Liberalisasi Air dan Fenomena di Tengah Pandemi

Judul : Liberalisasi Air (Orkestra Politik-Ekonomi Sumber Daya Air di Indonesia)    Penulis : Rusmadi    Penerbit : katazam creative    Tahun : 2013    Tebal : 222 halaman    Peresensi : Betari Imasshinta*        Seluruh makhluk memerlukan jaminan keberlanjutan hidup berupa ketersediaan dan akses sumber daya air. Laiknya masyarakat Indonesia yang membutuhkan jaminan hidup saat pandemi, yang diburu dalam wujud kartu prakerja. Jika kemudian ramai berita penyelewengan 25% dana program kartu prakerja, karena masuk kantong mitra swasta penyedia (provider) pelatihan kerja daring. Itu bukan masalah besar sebab pembelokkan uang ke kantong mitra atau pihak swasta sudah sedari lama ditanggung rakyat Indonesia melalui liberalisasi air.        Apabila  perolehan untung provider program kartu prakerja ini banyak diketahui. Lalu bagaimana dengan pengerukan uang negara yang jauh lebih besar dan menyengsarakan seperti tersebut dalam buku ini berupa liberalisasi air. Liberalisasi air mengondisikan bagaimana keadaan rakyat Indonesia dikelabuhi hanya untuk mendatangkan keuntungan bagi rejim liberal -para swasta- atas nama pemanfaatan optimal sumber daya air.        Setahun menjelang keruntuhannya, rezim Soeharto membuat satu kebijakan yang krusial. Ia sepakat untuk membuka keran privatisasi pengelolaan air di Provinsi DKI Jakarta. Keputusan ini menjadi salah satu contoh agenda liberalisasi ekonomi di Indonesia. Penyakit kronis yang tidak sembuh hingga era ini. Dampaknya menyebar di berbagai sektor kehidupan masyarakat, lazimnya virus pandemi yang menjangkit hampir seluruh pelosok negeri.        Kemanfaatan air sebagai sumber daya milik bersama diliberalisasi. Air diubah sebagai barang publik menjadi barang privat. Dari barang sosial menjadi barang ekonomi. Air turun derajatnya hingga hanya berstatus alat penghasil keuntungun melalui prinsip-prinsip ekonomi. Liberalisasi air berhadapan dengan keadilan air mempertaruhkan keberlangsungan peradaban bangsa. Di sinilah pangkal masalah yang dibongkar dalam buku 'Liberalisasi Air' ini.        Liberalisasi air dalam buku ini ditilik dari model kebijakan alokasi air di Kanal Tarum Barat yang bersumber dari Waduk Jatiluhur. Waduk yang menjadi sumber pengairan bagi penduduk ibukota dan sekitarnya. Singkatnya, daerah aliran Waduk yang padat penduduk dan padat guna menjadi ladang empuk memupuk keuntungan para pihak yang punya kuasa atas alokasi air dari waduk tersebut.        Buku ini membahas runtut liberalisasi air di Waduk Jatiluhur tepatnya Kanal Tarum Barat. Mengulik banyak spekulasi dunia atas pemanfaatan air. Menguak cengkeraman kapitalisme atas Indonesia melalui sumber daya airnya sembari meneguhkan derajat tinggi sumber daya air dalam bayang-bayang rentannya strategi nasional. Meskipun demikian, setiap konsep yang dipaparkan dalam buku ini, dapat dibedah dari banyak sisi. Sehingga diskursusnya menjadi luas.        Kemudian, barangkali akan dijumpai bahasan yang perlu pemahaman khusus. Seperti regulasi penyediaan air irigasi atau politik kebijakan alokasi air dan tata guna lahan -lebih mudah dipahami apabila telah mendalami kajian lingkungan khususnya pertanian, juga bab tentang teori keadilan -lebih dapat didalami apabila punya basic ilmu pemerintahan. Terlepas dari ini, seluruh bahasan dalam buku ini tetap dapat memahamkan seluruh pembaca dari berbagai latar belakang pendidikan. Sebab meskipun isi buku merupakan hasil penelitian -yang tak luput dari banyaknya pencantuman teori asing- namun sebagian besar disampaikan dalam bahasa awam.        Tragedi Hak Milik Bersama        Tidak ada air, tidak ada peradaban (no water no civilization). Inilah kalimat awal dalam pendahuluan buku ini. Air memang penentu keberlangsungan hidup manusia. Air dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan. Bahkan air memiliki derajat spiritual tinggi dalam liturgi dan peribadatan. Oleh karenanya, ia menjadi unsur sakral bagi manusia. Namun, siapa sangka kesakralan air kemudian diprofankan, dengan menjadikannya sebagai barang ekonomi (komoditas).        Waduk Jatiluhur (Waduk Ir. H. Djuanda) salah satu saksi ketika air dijadikan barang dagangan. Waduk ini menjadi alat komodifikasi air sebagai bentuk liberalisasi air. Padahal di awal pembangunannya, waduk ini bertujuan untuk konservasi air guna PLTA dan irigasi. Tetapi pada akhirnya, air ini dimanfaatkan pula untuk suplai air baku perkotaan (pemukiman), suplai air baku industri/perusahaan, dan penunjang pariwisata sekitar waduk, atas dasar prinsip ekonomi -jual-beli dan untung-rugi.        Sektor agama sangat menyoroti hal demikian. Islam dalam sebuah hadits yang artinya: Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu: air, rumput, dan api dan harganya adalah haram (H.R Ahmad dan Abu Dawud) -seperti dipaparkan dalam buku ini. Dengan demikian, maka Islam dengan tegas menolak privatisasi sumber daya air. Diperlukan klasifikasi terhadap suatu sumber daya alam, apakah sumber daya tersebut bisa menjadi kepemilikan individu atau tidak. (Hlm. 59).        Hal ini senada dengan ide jurnal kajian kelompok kerja ekologi oleh promotor JPIC Roma, Italia pada 2003 dengan judul Membela "Saudari Air", di sana disadur dan diterjemahkan "Manusia tidak memiliki alternatif terhadap air, meskipun harga air semakin mengancam akses mereka kepada air. Karena itu, penyediaan barang-barang pokok seperti ini tidak dapat dibiarkan begitu saja kepada kekuatan-kekuatan pasar. “Air pada dasarnya tidak dapat diperlakukan sebagai sekadar komoditas di antara pelbagai komoditas yang lain. Pemikiran sosial Katolik sudah selalu menekankan bahwa upaya mempertahankan dan memelihara harta milik umum seperti alam lingkungan dan lingkungan manusia, tidak dapat dijamin melulu oleh kekuatan-kekuatan pasar, karena harta benda itu berlandas pada kebutuhan-kebutuhan dasar manusia yang tidak terjangkau logika pasar.” (bdk. Centesimus Annus, 40)."        Berbagai penolakan ini bukanlah tidak berdasar. Liberalisasi air di Indonesia menimbulkan dampak buruk yang signifikan, termasuk dalam kondisi covid-19 ini. Baru-baru ini tersiar kabar masyarakat miskin dan rentan ibukota (kembali) kesulitan mendapatkan air bersih yang mengharuskan mereka membeli kepada distributor eceran dengan harga yang terlampau mahal. Padahal kita tahu air adalah kebutuhan utama protokol kesehatan menangkal serta menanggulangi covid-19, antara lain guna kebutuhan makan/minum, kebutuhan cuci tangan dan bersih diri, hingga kebutuhan usaha dagang.        Air sudah seharusnya dipahami dan diposisikan sebagai barang publik (public goods). (Hlm. 4). Tidak ada yang berhak mendaku sumber daya air hanya miliknya. Setiap makhluk hidup berhak menggunakannya. Setiap pengguna air sudah seharusnya memiliki akses untuk memperoleh manfaat atasnya. Namun, posisi air sebagai sumber daya milik bersama ini rentan kelangkaan dan berpotensi konflik karena digunakan dalam jumlah besar dan bersama-sama. Hal demikian dikenal sebagai "the tragedy of the common" (bencana hak milik bersama) oleh Garrett Hardin.        Hardin kemudian mengusulkan agar tidak terjadi tragedi itu maka harus ada pembatasan di dalam pemanfaatan suatu sumber daya. Pembatasan tersebut dimulai dari adanya hak milik (private property right) di dalam sumber daya alam (Hlm. 5). Anda akan menemukan pematah argumen Hardin ini jika membaca buku "Tragedi Privatisasi Potensi Publik" oleh Hilary Wainwright yang merasa menemukan kegagalan atas privatisasi layanan dan utilitas publik yang telah dicobakan. Seperti Wainwright, seperti itu pula buku ini.        Indonesia Akibat Liberalisasi        Barangkali, pemerintah Indonesia kurang merasakan apa yang dirasa Wainwright ini. Waduk Jatiluhur yang dibangun atas keringat bangsa sendiri (1957-1967) meliputi bendungan utama, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan sarana pengairan pertanian Jawa Barat -salah satu lumbung padi nasional- guna meningkatkan produksi bahan pangan nasional. Pemanfaatnya tidak pernah diperjual-belikan. Aspek keadilan bagi seluruh rakyat adalah yang utama.        Bayangkan jika kondisi ini masih tetap terjaga hingga musim pandemi ini. Kebutuhan air di provinsi Jakarta dan Jawa Barat akan terpenuhi dan terlayani secara semestinya. Bayangkan apabila liberalisasi air tidak dibuatkan jalan lebar, maka ketimpangan sosial pun bisa diminimalisir. Tidak menambah terceciknya masyarakat rentan di musim pandemi ini. Sekadar membeli air bersih harus merogok kocek dalam-dalam di samping himpitan mencari rupiah yang serba sulit.        Bandingkan ketika tujuan pembangunan Waduk Jatiluhur sudah mengalami pembelokkan. Ketika status Perusahaan Negara diubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) "Otorita Jatiluhur" atau POJ pada 1970 lalu menjadi Perusahaan Umum Jasa Tirta II (PJT II) pada 1998. Berbelok dari tujuan utama pembangunan Waduk Jatiluhur sebagai penunjang kemanfaatan air bagi kemakmuran rakyat menjadi pemanfaatan air atas prinsip ekonomi guna mendatangkan keuntungan bagi para pengelolanya.        Seperti diketahui, perusahaan umum diperbolehkan mengeruk keuntungan atas usahanya. Dan menurut buku ini, PJT II memasang tarif bagi pengguna air (komodifikasi air) dari Kanal Tarum Barat untuk air baku perkotaan, air baku industri, PDAM/PAM, dan PLTA. Khusus keperluan irigasi atas peraturan pemerintah tidak diperkenan diterapkan tarif. Perlahan tapi pasti, model pemberlakuan tarif ini memengaruhi hak dan akses -yang dibedakan dalam buku ini- bagi para pengguna yang berujung pada ketimpangan ekonomi.        Salah satu dampaknya, di masa pandemi ini banyak masyarakat ibukota dan sekitarnya yang kesulitan memiliki akses air bersih karena tak semua orang sanggup menjangkau harganya, kemungkinan besar mereka akan sangat berhemat untuk menggunakan air. Bahkan sekadar cuci tangan mungkin mereka akan berpikir dua kali. Jika hal ini terjadi, dimana banyak masyarakat kurang mengutamakan kebersihan diri, tidak mungkin tidak penyebaran virus covid-19 akan semakin merajalela. Apalagi di daerah ibukota sebagai pusat penyebaran virus tersebut.        Barangkali dampak ini mengingatkan kita pola penggusuran lahan pertanian menjadi perusahaan/pabrik semen di area Pegunungan Karst sekitar Rembang dan Pati. Petani di sana hidup damai dan sejahtera pada mulanya.  Tapi kini mereka kehilangan mata pencaharian dan banyak mengadu nasib ke kota padahal hidup di kota pun belum tentu terjamin. Lahan petani dibeli paksa oleh korporasi dengan dalih tanahnya kering dan tidak subur. Justru penduduk daerah tersebut mulai kekeringan semenjak banyak lahan pertanian dijadikan pabrik-pabrik berlimbah bahaya.        Kembali tentang Waduk Jatiluhur. Proses liberalisasi air pada Waduk ini, berbalut konsep Water Governance. Model pengelolaan air yang menggeser hegemoni negara (pemerintah) untuk mendudukkan bersama para stake holders. Dikatakan dalam konsep Governance, pengelolaan barang publik harusnya mengedepankan fenomena interaksi antar pihak terkait (pemerintah, swasta, masyarakat). Maka begitu pula pengelolaan air Waduk Jatiluhur tidak boleh hanya dikuasai oleh pemerintah.        Model governance seperti inilah yang dijadikan dalih untuk merubah status perusahaan negara menjadi perusahaan umum yang menerapkan prinsip ekonomi sebebas-bebasnya. Neo-liberalisme memasuki lorong kebijakan publik. Konsep water governance yang digadang-gadang mendongkrak keadilan air malah mengakibatkan ketimpangan akses pengelolaan air. Para pemangku kepentingan (stake holders) terkantuk prinsip ekonomi untuk mendapat kemanfaatan air.        Konsep governance yang diharapan akan mendudukkan bersama seluruh stake holders, dijadikan pintu masuk para swasta atau mitra asing untuk menjajah Indonesia. Rejim liberal ini selalu ingin semakin kuat mencengkeram aset-aset nasional.        Hal serupa terjadi pula di sektor moneter negeri kita ini, yang dapat kita baca dalam buku Riawan Amin tentang 'Satanic Finance'. Dimana kebijakan sistem moneter tidak mutlak diatur negara (pemerintah). Bahkan pencetakan dan penerbitan dilakukan oleh Bank Indonesia -lembaga negara yang independen. Dalam perencanaan negara seputar sistem moneter turut pula campur tangan lembaga independen dan lembaga internasional di luar lembaga negara, semisal IMF. Indonesia tidak merdeka menentukan kebijakan keuangannya sendiri.        Semakin banyak yang campur tangan dalam suatu masalah, semakin alot pula pengambilan keputusan karena terjadi tarik-menarik bermacam kepentingan. Begitu juga kebijakan alokasi air dari Waduk Jatiluhur dipengaruhi oleh banyak sekali stake holders baik yang membutuhkan penggunaan airnya maupun yang tidak sama sekali.        Masalah pengambilan keputusan yang alot ini mengingatkan penulis akan kebijakan pemerintah dalam menangani penyebaran covid-19 di Indonesia yang terkesan padat kepentingan. Walau telah mengikuti protokol kesehatan internasional dari WHO, sepatutnya Indonesia memiliki kebijakan yang dinamis dalam merespon dampak covid-19. Bukannya fokus menangani covid-19, malah terbirit-birit mengesahkan UU Minerba yang sudah dapat diprediksi semakin melicinkan keran liberalisasi sumber daya di Indonesia.        Air, Regulasi, dan Multinasional        Status PJT II sebagai pengelola Waduk Jatiluhur yang bertanggung jawab pada negara, telah menerapkan tarif bagi alokasi air seperti tersebut dalam buku yang ditulis Dr. Rusmadi ini. Pemanfaatan guna pengairan pertanian -yang merupakan tujuan utama pembangunan waduk- dianggap tidak mendatangkan keuntungan ekonomi bagi perusahaan -karena tidak dikenai tarif. Sudah barang tentu pelayanannya terpinggirkan. Sedang pelayanan di sektor non-irigasi adalah maksimal senilai tarif yang bayarkan.        Ketimpangan ini tidak berangkat dari internal PJT II sendiri. Hal ini dikondisikan pula oleh banyaknya regulasi pemerintah yang mendukungnya. Pertama, munculnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Otonomi daerah mensyaratkan pengelolaan keuangan yang "mandiri" oleh tiap daerah. Akibatnya, pemerintah terdorong untuk berlomba-lomba meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya (PAD). Turut mengurusi sektor-sektor strategis di wilayahnya dengan tujuan mendapatkan pemasukan untuk PAD.        Bagi daerah-daerah yang memiliki aset sumber daya air, tentu akan memaksimalkan potensi wilayahnya. Sumber daya air adalah salah satu sektor strategis. Oleh karenanya, Pemerintah Kabupaten Purwakarta, yang merasa memiliki air di Waduk Jatiluhur juga tidak mau begitu saja menyerahkan aset strategisnya kepada daerah-daerah sekitarnya tanpa ada imbal jasa lingkungan melalui pajak air, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Listrik, Pajak Pariwisata, dan Pajak Penghasilan kepada PJT II. (Hlm. 175).        Tak pelak, pajak ini menuntut PJT II mengupayakan pemasukan lebih besar atas pengelolaan air guna menunjang cost recovery. Bukan sektor irigasi tetapi alokasi air non-irigasi yang mampu menolong PJT II -secara instan. Tak hanya itu, pendukung liberalisasi air yang lebih kuasa ialah lembaga-lembaga multinasional dan mitra asing. World Bank (WB), Asian Development Bank (ADB), perusahaan mitra (asing) PAM Jaya Jakarta -Palyja dan Aerta-, IMF, juga WTO punya keterlibatan besar untuk memengaruhi kebijakan manajemen air di Waduk Jatiluhur, bahkan di Indonesia.        Perihal organisasi internasional, pembaca akan menemukan pola liberalisasi yang sama di sektor lain selain sumber daya air. Seperti tertulis sebelumnya mengenai sektor moneter Indonesia. Juga pola penggenjotan pertumbuhan ekonomi melalui jalan investasi dan/ penanaman modal asing yang ditetapkan atas hukum internasional.        Pada umumnya, lembaga-lembaga internasional ini bermain melalui paket kebijakan dengan menciptakan syarat-syarat (conditionalities) tertentu yang harus dipenuhi oleh negara yang mengajukan bantuan paket pendanaan. Di Indonesia, syarat-syarat tersebut ada dalam paket pinjaman program dari Bank Dunia untuk merestrukturisasi sektor air di Indonesia, yaitu WATSAL (Water Resources Sector Adjustment Loan). Dari WATSAL inilah maka restrukturisasi sumber daya air di Indonesia mengarah pada privatisasi. (Hlm. 137).        Terakhir, mulusnya privatisasi air mendapat pengaruh signifikan pula dari kehidupan masyarakat yang bertahap menjauhi dunia pertanian. Banyaknya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan industri dan perkotaan di sepanjang Kanal Tarum Barat. Perubahan tata ruang dan guna lahan ini tidak mungkin lepas dari pengaruh swasta yang menjanjikan lapangan pekerjaan yang lebih menguntungkan. Juga desain pemukiman yang menawarkan corak kehidupan modern. Mendongkrak penguasaan lahan oleh para swasta -kontraktor lokal maupun  asing.        Merebaknya lahan industri dan perkotaan, berdampak pada permintaan air non-irigasi yang semakin tinggi. Apalagi peraturan dari PJT II, bagi sektor non-irigasi berlaku batas pemakaian minimum. Sedang kebutuhan irigasi yang tersisa semakin tersisih dengan regulasi yang njlimet dan aturan pemakaian batas maksimal. Regulasi alokasi air guna irigasi harus melalui banyak tangan. Mulai dari panitia irigasi desa, kecamatan, kabupaten/kota, BAPPEDA, baru ke gubernur untuk ditindaklanjuti dengan persetujuan Direksi PJT II.        Jika alokasi air guna irigasi ini disetujui, maka berlaku batas pemakaian maksimal air. Petani tidak akan mendapat aliran air melebihi debit air yang disetujui Gubernur bersama Direksi PJT II. Air yang dialirkan tidak diperkenankan menggenang pada tanaman padi, melainkan dibiarkan mengalir pada ruas per petak sawah yang telah dibuat. Inilah penanaman padi model SRI yang mengisyaratkan keharusan penghematan penggunaan air dari Waduk Jatiluhur oleh para petani.        Di lain pihak, sektor non-irigasi diperkenankan menggunakan air sebanyak-banyaknya dengan batas pemakaian minimal air. Apabila penggunaan air kurang dari batas minimal malah dikenai denda oleh PJT II. Juga, regulasi mendapatkan alokasi air pun sangat mudah, hanya perlu mengkonfirmasi kepada pihak PJT II. Jika disetujui maka terjadilah transaksi (dengan prinsip ekonomi). Sehingga air pun dapat dimanfaatkan sepuasnya tanpa perlu menghemat seperti para pihak yang tidak melakukan transaksi ekonomi.        Inilah ironi keadilan air di Indonesia yang terwakilkan pada wajah alokasi air di Waduk Jatiluhur. Setiap yang punya hak dan sangat berkepentingan untuk menggunakan air, belum tentu memiliki kuasa sebagai ruler atas kemanfaatan air. Dirumuskan dalam buku ini dengan konsep "Analisis Akses atas Aktor dengan Empat Instrumen", low/high stake - low/high influence.        Kelompok low stake-low influence adalah sektor pariwisata, keramba jaring apung, tukang traktor, tukang bebek, dan ulu'ulu (warga desa yang bertugas mengalirkan air ke sawah-sawah). Kelompok low stake-high influence adalah lembaga-lembaga keuangan internasional. Kelompok high stake-low influence adalah petani. Kelompok high stake-high influence adalah PAM Jaya (termasuk mitra asingnya, PT. Palyja dan PT. Aerta Air Jakarta), PDAM Karawang-Bekasi, industri sepanjang Kanal Tarum Barat, Pemerintah Pusat, Pemprov. Jawa Barat dan DKI Jakarta, Pemkab/Pemkot sepanjang Kanal Tarum Barat, Pemerintah Purwakarta, dan PLTA. (Hlm. 189-190)        Masyarakat Indonesia geram uangnya dihambur-hamburkan. Indonesia resah uangnya dikeruk mitra asing. Indonesia mempermasalahkan wewenang negara yang diambilalih swasta. Masyarakatnya pening sulit ekonomi di tengah wabah. Tetapi, itu udah sudah sedari lama. Indonesia semakin asing pada dirinya sendiri. Dan buku karya Dr. Rusmadi ini patut dibaca sebagai salah satu usaha bertabayyun atas diri Indonesia.        Selamat Membaca!!    Selamat Hari Buku Nasional        Ditulis oleh Sahabat Betari  Wakil Ketua Rayon Ushuluddin Masa Khidmat 2019/2020


Judul : Liberalisasi Air (Orkestra Politik-Ekonomi Sumber Daya Air di Indonesia)
Penulis : Rusmadi
Penerbit : katazam creative
Tahun : 2013
Tebal : 222 halaman
Peresensi : Betari Imasshinta*

Seluruh makhluk memerlukan jaminan keberlanjutan hidup berupa ketersediaan dan akses sumber daya air. Laiknya masyarakat Indonesia yang membutuhkan jaminan hidup saat pandemi, yang diburu dalam wujud kartu prakerja. Jika kemudian ramai berita penyelewengan 25% dana program kartu prakerja, karena masuk kantong mitra swasta penyedia (provider) pelatihan kerja daring. Itu bukan masalah besar sebab pembelokkan uang ke kantong mitra atau pihak swasta sudah sedari lama ditanggung rakyat Indonesia melalui liberalisasi air.

Apabila  perolehan untung provider program kartu prakerja ini banyak diketahui. Lalu bagaimana dengan pengerukan uang negara yang jauh lebih besar dan menyengsarakan seperti tersebut dalam buku ini berupa liberalisasi air. Liberalisasi air mengondisikan bagaimana keadaan rakyat Indonesia dikelabuhi hanya untuk mendatangkan keuntungan bagi rejim liberal -para swasta- atas nama pemanfaatan optimal sumber daya air.

Setahun menjelang keruntuhannya, rezim Soeharto membuat satu kebijakan yang krusial. Ia sepakat untuk membuka keran privatisasi pengelolaan air di Provinsi DKI Jakarta. Keputusan ini menjadi salah satu contoh agenda liberalisasi ekonomi di Indonesia. Penyakit kronis yang tidak sembuh hingga era ini. Dampaknya menyebar di berbagai sektor kehidupan masyarakat, lazimnya virus pandemi yang menjangkit hampir seluruh pelosok negeri.

Kemanfaatan air sebagai sumber daya milik bersama diliberalisasi. Air diubah sebagai barang publik menjadi barang privat. Dari barang sosial menjadi barang ekonomi. Air turun derajatnya hingga hanya berstatus alat penghasil keuntungun melalui prinsip-prinsip ekonomi. Liberalisasi air berhadapan dengan keadilan air mempertaruhkan keberlangsungan peradaban bangsa. Di sinilah pangkal masalah yang dibongkar dalam buku 'Liberalisasi Air' ini.

Liberalisasi air dalam buku ini ditilik dari model kebijakan alokasi air di Kanal Tarum Barat yang bersumber dari Waduk Jatiluhur. Waduk yang menjadi sumber pengairan bagi penduduk ibukota dan sekitarnya. Singkatnya, daerah aliran Waduk yang padat penduduk dan padat guna menjadi ladang empuk memupuk keuntungan para pihak yang punya kuasa atas alokasi air dari waduk tersebut.

Buku ini membahas runtut liberalisasi air di Waduk Jatiluhur tepatnya Kanal Tarum Barat. Mengulik banyak spekulasi dunia atas pemanfaatan air. Menguak cengkeraman kapitalisme atas Indonesia melalui sumber daya airnya sembari meneguhkan derajat tinggi sumber daya air dalam bayang-bayang rentannya strategi nasional. Meskipun demikian, setiap konsep yang dipaparkan dalam buku ini, dapat dibedah dari banyak sisi. Sehingga diskursusnya menjadi luas.

Kemudian, barangkali akan dijumpai bahasan yang perlu pemahaman khusus. Seperti regulasi penyediaan air irigasi atau politik kebijakan alokasi air dan tata guna lahan -lebih mudah dipahami apabila telah mendalami kajian lingkungan khususnya pertanian, juga bab tentang teori keadilan -lebih dapat didalami apabila punya basic ilmu pemerintahan. Terlepas dari ini, seluruh bahasan dalam buku ini tetap dapat memahamkan seluruh pembaca dari berbagai latar belakang pendidikan. Sebab meskipun isi buku merupakan hasil penelitian -yang tak luput dari banyaknya pencantuman teori asing- namun sebagian besar disampaikan dalam bahasa awam.

Tragedi Hak Milik Bersama

Tidak ada air, tidak ada peradaban (no water no civilization). Inilah kalimat awal dalam pendahuluan buku ini. Air memang penentu keberlangsungan hidup manusia. Air dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan. Bahkan air memiliki derajat spiritual tinggi dalam liturgi dan peribadatan. Oleh karenanya, ia menjadi unsur sakral bagi manusia. Namun, siapa sangka kesakralan air kemudian diprofankan, dengan menjadikannya sebagai barang ekonomi (komoditas).

Waduk Jatiluhur (Waduk Ir. H. Djuanda) salah satu saksi ketika air dijadikan barang dagangan. Waduk ini menjadi alat komodifikasi air sebagai bentuk liberalisasi air. Padahal di awal pembangunannya, waduk ini bertujuan untuk konservasi air guna PLTA dan irigasi. Tetapi pada akhirnya, air ini dimanfaatkan pula untuk suplai air baku perkotaan (pemukiman), suplai air baku industri/perusahaan, dan penunjang pariwisata sekitar waduk, atas dasar prinsip ekonomi -jual-beli dan untung-rugi.

Sektor agama sangat menyoroti hal demikian. Islam dalam sebuah hadits yang artinya: Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu: air, rumput, dan api dan harganya adalah haram (H.R Ahmad dan Abu Dawud) -seperti dipaparkan dalam buku ini. Dengan demikian, maka Islam dengan tegas menolak privatisasi sumber daya air. Diperlukan klasifikasi terhadap suatu sumber daya alam, apakah sumber daya tersebut bisa menjadi kepemilikan individu atau tidak. (Hlm. 59).

Hal ini senada dengan ide jurnal kajian kelompok kerja ekologi oleh promotor JPIC Roma, Italia pada 2003 dengan judul Membela "Saudari Air", di sana disadur dan diterjemahkan "Manusia tidak memiliki alternatif terhadap air, meskipun harga air semakin mengancam akses mereka kepada air. Karena itu, penyediaan barang-barang pokok seperti ini tidak dapat dibiarkan begitu saja kepada kekuatan-kekuatan pasar. “Air pada dasarnya tidak dapat diperlakukan sebagai sekadar komoditas di antara pelbagai komoditas yang lain. Pemikiran sosial Katolik sudah selalu menekankan bahwa upaya mempertahankan dan memelihara harta milik umum seperti alam lingkungan dan lingkungan manusia, tidak dapat dijamin melulu oleh kekuatan-kekuatan pasar, karena harta benda itu berlandas pada kebutuhan-kebutuhan dasar manusia yang tidak terjangkau logika pasar.” (bdk. Centesimus Annus, 40)."

Berbagai penolakan ini bukanlah tidak berdasar. Liberalisasi air di Indonesia menimbulkan dampak buruk yang signifikan, termasuk dalam kondisi covid-19 ini. Baru-baru ini tersiar kabar masyarakat miskin dan rentan ibukota (kembali) kesulitan mendapatkan air bersih yang mengharuskan mereka membeli kepada distributor eceran dengan harga yang terlampau mahal. Padahal kita tahu air adalah kebutuhan utama protokol kesehatan menangkal serta menanggulangi covid-19, antara lain guna kebutuhan makan/minum, kebutuhan cuci tangan dan bersih diri, hingga kebutuhan usaha dagang.

Air sudah seharusnya dipahami dan diposisikan sebagai barang publik (public goods). (Hlm. 4). Tidak ada yang berhak mendaku sumber daya air hanya miliknya. Setiap makhluk hidup berhak menggunakannya. Setiap pengguna air sudah seharusnya memiliki akses untuk memperoleh manfaat atasnya. Namun, posisi air sebagai sumber daya milik bersama ini rentan kelangkaan dan berpotensi konflik karena digunakan dalam jumlah besar dan bersama-sama. Hal demikian dikenal sebagai "the tragedy of the common" (bencana hak milik bersama) oleh Garrett Hardin.

Hardin kemudian mengusulkan agar tidak terjadi tragedi itu maka harus ada pembatasan di dalam pemanfaatan suatu sumber daya. Pembatasan tersebut dimulai dari adanya hak milik (private property right) di dalam sumber daya alam (Hlm. 5). Anda akan menemukan pematah argumen Hardin ini jika membaca buku "Tragedi Privatisasi Potensi Publik" oleh Hilary Wainwright yang merasa menemukan kegagalan atas privatisasi layanan dan utilitas publik yang telah dicobakan. Seperti Wainwright, seperti itu pula buku ini.

Indonesia Akibat Liberalisasi

Barangkali, pemerintah Indonesia kurang merasakan apa yang dirasa Wainwright ini. Waduk Jatiluhur yang dibangun atas keringat bangsa sendiri (1957-1967) meliputi bendungan utama, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan sarana pengairan pertanian Jawa Barat -salah satu lumbung padi nasional- guna meningkatkan produksi bahan pangan nasional. Pemanfaatnya tidak pernah diperjual-belikan. Aspek keadilan bagi seluruh rakyat adalah yang utama.

Bayangkan jika kondisi ini masih tetap terjaga hingga musim pandemi ini. Kebutuhan air di provinsi Jakarta dan Jawa Barat akan terpenuhi dan terlayani secara semestinya. Bayangkan apabila liberalisasi air tidak dibuatkan jalan lebar, maka ketimpangan sosial pun bisa diminimalisir. Tidak menambah terceciknya masyarakat rentan di musim pandemi ini. Sekadar membeli air bersih harus merogok kocek dalam-dalam di samping himpitan mencari rupiah yang serba sulit.

Bandingkan ketika tujuan pembangunan Waduk Jatiluhur sudah mengalami pembelokkan. Ketika status Perusahaan Negara diubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) "Otorita Jatiluhur" atau POJ pada 1970 lalu menjadi Perusahaan Umum Jasa Tirta II (PJT II) pada 1998. Berbelok dari tujuan utama pembangunan Waduk Jatiluhur sebagai penunjang kemanfaatan air bagi kemakmuran rakyat menjadi pemanfaatan air atas prinsip ekonomi guna mendatangkan keuntungan bagi para pengelolanya.

Seperti diketahui, perusahaan umum diperbolehkan mengeruk keuntungan atas usahanya. Dan menurut buku ini, PJT II memasang tarif bagi pengguna air (komodifikasi air) dari Kanal Tarum Barat untuk air baku perkotaan, air baku industri, PDAM/PAM, dan PLTA. Khusus keperluan irigasi atas peraturan pemerintah tidak diperkenan diterapkan tarif. Perlahan tapi pasti, model pemberlakuan tarif ini memengaruhi hak dan akses -yang dibedakan dalam buku ini- bagi para pengguna yang berujung pada ketimpangan ekonomi.

Salah satu dampaknya, di masa pandemi ini banyak masyarakat ibukota dan sekitarnya yang kesulitan memiliki akses air bersih karena tak semua orang sanggup menjangkau harganya, kemungkinan besar mereka akan sangat berhemat untuk menggunakan air. Bahkan sekadar cuci tangan mungkin mereka akan berpikir dua kali. Jika hal ini terjadi, dimana banyak masyarakat kurang mengutamakan kebersihan diri, tidak mungkin tidak penyebaran virus covid-19 akan semakin merajalela. Apalagi di daerah ibukota sebagai pusat penyebaran virus tersebut.

Barangkali dampak ini mengingatkan kita pola penggusuran lahan pertanian menjadi perusahaan/pabrik semen di area Pegunungan Karst sekitar Rembang dan Pati. Petani di sana hidup damai dan sejahtera pada mulanya.  Tapi kini mereka kehilangan mata pencaharian dan banyak mengadu nasib ke kota padahal hidup di kota pun belum tentu terjamin. Lahan petani dibeli paksa oleh korporasi dengan dalih tanahnya kering dan tidak subur. Justru penduduk daerah tersebut mulai kekeringan semenjak banyak lahan pertanian dijadikan pabrik-pabrik berlimbah bahaya.

Kembali tentang Waduk Jatiluhur. Proses liberalisasi air pada Waduk ini, berbalut konsep Water Governance. Model pengelolaan air yang menggeser hegemoni negara (pemerintah) untuk mendudukkan bersama para stake holders. Dikatakan dalam konsep Governance, pengelolaan barang publik harusnya mengedepankan fenomena interaksi antar pihak terkait (pemerintah, swasta, masyarakat). Maka begitu pula pengelolaan air Waduk Jatiluhur tidak boleh hanya dikuasai oleh pemerintah.

Model governance seperti inilah yang dijadikan dalih untuk merubah status perusahaan negara menjadi perusahaan umum yang menerapkan prinsip ekonomi sebebas-bebasnya. Neo-liberalisme memasuki lorong kebijakan publik. Konsep water governance yang digadang-gadang mendongkrak keadilan air malah mengakibatkan ketimpangan akses pengelolaan air. Para pemangku kepentingan (stake holders) terkantuk prinsip ekonomi untuk mendapat kemanfaatan air.

Konsep governance yang diharapan akan mendudukkan bersama seluruh stake holders, dijadikan pintu masuk para swasta atau mitra asing untuk menjajah Indonesia. Rejim liberal ini selalu ingin semakin kuat mencengkeram aset-aset nasional.

Hal serupa terjadi pula di sektor moneter negeri kita ini, yang dapat kita baca dalam buku Riawan Amin tentang 'Satanic Finance'. Dimana kebijakan sistem moneter tidak mutlak diatur negara (pemerintah). Bahkan pencetakan dan penerbitan dilakukan oleh Bank Indonesia -lembaga negara yang independen. Dalam perencanaan negara seputar sistem moneter turut pula campur tangan lembaga independen dan lembaga internasional di luar lembaga negara, semisal IMF. Indonesia tidak merdeka menentukan kebijakan keuangannya sendiri.

Semakin banyak yang campur tangan dalam suatu masalah, semakin alot pula pengambilan keputusan karena terjadi tarik-menarik bermacam kepentingan. Begitu juga kebijakan alokasi air dari Waduk Jatiluhur dipengaruhi oleh banyak sekali stake holders baik yang membutuhkan penggunaan airnya maupun yang tidak sama sekali.

Masalah pengambilan keputusan yang alot ini mengingatkan penulis akan kebijakan pemerintah dalam menangani penyebaran covid-19 di Indonesia yang terkesan padat kepentingan. Walau telah mengikuti protokol kesehatan internasional dari WHO, sepatutnya Indonesia memiliki kebijakan yang dinamis dalam merespon dampak covid-19. Bukannya fokus menangani covid-19, malah terbirit-birit mengesahkan UU Minerba yang sudah dapat diprediksi semakin melicinkan keran liberalisasi sumber daya di Indonesia.

Air, Regulasi, dan Multinasional

Status PJT II sebagai pengelola Waduk Jatiluhur yang bertanggung jawab pada negara, telah menerapkan tarif bagi alokasi air seperti tersebut dalam buku yang ditulis Dr. Rusmadi ini. Pemanfaatan guna pengairan pertanian -yang merupakan tujuan utama pembangunan waduk- dianggap tidak mendatangkan keuntungan ekonomi bagi perusahaan -karena tidak dikenai tarif. Sudah barang tentu pelayanannya terpinggirkan. Sedang pelayanan di sektor non-irigasi adalah maksimal senilai tarif yang bayarkan.

Ketimpangan ini tidak berangkat dari internal PJT II sendiri. Hal ini dikondisikan pula oleh banyaknya regulasi pemerintah yang mendukungnya. Pertama, munculnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Otonomi daerah mensyaratkan pengelolaan keuangan yang "mandiri" oleh tiap daerah. Akibatnya, pemerintah terdorong untuk berlomba-lomba meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya (PAD). Turut mengurusi sektor-sektor strategis di wilayahnya dengan tujuan mendapatkan pemasukan untuk PAD.

Bagi daerah-daerah yang memiliki aset sumber daya air, tentu akan memaksimalkan potensi wilayahnya. Sumber daya air adalah salah satu sektor strategis. Oleh karenanya, Pemerintah Kabupaten Purwakarta, yang merasa memiliki air di Waduk Jatiluhur juga tidak mau begitu saja menyerahkan aset strategisnya kepada daerah-daerah sekitarnya tanpa ada imbal jasa lingkungan melalui pajak air, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Listrik, Pajak Pariwisata, dan Pajak Penghasilan kepada PJT II. (Hlm. 175).

Tak pelak, pajak ini menuntut PJT II mengupayakan pemasukan lebih besar atas pengelolaan air guna menunjang cost recovery. Bukan sektor irigasi tetapi alokasi air non-irigasi yang mampu menolong PJT II -secara instan. Tak hanya itu, pendukung liberalisasi air yang lebih kuasa ialah lembaga-lembaga multinasional dan mitra asing. World Bank (WB), Asian Development Bank (ADB), perusahaan mitra (asing) PAM Jaya Jakarta -Palyja dan Aerta-, IMF, juga WTO punya keterlibatan besar untuk memengaruhi kebijakan manajemen air di Waduk Jatiluhur, bahkan di Indonesia.

Perihal organisasi internasional, pembaca akan menemukan pola liberalisasi yang sama di sektor lain selain sumber daya air. Seperti tertulis sebelumnya mengenai sektor moneter Indonesia. Juga pola penggenjotan pertumbuhan ekonomi melalui jalan investasi dan/ penanaman modal asing yang ditetapkan atas hukum internasional.

Pada umumnya, lembaga-lembaga internasional ini bermain melalui paket kebijakan dengan menciptakan syarat-syarat (conditionalities) tertentu yang harus dipenuhi oleh negara yang mengajukan bantuan paket pendanaan. Di Indonesia, syarat-syarat tersebut ada dalam paket pinjaman program dari Bank Dunia untuk merestrukturisasi sektor air di Indonesia, yaitu WATSAL (Water Resources Sector Adjustment Loan). Dari WATSAL inilah maka restrukturisasi sumber daya air di Indonesia mengarah pada privatisasi. (Hlm. 137).

Terakhir, mulusnya privatisasi air mendapat pengaruh signifikan pula dari kehidupan masyarakat yang bertahap menjauhi dunia pertanian. Banyaknya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan industri dan perkotaan di sepanjang Kanal Tarum Barat. Perubahan tata ruang dan guna lahan ini tidak mungkin lepas dari pengaruh swasta yang menjanjikan lapangan pekerjaan yang lebih menguntungkan. Juga desain pemukiman yang menawarkan corak kehidupan modern. Mendongkrak penguasaan lahan oleh para swasta -kontraktor lokal maupun  asing.

Merebaknya lahan industri dan perkotaan, berdampak pada permintaan air non-irigasi yang semakin tinggi. Apalagi peraturan dari PJT II, bagi sektor non-irigasi berlaku batas pemakaian minimum. Sedang kebutuhan irigasi yang tersisa semakin tersisih dengan regulasi yang njlimet dan aturan pemakaian batas maksimal. Regulasi alokasi air guna irigasi harus melalui banyak tangan. Mulai dari panitia irigasi desa, kecamatan, kabupaten/kota, BAPPEDA, baru ke gubernur untuk ditindaklanjuti dengan persetujuan Direksi PJT II.

Jika alokasi air guna irigasi ini disetujui, maka berlaku batas pemakaian maksimal air. Petani tidak akan mendapat aliran air melebihi debit air yang disetujui Gubernur bersama Direksi PJT II. Air yang dialirkan tidak diperkenankan menggenang pada tanaman padi, melainkan dibiarkan mengalir pada ruas per petak sawah yang telah dibuat. Inilah penanaman padi model SRI yang mengisyaratkan keharusan penghematan penggunaan air dari Waduk Jatiluhur oleh para petani.

Di lain pihak, sektor non-irigasi diperkenankan menggunakan air sebanyak-banyaknya dengan batas pemakaian minimal air. Apabila penggunaan air kurang dari batas minimal malah dikenai denda oleh PJT II. Juga, regulasi mendapatkan alokasi air pun sangat mudah, hanya perlu mengkonfirmasi kepada pihak PJT II. Jika disetujui maka terjadilah transaksi (dengan prinsip ekonomi). Sehingga air pun dapat dimanfaatkan sepuasnya tanpa perlu menghemat seperti para pihak yang tidak melakukan transaksi ekonomi.

Inilah ironi keadilan air di Indonesia yang terwakilkan pada wajah alokasi air di Waduk Jatiluhur. Setiap yang punya hak dan sangat berkepentingan untuk menggunakan air, belum tentu memiliki kuasa sebagai ruler atas kemanfaatan air. Dirumuskan dalam buku ini dengan konsep "Analisis Akses atas Aktor dengan Empat Instrumen", low/high stake - low/high influence.

Kelompok low stake-low influence adalah sektor pariwisata, keramba jaring apung, tukang traktor, tukang bebek, dan ulu'ulu (warga desa yang bertugas mengalirkan air ke sawah-sawah). Kelompok low stake-high influence adalah lembaga-lembaga keuangan internasional. Kelompok high stake-low influence adalah petani. Kelompok high stake-high influence adalah PAM Jaya (termasuk mitra asingnya, PT. Palyja dan PT. Aerta Air Jakarta), PDAM Karawang-Bekasi, industri sepanjang Kanal Tarum Barat, Pemerintah Pusat, Pemprov. Jawa Barat dan DKI Jakarta, Pemkab/Pemkot sepanjang Kanal Tarum Barat, Pemerintah Purwakarta, dan PLTA. (Hlm. 189-190)

Masyarakat Indonesia geram uangnya dihambur-hamburkan. Indonesia resah uangnya dikeruk mitra asing. Indonesia mempermasalahkan wewenang negara yang diambilalih swasta. Masyarakatnya pening sulit ekonomi di tengah wabah. Tetapi, itu udah sudah sedari lama. Indonesia semakin asing pada dirinya sendiri. Dan buku karya Dr. Rusmadi ini patut dibaca sebagai salah satu usaha bertabayyun atas diri Indonesia.


Selamat Membaca!!
Selamat Hari Buku Nasional


Ditulis oleh Sahabat Betari
Wakil Ketua Rayon Ushuluddin Masa Khidmat 2019/2020

Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama