Suatu ketika ada seorang mahasiswa bernama Wawan, datang berkunjung ke kediaman Bung Isfandiari. Setelah mengucapkan salam, ia terdiam melihat sebuah ornamen dinding berhias 5 kalimat berurutan dalam kultur agama yang berbeda- beda. Dari depan pintu rumah, Bung Isfan memanggil. Sore itu tampak sunyi ditemani suara percikan air mancur kecil di pekarangan rumah. Tetapi obrolan kala itu sungguh asyik dan terkadang berbotot dibalut candaan dan gelak tawa renyah keduanya. Beliau sedikit nyeletuk, "Wan,, ngapain kamu bengong tadi ?. "Nggak, kang cuma sedikit kesulitan membaca ornamen dinding atas itu”, ujar Wawan dengan senyum kecilnya. Bung Isfan menjawab, "Ohhh gitu, itu sebenarnya peninggalan papa. Karena dulu selain aktif dalam wacana politik sebagai jurnalis, papa juga konsen dalam kajian pluralisme dan kaum minoritas. Makanya tidak heran ada pernak- pernak macam itu di rumah".
Sedikit kutipan yang saya ambil dari Dialog meperingati Haul Mahbub Djunaidi ke-24 yang diadakan PMII Komisariat Walisongo Semarang tahun lalu, seakan menjadi pembenar bahwa faktor kecil dapat menjadi pemantik sebuah kekaguman akan sesuatu, dalam hal ini sosok H. Mahbub Djunaidi. Lebih menarik, justru kekaguman ini muncul dari seorang mahasiswa dari komunitas motor yang sama dengan Bung Isfan. Tidak memiliki kiprah dalam jurnalistik, ormas, politik atau pun gerakan mahasiswa.
“Gajah dipelupuk mata tidak tampak, semut diseberang lautan jelas tampak”. Adagium itu agaknya juga berlaku untuk melihat keindahan dalam diri seseorang. Kepiawaian H. Mahboeb Djunaidi merajut kata penuh dengan candaan serta gaya obrolannya dalam wacana berat maupun ringan, yang sudah tidak diragukan lagi. Bagi kader PMII yang baru selesai MAPABA- baru mengenal PMII- rasa kagum dan takjub mungkin hanya diwakilkan dengan perasaan bangga, tidak lebih karena menjadi penerus Sang Pendekar Pena. Apalagi embel- embel aktivis yang dulu sampai sekarang menjadi status elegan seorang mahasiswa. Contoh lain misalnya, bukan kebetulan bahwa Greg Barton seorang peneliti dari Australia, menikmati bertahun- tahun singgah di Indonesia untuk sekadar berbincang dengan Gus Dur dan menghadiahkan karya berjudul "Biografi KH. Abdurrahman Wahid" sebagai bentuk penghormatan selepas beliau wafat. Acap kali kekaguman seseorang terhadap sesuatu timbul dari faktor paling kecil dan jarak yang amat jauh.
Tetapi cobalah sedikit mundur untuk merasakan kekaguman yang lebih besar. Kalau tidak sempat bahkan membuang- buang waktu, bisa sedikit dipaksa. Sejenak lepaskan gelar beliau dan mulai dengan pencarian berat untuk merefleksikan penokohan beliau. Bisa mulai dengan biografi, jejak kepenulisan, aktivitas beliau dalam NU, sosok ayah dari Bung Isfandiari, suami ibu Hasni Asjmawi, atau persahabatan beliau dengan KH. Abdurrahman Wahid, Pramodya Ananta Toer bahkan Ir. Soekarno.
Merangkai Ingatan lewat Kawan, Sahabat serta Keluarga Mahbub
Kenangan terhadap sosok burung parkit- sebutan KH. Lukman Hakim Saifuddin kepada Mahbub Djunaidi- tak kunjung pudar bahkan semakin terlihat titik terangnya. Pada tahun- tahun terakhir buku Sang Maestro seperti Pergolakan Umat Islam di Filipina Selatan mulai dicetak ulang setelah begitu lama tersapu oleh waktu. Refleksi penokohan Mahbub lewat ingatan- ingatan kawan, sahabat serta keluarga mulai muncul dengan terbitnya buku berjudul “Bung : Memoar Mahbub Djunaidi” oleh Isfandiari, Iwan Rasta dan “Uniknya Ka Abo : Mahbub Djunaidi Dimata Adiknya, Fadlan Djunaidi” oleh Fadlan Djunaidi. Sesungguhnya, pencapaian ini adalah untuk mengobati kerinduan yang dalam terhadap sosok Mahbub Djunaidi. Seperti yang disampaikan Mas Lukman, penerus beliau memang banyak tetapi untuk menghadirkan Mahbub dalam diri yang lain rasanya tidak mungkin.
Kekaguman ini rasanya juga tumbuh pada orang nomor satu di Indonesia kala itu, Ir. Soekarno. Perjumpaan beliau bermula dari gagasan Mahbub yang merepresentasika Pancasila lebih sublim dari “Declaration of Independent” susunan Thomas Jefferson atau Manifesto Komunis Karl Marx dan Friedrich Engels. Tidak lama setelah itu, Soekarno meminta KH Saifuddin Zuhri (saat itu menjabat Menteri Agama) supaya mengantarkan Mahbub Djunaidi ke Istana Merdeka. Bung Karno ingin melihat “tampang” Mahbub, katanya. Setelah Mahbub berhasil dihadirkan ke Istana Merdeka, terjadilah obrolan santai dan lugas. Melihat Mahbub dengan perawakan kecil serta kurus dan argumentasi kuat, tentunya jenaka dalam tulisannya, membuat Bung Karno semakin megagumi anak dari Haji Djunaidi yang kala itu juga menjadi Kepala Biro Peradilan Departemen Agama. (Baca KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013: 680).
Selain itu dalam pergaulan sehari- hari, Mahbub termasuk tipikal orang yang mudah terbuka kepada semua kalangan tanpa memandang perbedaan ras maupun keyakinan. Dalam buku Bung : Memoar tentang Mahbub Djunaidi, banyak kolom yang bercerita tentang kedekatan beliau dengan pejabat pemerintah, kalangan NU, kawan- kawan etnis Tionghoa, anak-anak motor bahkan pemuda jalanan. Salah satu persahabatan Mahbub dengan Rahmanto Jarden alias Tinghoa Tjiam mendapat perhatian khusus dari putra kelima, Bung Isfaindiari. Menurut Om Tjiam, Mahbub adalah pribadi yang istimewa. “Ia yang ngotot membela Tionghoa dalam tulisan- tulisanya. Buat kami Mahbub itu pahlawan, jauh,,jauh sebelum banyak tokoh yang gembar-gembor bicara sosal toeransi antar ras juga agama, ia sudah mengkritik kebijakan Orde Baru pada minoritas.”
Mahbub Djunaidi juga mempunyai cerita tersendiri dimata keluarga dan orang terdekatnya. “Saya menemukan kecerdasan yang membuahkan kelucuan dalam satu paket di diri Mahbub Djunaidi”, ujar Fariz Alniezar (Lurah di Komunitas Omah Aksoro Jakarta) salah satu orang terdekatnya. Lebih lanjut, Kak Abu (panggilan akrab Mahbub) pernah mengatakan, “Gue udeh punye cucu ni hari. Gue kagak mau jadi tue bangke. Lu mesti panggil gue Bung”, sembari menggendong cucu pertamanya. Sejak saat itu Mahbub dipanggil Bung oleh anak dan cucu- cucunya.
Kolom- kolom Mahbub yang khas penuh satire tajam mampu membingkai sebuah tragedi dengan bahasa komedi. Tak ayal, Mahbub sampai menjadi tahanan politik selama 2 tahun dan menjadi tahanan rumah karena dituduh subversif oleh rezim soeharto. Hj. Asni Asjmawi istri Mahbub dengan setia mendampingi selama beliau ditahan di Nirbaya. Selama ditahan kesehatan Mahbub semakin menurun sehingga aktivitas menulis sedikit terganggu. Tetapi diam- diam beliau sempat menterjemahkan buku. Naskah tulisan tangan Mahbub diambil oleh istrinya keluar dari penjara. Lembar demi lembar diketik dan diperhalus oleh sang istri. Terjemah buku Road to Ramadhan karya Husein Haikal dan Seratus Tokol Paling Berpengaruh dalam Sejarah karya Michael Hart akhirnya berhasil diterbitkan dan menjadi salah satu terjemahan terlaris kala itu. Sepertinya benar bahwa dibalik orang- orang hebat dalam hal ini Mahbub, ada wanita tangguh bernama Hj. Asni Asmjawi.
Warisan Beliau kepada Kader Bangsa
Berharap seorang Mahbub Djunaidi akan lahir kembali tentu merupakan hil yang mustahal- para penikmat karya Mahbub pasti kenal istilah ini. Sebagai anak biologis, Bung Isfandiari berharap kepada Kader PMII dan Nahdliyyin untuk meneladani Papa -sebutan beliau kepada Mahbub Djunaidi- dengan meneruskan perjuangan orang- orang terdekat papa yang telah ditinggal pergi lebih dulu. Bukan kebetulan bahwa Mahbub merupakan NU tulen dan mampu menahkodai PMII sampai penghujung batas umur beliau. Mahbu Djunaidi dikenal luas sangat dekat dengan Bung Karno. Pemikiran kiri beliau juga sangat terasa lewat latar belakang dan setiap kolom yang disajikannya.
Tetapi kenapa beliau memilih NU dibanding yang lain?. Kegelisahan ini diungkap putra kelima Mahbub, Isfandiari, saat memberikan kesaksian tentang kepribadian ayahnya dalam Simposium Pemikiran Mahbub Djunaidi dan Pendidikan Jurnalisme Kader yang digelar Pengurus Besar PMII di Jakarta. “Kenapa sih Papa tidak nyoblos PKI, kok malah nyoblos partai NU ?” kata Isfandiari mengisahkan dialognya bersama Mahbub semasa NU menjadi partai politik. Isfandiari mengaku, saat itu masih menganggap NU sebagai kelompok yang konservatif. “Karena di NU ada ruh yang nyaman”, ujarnya menirukan gaya Mahbub.
Sebagai kawan, pengagum, penerus atau khususnya kader PMII menjadi pelik jika kita kurang mampu memahami bapak ideologis kita sendiri. Warisan beliau dan para pendiri PMII yang lain patut kita perjuangkan. Kurang bijak jika kita mengaku sebagi penerus tetapi masih buta akan tujuan bahkan pesan Mahbub yang diamanatkan dalam PMII, NU, dan orang- orang terdekatnya. Lantaran pencarian ini semoga rasa kagum kita semakin bertambah dan menjadi penggerak untuk mampu meneladani Sang Maestro, H. Mahbub Djunaidi.
Muhammad Ilham Sofyan
(Kader PMII Rayon Ushuluddin)