Gambar diakses dari syahadatpost.com
Ada kecenderungan yang menarik dalam lima tahun terakhir yaitu, kecenderungan berwirausaha di tubuh PMII secara umum, artinya baik tingkat nasional sampai ke tingkat rayon, tidak terkecuali Rayon Ushuluddin Komisariat Walisongo. Anda bisa cek sendiri, masukan kata kunci di mesin pencarian seperti “PMII Pelatihan Wirausaha, PMII Seminar Wirausaha”. Akan muncul beberapa daerah yang merata punya kegiatan semacam itu. Tentu hal ini perlu diapresiasi, karena Indonesia memang kekurangan wirausaha, apalagi wirausaha yang PMII “tulen”.
Meskipun perlu diapresiasi, bukan berarti tidak perlu diwaspadai. Saya menuding gerakan semacam itu tiba-tiba mendapat karpet merah dalam lingkungan pergaulan PMII, hal ini saya lihat juga mengikuti tren perkembangan sektor properti. Karpet merah bagi saya kemudian menempatkan aktifis PMII semakin tertinggal di dunia intelektual. Semakin lesu kader PMII yang serius di dunia intelektual dan terlibat dalam perang gagasan di tingkat nasional. Hanya ada perang pengaruh di musim politik elektoral. Hal ini juga bukan kebetulan, politik elektoral tentu akan memudahkan seseorang menjadi pengusaha jika berada di kubu yang menang.
Tulisan ini bukan untuk mengkritik atau memandekkan gerakan semacam itu, tetapi sebatas peluit yang dibunyikan untuk mewaspadai suatu keseimbangan yang niscaya. Keseimbangan yang saya maksud adalah gerakan intelektualitas dalam budaya tulis-menulis. Saya akan mencoba membuat titik berangkat untuk mendiskusikan tema “gerakan intelektualitas” ini dalam beberapa batasan. Pertama batasan sebagai bahan tindak lanjut Pelatihan Kader Dasar (PKD). Kedua sebagai batasan diseminasi sifat professional yang dimaksud dalam Anggaran Dasar PMII Pasal 3.
Batasan pertama membuat diskursus Gerakan Intelektualitas di tubuh PMII Rayon Ushuluddin harus punya produk tulisan yang jelas. Selama ini produk yang dimaksud masih dibatasi struktur organisasi yang kaku. Buletin yang diproduksi masih dipandang sebagai program kerja, belum menjadi alat perjuangan. Dengan begitu, masalah yang dihadapi tinggal buletin itu berhasil diterbitkan atau tidak dipenghujung kepengurusan. Hal yang saya tawarkan? Ubah produk tulis menulis ini dalam paradigmanya dan susun hirarkis yang baru.
Paradigmanya adalah alat juang, sehingga hasil tulis menulis ini selalu kontekstual dan bisa dipublikasikan berkali lipat seiring isu yang diperjuangkan. Hirarkis baru yang saya maksud adalah ketentuan angkatan dalam menghasilkan produk tulisan, missal anggota rayon dibebani membuat buletin, pengurus membuat buku bahkan alumni juga bisa dimintai kontribusi. PMII Walisongo dalam sejarahnya, memang bukan asing terhadap budaya semacam ini, meski lima tahun terakhir pamornya kalah jauh dibanding diskursus wirausaha. Hal semacam ini yang saya sebut sebagai batasan pertama, yaitu tentang tindak lanjut PKD.
Batasan kedua lebih mengarah pada penciptaan kader professional di bidang tulis menulis. Mengingat Ushuluddin adalah habitat pemikir, maka wajar jika ada kader Ushuluddin yang punya focus kajian pemikir yang sepesifik. Missal, seorang kader dari Studi Agama-Agama, focus pada kajian nirkekerasan, atau Kader Ilmu Al-Quran dan Tafsir focus pada kajian tafsir kontemporer. Besar harapannya akan ada pemikir professional sekala nasional yang dilahirkan di rayon ini dengan kepakaran yang jelas. Perlu ketekunan dan bimbingan dari senior agar kader seperti ini bisa lahir.
Defisit pemikir-penulis (intelektual) sebenarnya sama bahayanya dengan defisit wirausahawan. Tanpa pemikir yang ideloginya jelas, keberpihakannya jelas, memang ekonomi bisa tetap tumbuh asal wirausahawan diproduksi secara masal. Tetapi tugas seorang intelektual yang terus membersamai kaum tertindas yang dicurangi mitos pertumbuhan ekonomi, tentu tidak bisa dihilangkan hanya dengan PMII memproduksi Wirausahawan semata. Maka penyeimbangan ini perlu dengan menaikkan semangat budaya tulis menulis ini. Sehingga gerakkan PMII masih berkutat dalam penyumbang gagasan menyehatkkan bagi kehidupan nasional berbangsa.
Jika ada pandangan banyak kader PMII yang sudah menghidupkan budaya tulis menulis tetapi tetap saja miskin dan lemah dalam relasi pengaruh, hal itu bisa dikomentari balik dengan beberapa argumen. Pertama bisa jadi kader tersebut secara teknis gagal membuat gagasannya mempengaruhi masyarakat secara luas, maka pentingnya hidup berorganisasi-berjejaring dalam menunjang profesionalitas kader di Gerakan Intelektualitas sangatlah penting. Selanjutnya bisa juga masyarakat secara luas nalar kritisnya telah dilemahkan oleh berbagai budaya populer, sehingga upaya inteletualitas yang terus menerus penting dikerjakan.
Terakhir, jika suatu saat ada kader PMII secara komersil menulis buku, harapan saya kita membeli karena gagasan yang ia tawarkan menyentil jiwa pengetahuan kita, bukan hanya karena dasar sentimentil ikatan primordialisme ke-PMII-an kita semata. Setiap kegiatan di level nasional yang membutuhkan kemampuan profesionalitas di bidang tulis menulis, harapan saya ada satu kader PMII di antara tokoh yang terlibat dalam diskursus nasional tersebut. Menyumbang pertumbuhan ekonomi bisa dilakukan siapa saja, bahkan pengusaha yang hanya mengejar akumulasi keuntungan secara terus menerus bisa berkontribusi melalui pajak. Tetapi bagaimana arah pertumbuhan ekonomi harus dikerjakan berdasarkan gagasan sekelompok orang yang benar-benar paham berbagai persoalan.
Kader PMII dalam setrategi pengembangan PMII (salah satu materi wajib PKD) dengan begitu harus turut andil dalam Gerakan Intelektualitas nasional yang lesu ini. Menulis dan sebarkan gagasan, susun argumenmu dan buat masyarakt bersimpati pada apa yang diperjuangkan.
* Ahmad Muqsith
Wakil Ketua I Bidang Internal PMII Rayon Ushuluddin 2013-2014, Rektor UKM KSMW 2015, Pegiat di Minerva.id https://www.minerva.id/