Pena Perjalanan Gerakan Mahasiswa

file:///D:/Arjun/pena%20rashul.jpg
Sebuah lagu diajarkan "turun-temurun" oleh mahasiswa generasi terdahulu kepada generasi selanjutnya. Sebagian liriknya adalah :

Kepada pewaris peradaban,
Yang telah menggoreskan,
Sebuah catatan kebanggaan
Di lembar sejarah manusia

Siapa yang pernah menyadari kedalaman maknanya? Tidak lepas dari judulnya yang menggetarkan -"Totalitas Perjuangan", petikan lagu mahasiswa 98 ini membawa makna penting hubungan antara pewaris peradaban dan catatan sejarah manusia.

Bulan Ramadhan ini kembali ada yang istimewa bagi para mahasiswa di Indonesia. Kampus daring gaduh teriakan "Kemenag ngeprank" oleh para mahasiswa, karena kebijakan pemotongan UKT minimal 10% di tengah wabah urung diberlakukan. Seperti adatnya, setiap kabar meruyak dibersamai wacana tertulis yang menghegemoni. Di kampus UIN Walisongo kabar pencabutan kebijakan pemotongan UKT tersebut disebarluaskan oleh berbagai lembaga pers mahasiswa di antaranya lpm edukasi, lpk invest, lpm ideapers, lpm justicia, lpm esensimedia, disusul surat terbuka DEMA dan SEMA PTKIN se-Indonesia yang dengan otomatis menghegemoni perlawanan mahasiswa atas kebijakan tersebut.

Setiap realitas atas gerakan mahasiswa terabadikan dalam lembar demi lembar karya tulis. Begitu pun sebaliknya, setiap karya tulis turut membentuk realitas sosial untuk memicu gerakan mahasiswa. Sejarah gerakan mahasiswa merekam baik hubungan keduanya ini. Di mana setiap masa dalam gerakan mahasiswa memiliki corak tulisannya masing-masing yang menentukan strategi gerakan mahasiswa.

Okky Madasari, seorang novelis, berkata bahwa karya sastra -tentu dalam artian sebagai salah satu jenis karya tulis- dapat menjadi cerminan apa yang terjadi di masyarakat pada satu periode tertentu. Begitu pula corak karya tulis tentang mahasiswa lahir berbeda-beda sesuai kondisi sosial yang mengitarinya.

"Bangkitlah Gerakan Mahasiswa" sebuah buku yang lahir tahun 2014 menceritakan fakta-fakta di masyarakat luas yang harus dihadapi oleh mahasiswa saat ini. Ekonomi yang merosot tajam, politik yang makin suram, kondisi pendidikan bangsa yang terjebak dalam putaran praktek komersial dan KKN, juga perilaku pemuda yang berdampak pada lingkungan hidup, serta beberapa hal yang tak terangkum di sini. Selain karya tulis Eko Prasetyo tersebut, adapula buku "Revolusi dari Secangkir Kopi", karya Didik Fotunadi, "Demonstran dari Lorong Kambing", karya Amran Razak, hingga "Perjuangan Fase Kiai" karya Maryanto, seorang pengajar, yang diterbitkan sebagai buku ajar mata pelajaran sejarah namun segera setelahnya ditarik dari peredaran dan dihentikan pencetakannya. Semuanya lahir di paruh abad ke-21, dan bercerita tentang ikhtisar kepingan sejarah perjalanan bangsa mengenai gerakan mahasiswa masa lalu. Artinya karya tulis ini bersifat merepresentasikan gelora gerakan mahasiswa di sepanjang sejarah Indonesia.

Karya tulis memiliki usianya sendiri, kapan ia lahir, tumbuh, dan usai. Tulisan ini hendak memperlihatkan hubungan derivatif antara mahasiswa dengan karya tulis dalam periodisasi gerakan mahasiswa. Sejarah mapan mengatakan bahwa gerakan mahasiswa dipilah dalam empat periode. Dimulai oleh angkatan pertama pergerakan mahasiswa tahun 1920 - 1945 (sebelum kemerdekaan), periode orde lama tahun 1945 - 1966-an (lahirnya aktivis 66 yang dikenang zaman), periode orde baru tahun 1966 - 1999 (mencuatnya julukan aktivis 98), dan periode reformasi tahun 1999 - sekarang.

Periode Pertama

Periode awal kebangkitan nasional dipelopori oleh pelajar angkatan 1908 ditandai dengan didirikannya Budi Oetomo. Periode ini pula yang mencetuskan Sumpah Pemuda 1928, hingga melahirkan Revolusi Kemerdekaan tahun 1945. Tentu ciri utama gerakan mahasiswa periode ini hanyalah berjalan pada satu dimensi yakni memperjuangan kemerdekaan Indonesia melawan kekejaman pemerintah kolonial. Karya tulis ketika itu pun demikian, bersifat mengobarkan semangat bangsa melawan penjajah dengan menuliskan kengerian kondisi negeri akibat kolonialisme atau mengandaikan suatu kisah dari satu pelosok negeri dengan nada satire pada kolonial.

Salah seorang anggota Budi Oetomo, Tirto Adhi Soerjo (yang dikenal dengan inisial TAS) yang dijuluki Sang Pemula, adalah anggota Budi Oetomo cabang Bandung. Ia menerbitkan media cetak "Medan Prijaji" dan menjadi pelopor propaganda melalui surat kabar dengan kritikan tajam kepada pemerintah kolonial oleh "bacaan liar"-nya. Salah satu karya tulisnya yang terkenal berbentuk artikel terbit di Medan Prijaji dengan judul 'boycot'. Artikel yang lahir di paruh awal abad ke-20 ini berbicara tentang perlawanan kepada korporasi perusahaan gula pada masa penjajahan.

Di samping itu ada "Peladjaran Boeat Perempoean Boemipoetera" (Soenda Berita, 1904) dan  "Persdelict: Umpatan" (Medan Prijaji, 1909) (Ensiklopedia/kemdikbud.go.id/RM. Tirto Adhi Soerjo), dua karya tulis TAS yang terkenal juga syarat unsur perlawanan terhadap penjajahan. TAS menjadi pelopor munculnya tokoh pergerakan satu periode yang serupa yang berjuang lewat karya tulis di antaranya Soewardi Suryaningrat, Soetomo, Semaoen, dan Tjipto Mangoenkoesoemo.

Soewardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) -organisatoris perintis Budi Oetomo serta pendiri Indische Partij- dengan tulisan terkenalnya "Als ik een Nederlander" di koran De Expres tahun 1913 juga begitu pedas dan keras menyindir Belanda yang berpesta dengan kekayaan bangsa jajahan. Menambah kuatnya wacana perlawanan terhadap kaum kolonialis. Di samping kebencian pada kolonialisme, semangat juang mahasiswa ini juga imbas dari rasa geram terhadap apatisme orang-orang bangsa sendiri yang bercokol dengan bangsa kolonial atau disebut "inlander". Ini digambarkan secara tersirat di antaranya dalam karya novel Marco Kartodikromo, "Mata Gelap" dan "Student Hidjo".

Di samping karya jurnalistik dan novel di atas, karya paling berharga para pelajar (mahasiswa) dan pemuda bangsa masa ini ialah Sumpah Pemuda 1928, dipelopori Jong Java dan Jong Celebes-hasil sempalan Budi Oetomo ketika BU dianggap sudah berjalan tidak sesuai visi pergerakan, baru kemudian diikuti Jong-Jong yang lain. Dalam hubungan antara mahasiswa dnegan karya tulis, ada wacana yang memantik sekaligus menyertai lahirnya Sumpah Pemuda salah satunya ialah karya Tan Malaka berbentuk esai "Naar de 'Republiek Indonesia' Menuju Republik Indonesia" (1925) tentang pergerakan revolusioner di antara orang intelektual dalam memperjuangkan kemerdekaan. Karya inilah yang menyebabkan Tan Malaka disebut-sebut sebagai konseptor pertama negara Republik Indonesia.

Lalu,  ada beliau yang tidak asing kita mengenal, Soekarno-Hatta. 1930, Soekarno di dalam bui menulis "Indonesia Menggugat"-hingga kini dapat kita baca dalam buku dengan judul yang sama-yang bertujuan membela pergerakan nasional Indonesia. Pangkal soal tulisannya adalah penggunaan kata "kapitalisme harus dilenyapkan”. Sepanjang perjalanan menuju kemerdekaan, itulah tujuan gerakan mahasiswa.

Selain itu, mahasiswa juga bergerak melawan pembungkaman kebebasan pers di tahun 1931 saat pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan “Persbreidel Ordonnantie”. Dengan kebijakan ini, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda punya hak melarang penerbitan yang mengancam ‘ketertiban umum’. Pada saat itulah, melalui tulisan berjudul “Tuntut Kemerdekaan Pers” di koran Daulat Rakjat, Bung Hatta melancarkan kritikan pedasnya, yang menjadi tuntutan bersama para mahasiswa yang memperjuangkan kemerdekaan rakyat. Siapa sangka akhirnya, beliau berdua kelak menjadi tokoh utama kemerdekaan Indonesia.

Periode Kedua

Awal kemerdekaan, menandai awal periode kedua pergerakan mahasiswa, 1945-1966. Kondisi sosial ekonomi bangsa yang buruk karena kedatangan 'kembali' Belanda yang melakukan blokade ekonomi menjadi sorotan berbagai kalangan termasuk mahasiswa. Ketika itu lahirlah karya tulis sebuah catatan peringatan anak-cucu "Indonesia dalam Api dan Bara" dengan latar belakang Kota Malang, oleh seorang jurnalis bernama Kwee Thian Thing (dengan nama samaran Tjamboek Berdoeri) tahun 1947. Dan setelah Belanda hengkang, permasalahan sosial, ekonomi, bahkan politik bangsa Indonesia di bawah pemerintahan Soekarno-Hatta tetap menjadi fokus kajian mahasiswa.

Soe Hok Gie salah satu tokoh mahasiswa, yang biasa karya tulisnya dijumpai di media massa terbitan tahun 60-an, seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya begitu gamblang memaparkan kondisi bangsa disertai kritiknya yang memompa semangat pergerakan kaum muda terkhusus mahasiswa waktu itu. Dalam tulisannya yang hingga kini dapat dibaca dari buku "Zaman Peralihan" Gie meruntut polemik Indonesia tentang masalah pemerintahan, kemahasiswaan, masalah kemanusiaan, hingga membagikan pengalaman putra bangsa belajar di luar negeri. Termasuk pecahnya kongsi antara Soekarno-Hatta pada 1956. Sering kali dalam tulisan-tulisan, Soe Hok Gie menyebut nama orang-orang yang dianggapnya jauh dari upaya menegakkan keadilan, termasuk teman-teman seperjuangan dalam demonstrasi yang ia pelopori.

Pergerakan mahasiswa-ketika itu bahu membahu bersama para tentara-adalah laku kritik perlawanan terhadap pemerintahan Soekarno yang dianggap gagal memimpin Indonesia. “Terjadi kepanikan yang hebat dalam masyarakat, terlebih kalau diingat pada waktu itu menjelang Lebaran, Natal, dan Tahun Baru Tionghoa. Harga membumbung beratus-ratus persen dalam waktu hanya seminggu. Para pemilik uang melemparkan uangnya sekaligus ke pasar, memborong barang-barang”. (Zaman Peralihan, hlm. 4). Dan buku "Tjerita dari Djakarta" oleh Pramoedya Ananta Toer juga merupakan bentuk kritikan terhadap pemerintahan Soekarno (Orde Lama) yang sarat akan urbanisasi dan kemiskinan.

Bukan hanya isu kebangsaan luas, mahasiswa pun mengomentari kondisi lingkungan intern mereka. Catatan Gie yang terabadikan dalam karya tulis "Catatan Seorang Demonstran (1983), pernah ia mengkritisi dosen UI. Katanya, ada dosen ‘bodoh’, yang menyuruh mahasiswa untuk mentranslate sebuah buku, lalu menjadikan buku hasil translate itu sebagai bahan ajar. Seluruh ide-ide Gie disalurkan kepada kawan-kawannya yang para pemimpin demonstran, sehingga tulisan-tulisan Gie sangat menentukan gerakan massa periode kedua ini.

Puncak kritik pada pemerintahan Soekarno ditandai dengan tercetusnya azimat 'Tritura' yang terkenal itu. 12 Januari 1966 tiba, hiruk pikuk bangsa meneriakkan Tritura yang berujung pada dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), yang kemudian digunakan sebagai legitimasi oleh Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan. Singkat cerita tumbanglah orde lama, muncullah orde baru.

Periode Ketiga

"Kerukunan bukannya makin mereda, melainkan menajam. Sebagian disebabkan jurang perbedaan tingkat hidup yang lebar, sebagian disebabkan prasangka rasial yang negatif. Kerukunan sudah diganti dengan kecurigaan, bahkan antipati. Malapetaka peristiwa "5 Agustus 1973" di Bandung jelas menunjukkan fakta ini" tulisan Mahbub Djunaidi tahun 1974 di Harian Merdeka ini -diabadikan dalam kumpulan tulisan Mahbub yang kini dapat kita baca dalam buku "Humor Jurnalistik" (2018)- menggambarkan kondisi sosial-ekonomi masa orde baru. Siapa yang lupa dengan era dimana kesenjangan ekonomi merajalela, porak-porandanya keadaan sosial, berbuah pada tindakan rasialis pada etnis Tionghoa yang dianggap menyebabkan kemlaratan rakyat Indonesia. Gerakan mahasiswa adalah menentang seluruh kondisi ini.

Peristiwa 5 Agustus 1973 -kerusuhan anti Cina di Bandung- dianggap sebagai 'balasan' atas gejolak gerakan mahasiswa yang mulai muncul pada Pemilu 1971 yang melahirkan "Golongan Putih". Bagaimanapun juga mahasiswa dibuat begitu gerah atas kondisi bangsa saat itu. "Oleh karena itu politik pembangunan Negara Indonesia harus disesuaikan dengan ‘sociale structuur' masjarakat Indonesia jang njata pada masa sekarang" (Soepomo, Rapat BPUPKI, 31 Mei 1945), inilah idealisme 'Negara Integralistik' Soepomo yang dijadikan 'alat' pemerintahan Orde Baru.

Maka Marsillam Simanjuntak dalam skripsinya (1989) yang dijadikan buku dengan judul "Pandangan Negara Integralistik", membuka topeng Orba yang mana idealisme Negara Integralistik justru disalahgunakan untuk kepentingan penguasa dan melegitimasi tindakan represif terhadap suara-suara yang kritis. Dapat kita bayangkan bagaimana tulisan ini menjadi sumbu api perlawanan kaum intelektual muda. Mempertanyakan kembali arti demokrasi Indonesia. Menyadarkan para mahasiswa ada yang tidak beres dengan demokrasi di masyarakat kita.

"Apakah mungkin demokratisasi tanpa suksesi?" Demikian satu gagasan Marsillam Simanjuntak-orang yang dianggap ada di balik demonstrasi 15 Januari 1974 ini- dalam makalahnya "Democratizations in the 90s: Coming to terms with gradualism?" mengenai arti demokrasi bagi Indonesia. Ia memberikan penawaran 'gradualism', yang bisa diartikan sebagai perubahan pelan-pelan secara bertahap berkelanjutan, sebagai pilihan terbaik bagi demokrasi Indonesia. Mengingat tidak adanya pergantian Presiden di Indonesia setelah berkali-kali pemilihan umum. Presiden yang sama, pemerintahan yang sama, pembungkaman yang sama, kemiskinan yang sama, Indonesia gelisah ingin keluar dari zona nyaman Orba. Hingga tiba 21 Mei 1998, rezim Soeharto runtuh, menyisakan luka dunia mahasiswa yang menganga hingga kini, ialah Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II.

Periode Keempat

Nah setelah orde baru ini, lahirlah era reformasi, era kita sekarang ini. Sejumlah organisasi kemahasiswaan ekstra-kampus bentukan tahun 1966, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), yang sempat beraliansi membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) itu, pasca reformasi tetap menjadi basis-basis gerakan mahasiswa. Meskipun sadar atau tidak sesungguhnya mereka semakin terancam dengan segala bentuk pembungkaman, baik di luar maupun di dalam kampus. Karya tulis mahasiswa yang lahir era ini pun salah satunya membidik wacana pembungkaman di luar maupun dalam kampus, tanpa abai mengkritisi gerakan mahasiswa.

"Zaman telah bergulir. Era pembungkaman telah berakhir. Rezim yang mengekang dan sewenang-wenang sekarang hanya tinggal kenangan. Siapapun boleh berbicara, berpendapat, mengkritik, ataupun berkomentar sepanjang sejalan dengan kebenaran. Lalu, mengapa hingga saat ini telinga kita masih sering mendengar kisah beberapa kawan yang menjadi korban dari ‘kampus otoriter’? Kebebasan berpendapat seakan menjadi hal tabu sehingga mereka yang suka ‘menyentil’ birokrat kampus harus siap menerima risikonya. Risiko yang ditawarkan pun beragam: ada yang menjadi ‘bulan-bulanan’ dosen di kelas, diberi surat peringatan, pemanggilan orangtua, sanksi akademik, hingga yang baru-baru ini menimpa kawan kita di Jakarta yang harus menuai drop out (DO) karena sikap kritisnya terhadap carut-marut kehidupan kampus. Bukankah ironis?" Disadur dari "Masih Mau Dibungkam? Ketinggalan Zaman!" oleh Ria Fitriani (2016) di Persma.org. (Catatan redaksi: Naskah ini terpilih menjadi juara dua Lomba Esai bertema “Mahasiswa Bangkit Melawan Pembungkaman” yang diadakan pada Dies Natalis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) ke-23 di Semarang). Dan ada banyak tulisan serupa meski dalam bingkai perspektif yang berbeda.

Di sisi lain, zaman yang sudah merdeka, kebebasan dimana-mana, dan Indonesia yang terus bergerak menuju kemajuan ini, melahirkan persaingan yang bersifat kelompok maupun individu di kalangan mahasiswa sendiri di dalam kampus. Namanya juga kemajuan, siapa yang semakin terlihat, dialah yang semakin maju. Di sinilah kritik akan arogansi mahasiswa bermunculan dan kelak menciptakan krisis kepercayaan rakyat pada gerakan mahasiswa. Seperti ditulis Ahmad Riyadi di NU Online, "Kendati persoalan itu sudah tampak di kelopak mata beserta bahayanya, tak banyak perhatian yang diberikan oleh organisasi kemahasiswaan. Meminjam bahasa Martin Suryajaya (2016), mereka kaum intelektual yang penerapan fungsinya mengarah kepada kemubaziran sosial. Suatu keadaan yang mencemaskan ini ditandai dengan arogansi mahasiswa untuk melakukan gerakan-gerakan non-politis dan non-profit secara ekonomi, tapi dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat." (Intelektual dan Arogansi Gerakan Mahasiswa, 2016). Jika dicermati, tulisan ini sangat bertendensi menjadi 'sider' bagi merebaknya mahasiswa-mahasiswa apatis atau mahasiswa organisatoris yang apatis.

Terlepas dari masing-masing corak pergerakan mahasiswa di setiap periodenya, kita bisa mengungkapkan bahwa mahasiswa adalah simbol idealisme sejarah. Mahasiswa dalam sejarahnya selalu menjadi roda pergerakan. Gerakan mahasiswa dalam perjalanannya selalu membuktikan peran mahasiswa sebagai promotor transformasi sosial melalui manuver-manuver yang dijalankan, maupun sebagai pengendali kebijakan pemerintah melalui kritikan kritis yang diteriakkan. Semua manuver dan kritikan begitu rapi tersusun dalam catatan pena.

Meskipun, rekam jejak pergerakan mahasiswa lebih lekat dengan aksi demonstrasi dan gema orasi para pimpinan mahasiswa. Barangkali setelah membaca tulisan ini, di antara pembaca ada yang sepakat dengan penulis bahwa tulisan itu abadi, termasuk abadi sebagai alat pergerakan mahasiswa, dan menjadi kunci utama dalam upaya propaganda oleh mahasiswa. Bahkan tidak pernah usai para aktivis mahasiswa dituntut mampu melahirkan karya tulis sebagai bentuk tanggungjawab dalam mengejawentahkan pengetahuan mereka demi keberlangsungan gerakan mahasiswa. Dan bukankah ujung dari menjadi mahasiswa ialah menghasilkan suatu karya tulis ilmiah?

Jadi, mari kita angkat dagu bahwa gerakan mahasiswa tidak kelu. Ia akan terus lahir di setiap keresahan yang dirasakan anak cucu. Selama ada yang mau menuliskan, barang sepetak perjalanan. Hidup Mahasiswa!!



Ditulis oleh Betari Imasshinta (Wakil Ketua Rayon Ushuluddin Masa Khidmat 2019/2020)

Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama