Bung Karno dan rombongan melepas lelah sambil memandang persawahan saat berkunjung ke Parwpare, Sulawesi Selatan, pada tahun 1958. Foto : Fans Page Ir Soekarno.
Tepat hari ini, 48 tahun silam, PBB menetapkan 5 Juni sebagai hari lingkungan hidup bagi dunia. Ini menjadi menarik bagi masyarakat Indonesia, ada dua hari besar berdampingan. 5 Juni sebagai hari lingkungan hidup dan 6 Juni adalah hari lahir Sang Proklamator, Ir. Soekarno. Terlepas dari simpang siur ketepatan tanggal kelahiran Bung Karno seperti salah satunya disampaikan dalam buku Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan oleh Bernard Dahm.
Dua hari yang berdampingan ini tak serta merta hanya kebetulan saja. Keduanya dapat ditarik benang merahnya, bahwa linimasa mencatat tentang Bung Karno dan lingkaran hidupnya yang banyak terikat kecintaan pada lingkungan.
Penghijauan dan ekonomi biru adalah agenda reformasi paling unggul dan tentu berat di seluruh Indonesia bahkan dunia. Dan keduanya adalah cita-cita Bung Karno yang dibawa hingga penghabisan usia. “Aku mendambakan bernaung di bawah pohon yang rindang, dikelilingi oleh alam yang indah, di samping sebuah sungai dengan udara segar dan pemandangan bagus…Dan aku ingin rumahku yang terakhir ini terletak di daerah Priangan yang sejuk, bergunung-gunung dan subur, dimana aku pertama kali bertemu dengan petani Marhaen.” dalam 'Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat Indonesia' (Cindy Adams, 1965).
Keselarasannya dengan lingkungan tidak tumbuh instan melainkan terbiasa sedari kanak-kanak yang hidup dengan lingkungan hijau. Sehubungand hal tersebut, dus tak asing lagi apabila kita mengenal kisah Soekarno dan pohon-pohonnya. Pohon yang ditanamnya bertebaran mulai dari Tanah Karo, Ende, istana kepresidenan, hingga di Jazirah Arab (paling tidak tempat ini yang banyak termaktub dalam catatan garis waktu).
Pohon Soekarno namanya, di Padang Arafah, adalah jejak kharisma kepemimpinan Sang Proklamator yang cinta akan lingkungan. Soekarno menanam pohon Mindi sesuai ijin Raja Arab Saudi Saud bin Abdulaziz al Salad atas keprihatinan pada tanah gersang Padang Arafah. Begitu pula kisah pengasingan Bung Karno di Ende 1934-1938. Kala pengasingan tepat di bawah rindangnya pohon sukun bercabang lima yang menghadap ke Teluk Sawu di tanah Flores itu, Sang Orator mendapat ilham gagasan Pancasila (Kisah Istimewa Bung Karno: Kumpulan Tulisan Harian Kompas 1978-2010).
Kepedulian Soekarno terhadap alam juga dapat kita teladani dalam kebijakan-kebijakan pemerintahannya, mewakili apa yang modern ini disebut sebagai Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Jauh sebelum proyek besar itu dicanangkan pada abad ini, Indonesia sedari belia sudah memilikinya dalam kebijakan Presiden Soekarno.
Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan merupakan agenda pembangunan global tahun 2030 yang telah menjadi komitmen dari semua negara di dunia termasuk Indonesia. Pembangunan berkelanjutan terdiri dari tiga tiang utama (ekonomi, sosial, dan lingkungan) yang saling bergantung dan memperkuat, demikian tukas Bappenas sesuai hasil perundingan internasional KTT Dunia tahun 2015.
Pembangunan berkelanjutan ini termanifestasi dalam reorientasi tata ruang Indonesia Presiden Soekarno. Personalia di sekitar presiden kala itu yang menjadi kunci keberhasilan pencanangan kebijakan pembangunan berbasis persatuan -bukan kaya modal- ini. Di antaranya Moh. Yamin selaku Ketua Dewan Perancangan Nasional -cikal bakal Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)- dan Ir. Djoeanda Kartawidjaja dengan Deklarasi Djoeanda-nya ketika menjabat sebagai Menteri Pertahanan 1957-1959.
Napak tilas pembangunan berkelanjutan masa Presiden Soekarno paling dikenang dalam konsep megapolitan Jakarta dan Deklarasi Djoeanda. Ekspansi beban ibukota dalam reorientasi tata ruang Indonesia menyiratkan pesan bahwa Indonesia dibangun sebagai negara persatuan yang menjaga identitas kemaritiman dan keagrariaannya. Pribadi mana yang tidak mencintai lingkungan ketika pemikirannya berorientasi pada kedaulatan maritim dan agraria?
Konsep megapolitan Soekarno dalam porsi 70 persen ruang hijau dan biru (tanaman dan air) serta sisanya ruang abu-abu (aspal dan beton) dibangun bersama Moh. Yamin dan arsitektur kepercayaannya adalah wujud pembangunan yang memiliki implikasi pada kemakmuran bangsa dan keselamatan lingkungan jangka panjang. Pembangunan proyek megapolitan dibaurkan bersama lahan pertanian sekitar daerah Jakarta hingga Purwakarta.
Dalam 'Arsitektur, tata ruang kota, interior, dan kria sumbangan Soekarno di Indonesia 1926-1965 sebuah kajian Mentalite Arsitek Seorang Negarawan' oleh Yuke Ardhiati menyebut karya arsitektur sekaligus konsep tata ruang kota selayaknya gubahan sebuah puisi melalui instrument for human yang tertuang dalam konsep a city as a social work of art melalui taman di lingkungan Stadion Gelora, Hotel Indonesia, patung-patung dan landmark kota.
Lebih jauh, dalam memperteguh wilayah Indonesia sebagai negara kaya pulau, melalui Ir. Djoeanda dinyatakan Deklarasi Djoeanda penyatuan wilayah kelautan Indonesia di mata dunia. Hingga diresmikan menjadi Deklarasi Ekonomi Djuanda 1960 (Pembangunan Semesta Berencana). Catatan keberhasilan Indonesia di Montego Bay perihal Deklarasi Djuanda ini, menjadi cetak biru pengelolaan negara kepulauan bagi Indonesia yang berkedaulatan dan ramah lingkungan.
Pengelolaan negara kepulauan inilah sisi lain kecintaan Bung Karno pada lingkungan hidup. Presiden Soekarno menyikapi hasil keputusan Deklarasi Djuanda ini dengan -seperti dalam Sinergitas Paradigma Lintas Sektor Di Bidang Keamanan dan Keselamatan Laut oleh Tri Sulistyaningtyas dkk- "Kebijakan kemaritiman yang diharapkan adalah menjawab beberapa persoalan terkait kepentingan ekonomi sektor maritim, keutuhan dan kedaulatan wilayah negara, kelestarian sumber daya dan lingkungan, serta penyelesaian konflik sosial akibat pemanfaatan ruang laut yang sama dengan kepentingan yang berbeda."
Tentu sekeping catatan Bung Karno dan kecintaan pada lingkungan ini sangat mungkin menjadi rumpang. Namun, sekalipun banyak kekurangan, tulisan ini adalah ikhtiar meneladani spirit melestarikan lingkungan Sang Orator Bangsa jauh sebelum ada momentum hari lingkungan hidup. Dan, setiap tulisan hanya akan menjadi tunai setelah dibaca dan disempurnakan oleh diskursus pembaca, bukan?
Ditulis oleh Sahabati Betari Imasshinta (Wakil Ketua Rayon Ushuluddin Masa Khidmat 2019/2020)