Selama manusia masih mempunyai otak, daya pikir akan tetap ada. Keilmuan sarat kaitannya dengan hal itu. Keilmuan yang absolut hanya dibatasi oleh kepuasan individual. Satu anekdot untuk menggambarkan filsafat, layaknya mencari istri tanpa bisa dinikahi, mencari kebenaran tanpa ujung. Kurang lebih proses mencari, menggali, memahami secara ilmiah merupakan intelektualisme. Perdaban tidak muncul dengan tiba- tiba, tetapi ada dan berkembang karena jerih payah aktor intelektual di sana. Intelektualisme juga rapuh terhadap kaum dengan ketidaksanggupannya memaknai hakikat intelektual. Pada akhirnya intelektuaisme hanya muncul kepada orang yang mencari dan luntur pada kaum konservatif. Terlelap bahwa intelektualisme adalah sebuah kebutuhan.
Tetapi keluasan makna intelektual itu bisa dipersempit dari segi historis seorang mahasiswa, sebagai kaum terpelajar yang dekat dengan intelektualisme. Dalam konteks sejarah Indonesia, mahasiswa menjadi status sosial yang mempunyai peran besar dalam masa pra kemerdekaan. Tonggak gerakan nasional bermula dari intelektual tajam seorang mahasiswa. Budi Utomo menjadi organisasi pertama yang dipelopori mahasiswa dengan misi revolusioner demi kemerdekaan Indonesia .Dari organ itu pula muncul pioner penggerak persatuan bangsa yang sekarang kita kenal dengan Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia Pertama. Bukti nyata bahwa idealisme mengalir dan tumbuh dalam nadi mahasiswa. Gagasan dan suara lantang digaungkan demi menggapai keadilan serta memberantas ketertindasan. Seorang pemimpin yang dihormati dunia bahkan ditakuti beberapa negara lewat keberanian serta kewibawaan Presiden Abadi Republik Indonesia.
Rentetan peristiwa berujung tragedi 98 menjadi masa kelam yang penuh pelajaran, pertanda bahwa mahasiswa menjadi ujung tombak arti sebuah perubahan. Intelektualisme lahir dan berjuang di sana. Bisa diambil arti bahwa intelektualisme mahasiswa condong pada kepekaan terhadap keadaan sosial yang ada. Edward W. Said, dalam buku" Peran Intelektual " mengatakan "Seorang intelektual adalah pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar ;-keadilan manusiawi dasar kepada yang berkuasa". Mahasiswa menjadi simbol sekaligus poros tengah kontrol sebuah bangsa. Hal itu yang didapat dari konteks historis di Indonesia.
Mahasiswa adalah pilihan tetapi menjadi mahasiswa merupakan beban. Seorang Bolshevik, Victor Serge pernah mengatakan mau jadi apa kalian para mahasiswa? Jadi dokter untuk mengobati orang kaya? Atau jadi pengacara untuk membela kepentingan orang kaya? Lihatlah sekelilingmu dan periksa hati nuranimu! Tugasmu adalah untuk bersekutu dengan kaum tertindas dan bekerja untuk menghancurkan sistem yang kejam ini. Dua poin yang juga termaktub dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pengembangan kualitas intelektual dan diakhiri dengan pengabdian kepada masyarakat. Mahasiswa secara fungsional menjadi wakil rakyat tanpa legalitas. Bermodal kapabilitas kosmopolitan dengan beragam analisa serta diskursus, mahasiswa senantiasa menyuarakan keresahannya lewat idealismenya masing- masing. Walaupun berbeda kulit, otak, almamater bahkan kiblat tidak ada yang diam jika tanah airnya dipermainkan.
Belakangan ini, mahasiswa sebagai control serta aktor intelektual diam- diam berada pada pinggiran pusaran ruang publik. Kiranya sudah selesai perihal ancaman kebebasan demokrasi dan isu forum- forum publik yang diintimidasi bahkan dihanguskan. Mengingat sejarah, memperlihatkan keihklasan Widji Thukul menjadi buronan dengan taruhan nyawa, merelakan tangis keluarga dan orang terdekatnya demi nasib bangsa seisinya. Tidak jauh beda dengan Datuk Tan Malaka yang meninggal dengan rasa bangga, berjuang bagi bumi pertiwi. Kembali lagi, bahwa masalah krusial sekarang tidak pada titik tersebut. Tetapi kondisi sekarang bisa dikatakan buram. Intelektualisme dan mahasiswa mengalami degradasi makna yang sangat tinggi.
Beragam ormas dan ormawa terkadang lebih menonjolkan eksistensi demi citra dan kepentingan semata. Ruang- ruang diskusi menjadi sangat usang dan rugi untuk diikuti. Kalah dengan agenda yang isinya tak lain hanya euforia dan hura- hura. Proses dialektika dan retorika demi bertukar fikiran atau sekedar duduk melingkar memperluas wawasan, sudah jarang ditemui. Justru yang kerap kali tampak adalah sekumpulan otak miring hp miring yang kopdar di pojok- pojok kampus. Tidak jarang terlihat, barisan- barisan penikmat ghibah yang lebih sering membahas kekurangan sesama daripada memikirkan kualitas akademiknya.
Belum lagi hegemoni media digital yang memaksa kawula muda untuk sibuk menimbun insta story atau berbondong- bondong mencuri perhatian di media maya. Tidak heran, bahwa kekuatan daring memang besar dan cenderung disruptif. Sedikit melenceng tetapi nyatanya hal itu yang menjadi momok di masa sekarang. Kenyamanan dan kemudahan memang nilai tawar tinggi bagi naluri konsumerisme masyarakat. Bisa jadi, itulah tabir yang selama ini membutakan tanggung jawab kita khususnya mahasiswa.
Perguruan tinggi juga berperan besar dalam membetuk karakteristik pelajarnya. Paulo Freire dalam buku " Pendidikan Kaum Tertindas " , ia menawarkan sebuah metode "pendidikan hadap masalah" yakni pembelajar memahami dengan berdialog dan situasi belajar yang dapat dipahami dan melahirkan inspirasi. Kepekaan terhadap lingkungan dan sikap kritis adalah tujuan utamanya. Metode ini memberikan pemahaman agar pembelajar berani menghadapi kenyataan dan bertindak solutif terhadap masalah yang akan timbul di lingkungan masyarakat. Tetapi stigma bahwa perguruan tinggi merupakan pijakan menuju mata pencaharian yang adil dan makmur, sudah terlanjur mendarah daging hampir diseluruh kalangan masyarakat indonesia. Tidak salah, tetapi sedikit kurang sesuai. Khawatirnya kebebasan berfikir serta impian masa depan dipersempit dengan mata pencaharian sebagai tolak ukur. Terjerembab pada stratifikasi sosial sebagai tujuan hidup.
Diskursus sampai tidak lagi menjadi tradisi dan intelektual hanya jadi alat politik pemenang kepentingan semata. Bertolak belakang dengan tanggung jawab moral dari pada seorang mahasiswa. Fase dimana pondasi berfikir dibentuk, wawasan diperluas, menata tujuan demi mengisi kemerdekaan yang lebih baik. Fenomena ini bisa dikatakan sebagai non intelektualisme bahkan anti intelektualisme. Jika terus berlanjut dampak laten yang terjadi, ada pada penyempitan berfikir atau yang sering dialami kaum terpelajar ; mungkin adalah setengah terdidik. Terombang- ambing dan sangat mudah digiring untuk diambil keuntungannya. Siapa saja bisa mengambil kesempatan ini. Dengan memanfaatkan intelektual kita yang tanggung untuk mewujudkan ambisi kotor dan kolot, walaupun dengan kekerasan sekalipun.
Permainan seperti ini paling terlihat di permukaan menyoal politik praktis. Kurang bijak kiranya hanya menjadi penonton tanpa memahami akar permasalahan, mengingat pemuda juga yang akan duduk di singgasana itu. Sebagai contoh mengenai kasus "People Power" 22 Mei. Berbagai lapisan masyarakat mulai dari menengah keatas, pejabat, buruh, pelajar berkumpul di kantor Bawaslu, Jakarta Pusat. Aksi dengan dalih adanya ketimpangan dalam proses pemilu. Legal, adanya kebebasan pendapat dan menjadi keharusan dalam demokrasi.
Tetapi hal yang mencolok justru pasca demonstrasi berlangsung. Tindakan anarkis dilakukan sejumlah oknum dan berujung kerusuhan di beberapa titik, Jakarta Pusat. Belasan mobil dan gedung- gedung asrama polri rusak parah. Kerusuhan sempat terjadi antara aparat dengan massa. Fakta menunjukkan bahwa peristiwa itu bukan spontanitas tetapi sudah dirancang sedemikian rupa. Terlepas dari otak kerusuhan itu, kita paham betul bahwa mereka hanyalah boneka. Lewat peristiwa itu saya berargumen bahwa politik adalah penyakit. Tidak salah jika banyak yang menjauh bahkan anti pada politik. Kita dihadapkan pada kondisi bahwa hal buruk tidak dapat dicegah tetapi ditambah dengan keburukan lain dan aparat negara gagal memperbaiki itu.
Beberapa waktu lalu kriminalisasi terhadap kebebasan pers terulang kembali.Tercatat bahwa pada hari Rabu 6 Desember 2017, Dandhy Dwi Laksono terjerat UU ITE dengan tuduhan menebar kebencian kepada Megawati Soekarno Putri. Dandhy Dilaporkan oleh Relawan Pejuang Demokrasi Jawa Timur (Rendem Jatim) yang juga organisasi sayap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Lewat opini yang diunggah Dandhy di akun Facebook-nya , Rendem Jatim mengungkapkan, tulisan itu seolah-olah menyatakan bahwa Megawati bertanggung jawab atas penangkapan 1.083 warga papua. Kuasa yang beliau dapat juga tidak bisa menjadi tumpuan harapan agar persoalan bisa diselesaikan tanpa kekerasan. Sikap yang tidak jauh beda dengan Aung San Syuuki perihal genosida di Myanmar.
"Alih-alih mendapat kiriman artikel bantahan atau perspektif pembanding, yang datang justru kabar pemolisian", komentar Dandhy terkait pelaporan dirinya. Ditinjau lebih jauh, bahwa opini yang Dandhy buat merupakan secarik ingatan dari pelbagai peristiwa timpang yang pernah terjadi di Indonesia. Kita adalah bangsa yang ber-adab, melupakan sejarah bukan salah satunya. Lebih jelas bahwa suatu kritik pastinya diawali dengan sebab. Dalam konteks ini, sisi kemanusiaan yang dipersoalkan kepada aparat pemerintah. Jika karya ilmiah dengan muatan data lapangan dirasa salah, apa yang bisa dibenarkan dalam kebebasan demokrasi ?.
Inilah yang terjadi dalam fenomena anti intelektualisme. Pengamat sejarah Amerika Serikat, Richard Hofstader berpendapat bahwa anti-intelektualisme diindikasikan dengan perendahan, purbasangka, penolakan, dan perlawanan yang terus-menerus, ajek, serta konstan terhadap dunia ide dan siapa pun yang menekuninya. Sikap reaksioner yang dilakukan demi menjaga stabilitas suatu kekuasaan atau posisi sebuah kelompok. Perlawanan yang konstan berlindung dibalik kerapuhan pasal atau aturan yang ada. Catatan sejarah menggambarkan bahwa anti intelektualisme beriringan dengan sikap kolot lewat dogma dan fundamentalisme masa lalu. Joko Priyono lewat buku " Percakapan dengan Semesta " karya Nirwan Ahmad Arsuka menjelaskan- otak memang cenderung mencari kesimpulan yang menenteramkan, tak peduli jika kesimpulan itu tak berdasar dan ampuh hanya untuk mengecoh diri serta merusak sesama.
Kita kerap kali bersembunyi agar kedangkalan keilmuan dan kapasitas berfikir tidak terlihat. Salah satu faktor yang menyebabkan perkembangan intelektuaisme menjadi stagnan. Nietzsche menggambarkan hal itu sebagai moralitas budak. Cenderung sentimen dan iri terhadap orang yang lebih mampu dan kuat. Sikap reaksioner muncul untuk memutar balikkan apa yang ia reaksi. Bahkan sampai melawan dengan menunjukkan sisi negatif lawan atau dalam filsafat disebut argumentum ad hominem. Nietzsche juga menulis, "Dimana moralitas budak mulai menang, bahasa menunjukkan kecenderungan untuk mendekatkan arti kata "baik" dan "bodoh" ". Kekhawatiran inilah yang harus dilawan. Walapun merubah tidak semudah membalikkan tangan, kita harus bersyukur masih ada lingkungan yang bekerja keras dalam menghidupkan intelektualisme mahasiswa. Dan itu ada di sekitar kita..........
Rujukan :
- Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta : PT Temprint ( LP3ES ), 1985
- Joko Priyono, Bahaya Laten Anti-Intelektualisme, diakses dari berdikaribook.red/bahaya-laten-anti-intelektualisme/
- Rinto Pangaribuan, Darurat Demokrasi, Anti Intelektualisme dan Moralitas Budak, geotimes.co.id/kolom/politik/darurat-demokrasi-anti-intelektualisme-dan-moralitas-budak/
- Edward W Said, "Peran Intelektual", Yogyakarta : Yayasan Obor Indonesia
Ditulis oleh Sahabat Ilham
(Koordinator Biro Kaderisasi)