Indonesia Mengguggat Keresahan Agraria (Lagi)?

Gambar diakses dari ivaa-online.org

Keterpurukan ekonomi menjadi wacana utama imbas pandemi covid-19 di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Keterpurukan ekonomi yang merupakan buntut mandeknya roda perekonomian oleh karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar dus menyumbang penurunan kapasitas produksi dalam negeri baik di sektor industri, peternakan, kelautan, perdagangan, maupun pertanian. Ancaman krisis pangan pun menjadi konsekuensi paling fatal atas keterpurukan ekonomi yang kasat mata.

Diwawancarai salah satunya oleh BBC akhir Maret 2020 lalu, Maximo Torero, Kepala Food and Agriculture Organization (FAO) mengatakan pandemi covid-19 dapat berdampak pada kelangkaan pangan. Kemudian 4 April 2020 FAO juga melayangkan pernyataan resmi supaya negara-negara melakukan penanggulangan dampak pandemi dalam konteks humanitas dan krisis pangan. Analisis FAO ini menjadi pemberitaan internasional yang berbuntut pembatasan ekspor dunia demi kestabilan pangan dalam negeri. Tak khayal jika Indonesia yang notabenenya merupakan negara impor pangan kelabakan akan ancaman krisis dalam negeri.

Dari perspektif yang berbeda, krisis pangan yang dilayangkan sebagai dampak dari pandemi covid-19, sejatinya sudah dirasakan jauh sebelum pandemi menjangkit. Dengan kata lain, pandemi covid-19 dijadikan tameng menangkal pendiskreditan pemerintah atas potensi besar krisis pangan. Impor Indonesia terhadap beras, gula, bawang, hingga garam yang tersendat akibat pembatasan ekspor dunia di masa pandemi menandakan Indonesia terkena lampu kuning ketahanan pangan. Atau bisa dikatakan tidak adanya kemandirian pangan adalah penyebab krisis pangan di musim pandemi.

Bukan kenaikan harga pangan melainkan kemampuan produksi dan konsumsi (akses pangan) masyarakat yang mengakibatkan krisis pangan. Apabila akses pangan berupa jaminan penggunaan lahan, pembatasan ketat alih fungsi lahan pertanian, serta kedaulatan pengelolaan sumber daya tidak diterima secara layak oleh masyatakat guna berbagai usaha di bidang agraria, niscaya selamanya kemandirian pangan hanya utopia, tidak akan memberi jarak pada krisis (pangan) multidimensi. Masyarakat kesulitan memproduksi bahan pangan dan kelabakan menjangkau konsumsi barang impor karena ketimpangan kesejahteraan. Inilah keresahan agraria yang selalu digugat di Indonesia.

Sekalipun 7 April 2016 lalu diterbitkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian, ironisnya dari catatan WALHI, bahwa sekitar 61,46% daratan dikuasai oleh korporasi sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan dan migas. Sebelumnya, berdasarkan data KPA pada akhir 2017, sekitar 71 persen luasan lahan di Indonesia di antaranya dikuasai korporasi kehutanan.

Dus tak heran, apabila sepanjang tahun 2018 KPA mencatat sedikitnya telah terjadi 410 kejadian konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 807.177,613 hektar dan melibatkan 87.568 KK di berbagai provinsi di Indonesia. Dengan demikian, secara akumulatif sepanjang empat tahun (2015 – 2018) pemerintahan Jokowi-JK telah terjadi sedikitnya 1.769 letusan konflik agraria. Angka ini menurun di tahun 2019 (Catatan KPA Akhir Tahun 2019) terjadi 279 kasus konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia dengan luas total wilayah konfliknya mencapai 734 ribu hektare, namun masyarakat yang terdampak melejit mencapai sekitar 109 ribu kepala keluarga (KK).

Persoalan konflik agraria bukan hanya memperlihatkan perluasan lahan atau penerbitan izin baru perkebunan yang melanggar hak-hak masyarakat atas tanah. Melainkan juga persoalan tumpang tindih hak warga atas tanah dengan perusahaan swasta maupun perusahaan milik negara yang telah berlangsung sejak lama. Inilah utopia Indonesia sepanjang masa, mencapai kemandirian pangan, mengguggat keresahan agraria. 

Sekarang sangat beralasan apabila para pejuang agraria menolak tegas dan terang-terangan menggugat adanya Omnibus Law yang menciptakan Bank Tanah dan memberikan kewenangan pengelolaan (HPL) untuk menerbitkan  Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) kepada investor (atau pihak lain) dengan jangka waktu selama 90 tahun yang diberikan sekaligus (Pasal 127). Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, menyebut Bank Tanah yang diberikan Hak Pengelolaan (HPL) yang secara praktik adalah campuran domein verklaring dan pemegang tanah partikelir ala zaman kolonial. Padahal domein verklaring dan tanah partikelir telah dihapus ketika kita merdeka. 

Belum lagi membahas pasal-pasal 'alot' lainnya dalam Omnibus Law, kasus lain yang menjadikan rakyat Indonesia gerah untuk menggugat yakni program cetak sawah Presiden Jokowi seluas 900 ribu hektare di lahan gambut Kalimantan Tengah. Tanah seluas itu dipusatkan di satu daerah yang  belum tentu tepat sasaran. Logika sederhananya, mengapa tidak mengintensifkan lahan-lahan pertanian yang sudah ada atau menangani segala masalah yang mengganggu aktivitas pertanian guna produksi bahan pangan, malah mengonversi lahan gambut menjadi persawahan.  

Program pengelolaan tanah guna persawahan ini pun makin menimbulkan kegetiran untuk memunculkan gugatan lain oleh rakyat Indonesia, jika dikaitkan dengan UU Minerba. Lagi-lagi memanfaatkan lengahnya pengawasan publik di tengah pandemi covid-19, DPR dan Pemerintah baru saja mengesahkan RUU Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) (12/5), walaupun di tengah hujan kritik publik. Masalahnya, revisi UU Minerba melebarkan peluang eksploitasi tanah guna tambang dan berpotensi memperparah dampak kerusakan lingkungan.

Melalui revisi UU Minerba, salah satunya pemerintah membuka ruang rente baru dalam bentuk Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB). Perusahaan, bahkan boleh menambang di sungai dengan luas maksimal menjadi lebih besar, yakni 100 hektar (Catatan JATAM 2019). Selain itu, pasal 169A UU Minerba mengatur bahwa perpanjangan ijin tanpa lelang. Perpanjangan tanpa lelang ini jelas akan menguntungkan pengusaha. Padahal, melalui lelang pemerintah bisa melakukan evaluasi terhadap pengelolaan tambang tersebut (Martawardaya, INDEF 2020). Evaluasi dan ketentuan kontrak perpanjangan yang dibutuhkan antara lain dalam hal aspek perpanjangan, perizinan, tanggung jawab pengusaha terhadap lingkungan, dan lainnya, yang memungkinkan penjaminan keselamatan tanah dan tanam apabila di sekitar penambangan terdapat area pertanian.

'Indonesia Menggugat' terus berlangsung dalam bermacam rupa mulai goresan pena dalam buku, artikel, media massa, hingga ruang-ruang pinggiran oleh masyarakat arus bawah dan mahasiswa. Dalam buku "Catatan Perjalanan tentang Satu Bahasa", Sang penulis, Nurhady Sirimorok --pegiat suatu komunitas di Makassar-- mengupas tuntas keterasingan rakyat Indonesia akibat perkebunan (sawit atau karet) dan pertanian korporat di balik nama pemerintah di berbagai wilayah Pulau Sulawesi dari sudut pandang pedesaan. Atau buku "Perempuan Lokal vs Tambang Pasir Besi Global" oleh Titiek Kartika mengenai tanah Bengkulu yang dijamah korporat-korporat dunia yang tak peduli lingkungan. 

Titiek Kartika memaparkan perihal gerakan perempuan dalam melawan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang pada 2011 telah melakukan penggusuran lahan masyarakat dengan melibatkan aparat negara. Buntutnya penggusuran ini ialah ekskalasi konflik antara Masyarakat Desa Tumbuan, Lunjuk, Pagar Agung, Talang Prapat (Kecamatan Lubuk Sandi dan Kecamatan Seluma Barat), Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu dengan PT. SIL --yang dikabarkan media nasional-- semakin memanas di tahun 2017. 

Di samping itu, ada kasus Lembah Tanjung Budi, lembah yang memiliki luas sekitar 1.500 hektar, terdiri sawah dan semak belukar. Sebelum perusahaan tambang (PT. Injatama) datang, tahun 2011, luasan sawah produktif mencapai 200 hektar. Kini, hanya tersisa 40 hektar yang digarap oleh masyarakat tiga desa: Pondok Bakil, Gunung Payung, dan Talang Berantai. Pertengahan Januari 2020, PT. Injatama mendapat predikat merah kinerja pengelolaan lingkungan hidup (proper) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ibarat memberikan warisan besar kepada orang asing, padahal anak di rumah: rakyat, begitu kelaparan dan menderita.

Tak luput, bulan lalu hadir di tengah-tengah kita kumpulan tulisan Bosman Batubara tentang covid-19 yang dibukukan dalam 'Teman Rebahan: Kapitalisme dan Covid-19'. Bosman melihat bahwa kasus Covid-19 ini juga penting untuk diperbincangkan seluas-luasnya oleh publik secara kritis. Covid-19 hanyalah gejala/symptom dari satu penyakit global yang dalam hemat penulis sudah sangat parah, yaitu moda produksi kapitalisme. Di bagian I, Revolusi Permanen 
Ikhtiar Menemukan Alternatif Terhadap 
Moda Produksi Kapitalisme, Bosman menegaskan bahwa membincangkan Covid-19 tanpa membincangkan bagaimana ia muncul atau diproduksi, dampaknya yang timpang, dan hubungannya dengan moda produksi kapitalisme, dianggap sebagai narasi kaum kapitalis nasional/global yang tidak ingin dosanya diketahui publik.

2010 lalu Kian Gie Kwik menanggapi Pidato Proklamasi Calon Wakil Presiden Boediono perihal penjajahan di abad 21 dalam 'Indonesia Menggugat Jilid-II'. Dengan apik ia membongkar anatomi penjajahan abad 21 yang terpola sudah sedari 1967 --pola yang tak jauh beda dengan penglihatan Bung Karno di masa lalu. Tertulis di sana pada November 1967, berlangsung atas sponsor The Time-Life Corporation selama 3 hari, Konferensi Jenewa pengambil alihan Indonesia. Konferensi para bankir minyak dunia dengan para ekonom top Indonesia yakni Soeharto dkk guna kemajuan Indonesia melalui investasi modal asing selebar-lebarnya. Korporatokrasi 1967 yang merepotkan.

Tak hanya itu, penjajahan abad 21 mendapat legalitas perundang-undangan, UUD 1945 kehilangan taringnya. Sesuai dalam Indonesia Menggugat Jilid-II, pasal 33 UUD 1945 "Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara" masih menjadi hukum ideal -belum tentu aktual- hingga 1967 melalui UU No. 1 tahun 1967. Lalu terbit UU No. 6 tahun 1968 mengatakan bahwa asing boleh memiliki dan menguasai hingga 49%. Di lain sisi ada UU No. 4 tahun 1982 yang melarang sama sekali asing masuk bidang usaha pers. Kemudian dengan semena-mena PP No. 20 Tahun 1994 menyatakan bahwa perusahaan yang kandungan keindonesiaannya adalah 5% sudah merupakan perusahaan Indonesia yang dapat melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak.

Serupa kelahiran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) diikuti dengan Peraturan Presiden RI No. 77 Tahun 2007 yang telah menyerahkan seluruh sumber daya ekonomi Indonesia untuk dikuasai secara mayoritas oleh modal asing. Di sektor energi dan sumber daya mineral 95 persen dapat dikuasai modal asing, sektor keuangan 85 persen dapat dikuasai modal asing, Bank Indonesia 99 persen boleh dikuasasi modal asing dan bahkan sektor pertanian 95 persen boleh dikuasai modal asing. Padahal Bung Karno dalam 'Indonesia Menggugat' mengutip Prof. Colenbrander dan Prof. Veth
yang menyampaikan: Suatu pemerintahan jang djelek peraturannja, adalah suatu bentjana umum (maar een slecht ingericht bestuur is en algemeene ramp). Demikian pula menurut Marx, tata hukum tidak selalu merupakan hukum yang sejati. Hukum yang sejati adalah hukum yang diciptakan seseorang karena dianggap sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam hati manusia.

Memang Indonesia tidak pernah memutus hubungan dengan masa lalu keterjajahan. Indonesia hanya berganti wajah. Jika dulu Indonesia secara kasat mata dijarah kekayaannya dan dijadikan budak yang halal disiksa, maka kini Indonesia diperbudak perlahan lewat kemiskinan yang sama sekali tersamarkan. Seumpama silam penjajahan menampakkan wajah asli, dewasa ini wajah penjajah tertutup topeng yang molek dan sangat 'bersahabat'. Namun bukan berarti Indonesia bersedia berhenti bertahan, bahkan terus melawan.

Dari catatan waktu, 15 tahun seusai menjawab gugatan akan kemerdekaan melalui proklamasi, Bung Karno menggugat atas nama bangsa Indonesia untuk dunia, dalam Sidang Umum PBB. Konon dikisahkan --dalam (salinan EYD) Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia, penerbitan khusus, Departemen Penerangan RI,1960-- Bung Karno membuka pidatonya di depan pemuka dunia dengan sepotong ayat suci al-Quran (49: 13) --pertama kalinya dalam sejarah pertemuan PBB dikumandangkan ayat al-Quran-- dan diakhiri dengan "Putuskan sekarang hubungan dengan masa lampau, karena fajar sedang menyingsing. Putuskan sekarang hubungan dengan masa lampau, sehingga kita bisa mempertanggungjawabkan diri terhadap masa depan." Dan selamanya, Indonesia (akan terus) Menggugat.

'Indonesia Menggugat' boleh dikata sebagai masterpiece Bung Besar bangsa Indonesia --yang lahir 119 tahun silam di Kota Pahlawan, Surabaya. Di paruh akhir tahun 1930 tepatnya 18 Agustus, Bung Karno mengumandangankan pledoinya (surat pembelaan) atas penangkapan dirinya beserta tiga rekan PNI dalam dugaan penggulingan kekuasaan Belanda di Hindia Belanda kala itu dengan jerat 'de Haatzaai Artikelen' yaitu pasal‐pasal pencegah penyebaran rasa benci (Haatzaai Artikelen: Pedang Damocles Pembunuh Demokrasi, Reformasi dan HAM).

Alih-alih menyatakan pembelaan untuk dirinya -karena yang demikian adalah muspro, melalui 'Indonesia Menggugat' spektrum persidangan Lanraad Bandung diubah Bung Karno menjadi panggung politik menguliti tubuh penjajahan terstruktur dan sistematis yang terjadi di Tanah Pusaka. Narasi keresahan agraria nampak jelas dalam pledoi Indonesia Menggugat. Salah satunya ketika Soekarno memaparkan persoalan-persoalan yang ditimbulkan tatkala nila ini dalam tahun 1830 dengan cara yang sembrono dimasukan di tanah Priangan. Ia mengatakan, "Nila telah menjadi bencana bagi penduduk. Dengan masuknya nila, tidak saja laki-laki dari beberapa desa yang dipaksa mengerjakan kebun-kebun nila selama 7 bulan berturut-turut, tetapi juga kerbau-kerbau dipaksa mengerjakan tanah. Dalam tahun 1831, 5000 orang laki-laki dan 3000 kerbau diarahkan untuk membangun kebun dan pabrik-pabrik untuk menghasilkan nila" (Soekarno, 1930: 38-39). 

Keresahan agraria dalam 'Indonesia Menggugat' diyakini sebagai purwarupa kapital-imperialisme di Indonesia kala itu. Membacanya, akan merasakan perlawanan anti-kemapanan mengalir dalam darah, perlawanan pada imperial-kolonialisme dan kapital-agraris sebagai cetak biru kemapanan bangsa penjajah. Siapa sangka, pemikiran Bung Besar ini masih aktual hingga detik ini, 75 tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. 

Pada 1930 itu Indonesia menggugat ketertindasan rakyat atas politik kapital-imperialisme Belanda. Kapitalisme yang resmi diterima di Eropa pada akhirnya menjadi politik luar negeri Belanda dalam mengeruk kekayaan Indonesia. Harta pribumi dirampas hingga tak tersisa seujung kuku pun. Perbudakkan, penguasaan tanah, memperbanyak ambtenaar, adanya jalur terbuka modal asing, adalah wujud keresahan agraria sebagai buntut kapital-agraris --bentuk murni dari kapital-imperialisme. Dan siapa sangka trademark penjajahan ini langgeng sepanjang masa dengan ramuan keresahan agraria.

“.. maka sesudah Undang-Undang Agraris dan Undang-Undang Tanaman Tebu de Waal di dalam tahun 1870 diterima baik oleh Staten-Generaal di negeri Belanda, masuklah modal partikulir itu di Indonesia, mengadakan paberik-paberik gula dimana-mana, kebon-kebon teh, onderneming-onderneming tembakau dsb., ditambah lagi modal partikulir jang membuka matjam-matjam perusahaan tambang, matjam-matjam perusahaan kereta-api, trem, kapal, atau paberik-paberik jang lain." (Soekarno, Indonesia Menggugat. Diterbitkan oleh SK Seno, Jakarta. Cetakan Kedua, Tahun 1956). Lanjutnya, imperialisme tua makin lama makin pesat dan deras menghujam, imperialisme kuno telah menjadi modern yang jauh lebih menyengsarakan, "tjara pengedukan harta jang menggali untung bagi negara Belanda itu, makin lama makin berobah, terdesak oleh tjara pengedukan baru jang mengajakan model partikulir." 

Demikian itu serupa dengan gugatan dalam Naar de Republiek (Menuju Indonesia Merdeka) oleh Tan Malaka pada 1925, juga pledoi Bung Hatta 'Indonesia Free (Indonesia Merdeka)' pada 1928, penentangan keras pada sistem ekonomi kolonial, melanggengkan penindasan untuk kapitalisme ala mekanisme pasar dan menyisihkan bangsa pemilik tanah. Kesemuanya itu pernyataan yang menyentak rakyat sekaligus menohok elite Eropa, menggugat keresahan agraria.

Jikalau kemajuan adalah menjauhkan diri dari pengetahuan dan kepedulian pada tanah dan air, dan jika telah habis rakyat meneriakkan keresahan agraria, dus Indonesia tidak akan pernah maju pun keluar dari kubangan ketertindasan. "Karena kita bergembira bukan karena memotong padi; kita bergembira karena memotong padi yang kita tanam sendiri. Dan jiwa manusia tidak bergembira karena upah, tapi karena bergembira untuk mendapatkan upah itu." -Multatuli-





*Betari Imasshinta (Wakil Ketua PMII Rayon Ushuluddin Masa Khidmat 2019/2020)

Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama