyampaikan pendapat karena UU ITE. Dari sinilah masyarakat juga dapat menerima informasi dari media sosial. Pahitnya, tidak sedikit orang yang menelan informasi secara mentah tanpa menyaring isinya terlebih dahulu. Padahal belum tentu yang memberikan informasi adalah seorang ahli bahkan pakar di bidang tersebut. Misalnya: Seorang selebriti papan atas berbicara telah menemukan ramuan jamu untuk obat vaksin covid dalam video Youtube. Nah, informasi semacam tersebut perlu kita pertanyakan, beliau ini sosok seleb biasa tampil menyanyi tiba-tiba mengumumkan vaksin covid dan sebagainya ini perlu kita cross check lagi dari berbagai sumber. Tidak lantas mudah percaya begitu saja karena kita menyukai video beserta telah subscribe kanal Youtube sang seleb.
Inilah yang dimaksud Badai Post Truth, informasi faktual diombang-ambing oleh beberapa orang yang bukan pakar dan ahli pada bidangnya. Tetapi bersikukuh menerangkan bidang tersebut kepada khalayak umum. Berita palsu sengaja ditebarkan oknum tertentu demi menggiring opini publik. Betapa malangnya, nasib orang-orang bersumbu pendek yang gugup menahan emosional tatkala berselancar di media sosial. Hari-harinya akan diliputi rasa mudah terpancing amarah dari reaksi menerima informasi. Sedangkan oknum tertentu di balik penyebaran berita palsu pasti akan bertepuk tangan atas kekacauan yang terjadi.
Lalu bagaimana kader PMII menyikapi Post Truth?
Manhaj al-Fikr, landasan metode berpikir warga Aswaja yang menjembatani antara wahyu Allah dengan akal manusia merupakan jawabannya. Selain menjadi metode berpikir, Manhaj al-Fikr juga bertujuan untuk menjaga stabilitas keamanan umat dalam mencakup segala aspek kehidupan berlandaskan 4 (empat) pilar, yakni: Moderat (tawasuth), Menjaga Keseimbangan (tawazun), Keadilan (ta'adul), serta Toleransi (tasamuh). Metode berpikir ini pun menolak berbagai tindakan licik, kasar, merusak, intoleran terhadap hal-hal yang membawa mudharat (kerugian) pada umat.
Utamanya dalam menghadapi kehidupan dunia maya, memilah informasi dari media sosial ataupun televisi sangatlah perlu supaya tidak mudah terprovokasi. Adapun kunci dasar menuju empat pilar Manhaj al-Fikr yaitu dengan tabayyun terlebih dahulu, mencari tahu asal muasal sumber konten dan mengkaji isi informasi. Entah berupa dari literatur bahkan diskusi dengan sahabat-sahabati. Setelah tabayyun kita akan dapat mengambil kesimpulan jalan tengah (tawasuth) yang adil (ta'adul) sehingga diharapkan tidak condong terhadap pihak manapun (tawazun). Tentunya dengan tetap saling menghormati argumen orang lain (tasamuh).
Walaupun tak dipungkiri, seseorang yang memegang bahkan mengamalkan Manhaj al-Fikr bisa saja tergerus Post Truth, contohnya seperti: sikap mempunyai kecondongan terhadap suatu pihak tertentu. Kemudian bagaimana cara menguatkannya supaya tidak terseret arus lebih jauh? Ingat diri kita adalah kader PMII (Aswaja Nahdliyin) memiliki kultur PMII yakni kultur santri. Setiap melakukan tindakan tadabbur kepada kiai beserta ulama' (guru).
Artinya ketika menghadapi tantangan perkembangan zaman, kader PMII tidak boleh lupa terhadap kultur santri Aswaja yakni bertadabbur kepada kiai dan ulama'. Jadi, saat dihadapkan berbagai persoalan kemaslahatan umat seperti halnya Badai Post Truth, kader PMII Ahlussunnah Wal Jama’ah ini sudah seharusnya dapat menangkisnya dengan perisai yang terdiri dari tabayyun, Manhaj al-Fikr dan tadabbur tersebut.
Harapan selanjutnya bukan hanya Nilai Dasar Pergerakan, Paradigma Kritis Transformatif yang melekat pada diri kader PMII. Semoga kultur santri Ahlussunnah Wal Jama'ah yang tawadhu' tersebut juga dapat istiqomah tertanam pada jiwa raga masing-masing kader PMII dalam mengarungi derasnya arus perkembangan zaman. (Rida Fahima)