Di Hari Raya, Merenungi Makna Citra Diri


 Di hari raya Idul Fitri tahun ini, meski tidak selengkap biasanya, sanak saudara berkumpul tetap dengan riuh cerita seputar desa. Entah bagaimana, penulis rasa, cerita di hari ketupat ini punya kesamaan topik, yaitu pandangan luar terhadap diri seseorang. Penulis akan mengisahkan dua di antaranya.       Pertama tentang cerita sepupu yang kagum kepada seorang pemuda yang ditemuinya di samping kantor pabrik -tampaknya tempat pemuda tersebut bekerja- pemuda itu begitu menampakkan laku tirakat dalam busana serta tingkah lakunya saat makan siang dengan bekal sederhana dari dalam tas lusuhnya.       Lalu, kisah kedua dari pakdhe yang bercerita polemik dengan sejumlah orang yang mendirikan posko satgas covid-19 tanpa izin -di dukuh yang rentan isu pemisahan daerah, ini menjadi buah bibir warga sekitar sebab polemik dengan sejumlah orang tersebut sudah pernah terjadi sebelumnya dengan kepala desa dan sesepuh desa. Sejumlah orang ini mengaku sebagai anggota suatu LSM dan bukan merupakan penduduk asli desa kami.      Banyak pembicaraan tersebut mengingatkan penulis pada ucap seorang guru mengenai betapa berharganya citra diri. Ambil saja dua kisah tadi, yang satu seorang pemuda memperoleh citra diri sebagai orang sederhana dan berlaku tirakat karena tampilannya serta cara makannya menggambarkan demikian, satunya lagi orang-orang yang memperolah citra buruk sebagai anggota LSM dan pendatang yang merongrong pola hidup kekeluargaan yang masih terjaga di suatu desa.       Penulis menganggap citra diri ini menjadi penting pula untuk direnungkan dalam spektrum kader PMII. Barangkali dengan mengajukan pertanyaan, apa yang menjadikan seorang bersedia mendaku diri sebagai kader PMII? Apa yang meciptakan kebanggaan ketika mendakunya? Agaknya kita perlu membedakan dengan sangat halus, antara menjadi bagian dari PMII dengan menjadikan diri sebagai PMII. Selayaknya menjadi anggota LSM atau mengemban tugas LSM. Dianggap sebagai orang sederhana atau memang menjadi orang apa adanya.      Ketika banyak anasir berbeda menyatakan kesetiaan pada ideologi PMII, seketika mereka menjadi bagian dari PMII yang kedudukannya setara atas ketundukkan pada prinsip-prinsip kePMIIan. Di lain pemahaman, ketika anasir-anasir ini berusaha mengembangkan diri secara luas dalam berprosesnya menjadi kader PMII, maka dengan sendirinya ia membawa harkat PMII dimana dan bagaimana pun ia bertindak.      Katakan penulis adalah kader PMII karena telah menjalani pendidikan formal dan berproses dalam kegiatan PMII. Tetapi, ketika penulis aktif dalam kegiatan lintas agama, maknanya penulis sedang menjalani image sebagai mahasiswa pegiat lintas agama dengan background PMII mengikuti di baliknya. Untuk kasus yang kedua inilah letak citra diri bagi kader.      Citra menjadi kosa kata yang kian hablur makna. Ketika seseorang mengatakan tentang "pencitraan" besar kecondongannya diartikan sebagai kepalsuan atau tidak sebenarnya. Memang tidak sepenuhnya keliru. Citra sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna suatu refleksi, imitasi, dan/ penggambaran atas kombinasi bentuk atau unsur.       Sedang menurut terminologi, citra diri berarti apa yang diri ini tampilkan ke luar kepada identitas di luar diri yang membedakan diri dari lainnya. Bahkan al-Qur'an menisbatkan pula tentang citra diri, yakni citra manusia sebagai khalifah di muka bumi (al-Baqarah [2]:30). Dalam buku Psycho-Cybernetics, citra diri adalah konsepsi diri sendiri mengenai orang macam apakah diri   sendiri. Ini merupakan produk dari pengalaman masa lalu beserta sukses dan kegagalannya, penghinaan dan kemenangannya, serta cara orang lain bereaksi terhadap diri sendiri.      Menurut beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa citra diri dibangun bukan hanya dari dalam diri melainkan bersamaan dengan pengaruh dari luar diri. Lantas tak heran apabila penulis memakaikan predikat 'memperoleh' pada citra diri di dua cerita tadi. Atas dasar itu, citra diri, menurut Brown (1998), dapat ditentukan oleh sebab tiga aspek; dunia fisik, dunia sosial, dan dunia dalam (psikologi).       Mengenai dunia sosial ada ungkapan menarik dari Prof. Nasaruddin Umar yang bisa dikaitkan dengan citra diri. Sang professor mengemukakan betapa pentingnya imajinasi (feeling) sosial yang positif bagi setiap manusia agar orang sekitar nyaman akan kehadiran diri kita. Tentu dapat dibayangkan bagaimana reaksi orang lain akan turut membangun citra diri seseorang.      Lalu, apabila disinggung mengenai citra diri kader, maka kita perlu menilik arti 'kader'. Kembali dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengkaderan bermakna cara, proses, dan perbuatan mendidik; membuat orang menjadi kader. Maka ditarik pemahaman makna kader berarti 'menjadi yang terdidik'. Oleh karenanya, kader PMII adalah mahasiswa yang menjadi terdidik dengan ajaran dan kultur PMII. Sehingga citra diri kader (PMII) adalah bagaimana membentuk pandangan luar atas sosok diri yang tumbuh dalam ajaran serta kultur dari PMII.      Yang perlu lebih tajam diperhatikan bahwa citra diri kaderlah yang nantinya mendefinisikan citra organisasi (PMII) setiap masanya. Bahwa kader PMII yang hanya mengandalkan citra warisan generasi sebelumnya akan rapuh dalam gerakan. Kerentanan ini pun disampaikan oleh Gus Romzi Ahmad yang menuturkan citra diri di antara dua identitas kader PMII. Mungkin tidak tepat namun kurang lebih seperti ini;      Identitas pertama kader PMII adalah anggota organisasi mahasiswa yang berpandangan islam moderat berdasar ASWAJA dan gerakannya masif reaksioner, serta kerap tidak tepat waktu. Ini disebut citra komunal sebagai kader PMII. Identitas satunya lagi, Gus Romzi mengajak kader bertabayyun akan pentingnya citra diri. Bahwa identitas kedua yang dimiliki kader adalah bagaimana ia membangun kualitas diri sendiri dengan identitas pertama tadi merupakan penunjangnya.      Gus Romzi mencontohkan ketika dalam pertemuan acara, pribadinya yang selalu tepat waktu, disentil terkait background PMII-nya yang dikenal kurang disiplin waktu. Kemudian ia menegaskan bahwa kebiasaan tidak tepat waktu memang melekat pada diri kader PMII (umumnya), berlainan dengan diri Romzi yang concern dalam literasi modernisasi dan globalisasi serta berlatar belakang kader PMII. Karena PMII tidak sesempit hanya perihal ketidaktepatan waktu. Inilah citra diri yang dalam bahasa Gus Romzi disebut personal branding.      Untuk lebih memahami citra diri yang disampaikan Gus Romzi, mengutip Ahmad Muqsith dalam tulisannya "Nilai Teologis Aktivis PMII", tertulis bahwa bergabung dengan PMII harusnya membantu kita menuju tangga hirarkis kualitas kehidupan. Dengan PMII kita bisa lebih leluasa bergerak, bisa menempa pengetahuan yang lebih mendalam dan tidak sekadar pengetahuan yang remeh. Lanjutnya, bergabung dengan PMII berarti siap meninggalkan kenyamanan pribadi untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang tidak egosentris.      Kualitas kehidupan yang tidak egosentris artinya mengembangkan kemampuan diri yang akan berguna bukan hanya untuk diri sendiri. Kader PMII tidak hanya hidup untuk masa sekarang, namun jauh untuk masa berikutnya, citra dirilah yang akan kekal. Paling tidak seperti itulah pelajaran yang penulis dapat. Citra diri -meski tidak banyak disadari- adalah utama dalam proses kaderisasi.       Apa yang diraih oleh para kader hari ini, sedikit banyak akan menyumbang konstruk gerak generasi kader berikutnya. Baik buruknya selalu punya potensi untuk menular. Selagi ada kesempatan menempa diri, membangun citra diri adalah kebutuhan dan kebanggaan sebagai seorang kader.      Jika mendaku diri sebagai kader PMII adalah kebanggaan, idealnya berangkat dari kesadaran adanya peluang luas untuk belajar dan meningkatkan kualitas kehidupan. Mendaku diri sebagai kader PMII, sebagai aktivis, tanpa membangun citra diri selaku nilai tawar pergerakan, kemungkinan rentan terjerumus pada bias kebanggaan yang kosong.       Kembali mengutip Ahmad Muqsith, aktivis bukan untuk masalah kebanggaan, tetapi panggilan kodrat kehidupan yang menuntut manusia terus mencapai titik potensial kualitas tertinggi yang bisa ia capai. Terakhir, untuk refleksi seberapa baik kualitas kita, tentu ukuran seluas apa gerak, pengetahuan dan rasa adalah alat ukur sederhananya.      Demikian sedikit pelajaran di hari raya Idul Fitri tahun ini. Atas nama pribadi dan Rayon Ushuluddin dengan segala penghormatan kepada seluruh sahabat, terucap lirih Taqaballahu minna wa minkum. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H.      Ditulis oleh Sahabat Betari Imasshinta,


Di hari raya Idul Fitri tahun ini, meski tidak selengkap biasanya, sanak saudara berkumpul tetap dengan riuh cerita seputar desa. Entah bagaimana, penulis rasa, cerita di hari ketupat ini punya kesamaan topik, yaitu pandangan luar terhadap diri seseorang. Penulis akan mengisahkan dua di antaranya.


Pertama tentang cerita sepupu yang kagum kepada seorang pemuda yang ditemuinya di samping kantor pabrik -tampaknya tempat pemuda tersebut bekerja- pemuda itu begitu menampakkan laku tirakat dalam busana serta tingkah lakunya saat makan siang dengan bekal sederhana dari dalam tas lusuhnya.


Lalu, kisah kedua dari pakdhe yang bercerita polemik dengan sejumlah orang yang mendirikan posko satgas covid-19 tanpa izin -di dukuh yang rentan isu pemisahan daerah, ini menjadi buah bibir warga sekitar sebab polemik dengan sejumlah orang tersebut sudah pernah terjadi sebelumnya dengan kepala desa dan sesepuh desa. Sejumlah orang ini mengaku sebagai anggota suatu LSM dan bukan merupakan penduduk asli desa kami.


Banyak pembicaraan tersebut mengingatkan penulis pada ucap seorang guru mengenai betapa berharganya citra diri. Ambil saja dua kisah tadi, yang satu seorang pemuda memperoleh citra diri sebagai orang sederhana dan berlaku tirakat karena tampilannya serta cara makannya menggambarkan demikian, satunya lagi orang-orang yang memperolah citra buruk sebagai anggota LSM dan pendatang yang merongrong pola hidup kekeluargaan yang masih terjaga di suatu desa.


Penulis menganggap citra diri ini menjadi penting pula untuk direnungkan dalam spektrum kader PMII. Barangkali dengan mengajukan pertanyaan, apa yang menjadikan seorang bersedia mendaku diri sebagai kader PMII? Apa yang meciptakan kebanggaan ketika mendakunya? Agaknya kita perlu membedakan dengan sangat halus, antara menjadi bagian dari PMII dengan menjadikan diri sebagai PMII. Selayaknya menjadi anggota LSM atau mengemban tugas LSM. Dianggap sebagai orang sederhana atau memang menjadi orang apa adanya.


Ketika banyak anasir berbeda menyatakan kesetiaan pada ideologi PMII, seketika mereka menjadi bagian dari PMII yang kedudukannya setara atas ketundukkan pada prinsip-prinsip kePMIIan. Di lain pemahaman, ketika anasir-anasir ini berusaha mengembangkan diri secara luas dalam berprosesnya menjadi kader PMII, maka dengan sendirinya ia membawa harkat PMII dimana dan bagaimana pun ia bertindak.


Katakan penulis adalah kader PMII karena telah menjalani pendidikan formal dan berproses dalam kegiatan PMII. Tetapi, ketika penulis aktif dalam kegiatan lintas agama, maknanya penulis sedang menjalani image sebagai mahasiswa pegiat lintas agama dengan background PMII mengikuti di baliknya. Untuk kasus yang kedua inilah letak citra diri bagi kader.


Citra menjadi kosa kata yang kian hablur makna. Ketika seseorang mengatakan tentang "pencitraan" besar kecondongannya diartikan sebagai kepalsuan atau tidak sebenarnya. Memang tidak sepenuhnya keliru. Citra sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna suatu refleksi, imitasi, dan/ penggambaran atas kombinasi bentuk atau unsur.


Sedang menurut terminologi, citra diri berarti apa yang diri ini tampilkan ke luar kepada identitas di luar diri yang membedakan diri dari lainnya. Bahkan al-Qur'an menisbatkan pula tentang citra diri, yakni citra manusia sebagai khalifah di muka bumi (al-Baqarah [2]:30). Dalam buku Psycho-Cybernetics, citra diri adalah konsepsi diri sendiri mengenai orang macam apakah diri
sendiri. Ini merupakan produk dari pengalaman masa lalu beserta sukses dan kegagalannya, penghinaan dan kemenangannya, serta cara orang lain bereaksi terhadap diri sendiri.


Menurut beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa citra diri dibangun bukan hanya dari dalam diri melainkan bersamaan dengan pengaruh dari luar diri. Lantas tak heran apabila penulis memakaikan predikat 'memperoleh' pada citra diri di dua cerita tadi. Atas dasar itu, citra diri, menurut Brown (1998), dapat ditentukan oleh sebab tiga aspek; dunia fisik, dunia sosial, dan dunia dalam (psikologi).


Mengenai dunia sosial ada ungkapan menarik dari Prof. Nasaruddin Umar yang bisa dikaitkan dengan citra diri. Sang professor mengemukakan betapa pentingnya imajinasi (feeling) sosial yang positif bagi setiap manusia agar orang sekitar nyaman akan kehadiran diri kita. Tentu dapat dibayangkan bagaimana reaksi orang lain akan turut membangun citra diri seseorang.


Lalu, apabila disinggung mengenai citra diri kader, maka kita perlu menilik arti 'kader'. Kembali dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengkaderan bermakna cara, proses, dan perbuatan mendidik; membuat orang menjadi kader. Maka ditarik pemahaman makna kader berarti 'menjadi yang terdidik'. Oleh karenanya, kader PMII adalah mahasiswa yang menjadi terdidik dengan ajaran dan kultur PMII. Sehingga citra diri kader (PMII) adalah bagaimana membentuk pandangan luar atas sosok diri yang tumbuh dalam ajaran serta kultur dari PMII.


Yang perlu lebih tajam diperhatikan bahwa citra diri kaderlah yang nantinya mendefinisikan citra organisasi (PMII) setiap masanya. Bahwa kader PMII yang hanya mengandalkan citra warisan generasi sebelumnya akan rapuh dalam gerakan. Kerentanan ini pun disampaikan oleh Gus Romzi Ahmad yang menuturkan citra diri di antara dua identitas kader PMII. Mungkin tidak tepat namun kurang lebih seperti ini;


Identitas pertama kader PMII adalah anggota organisasi mahasiswa yang berpandangan islam moderat berdasar ASWAJA dan gerakannya masif reaksioner, serta kerap tidak tepat waktu. Ini disebut citra komunal sebagai kader PMII. Identitas satunya lagi, Gus Romzi mengajak kader bertabayyun akan pentingnya citra diri. Bahwa identitas kedua yang dimiliki kader adalah bagaimana ia membangun kualitas diri sendiri dengan identitas pertama tadi merupakan penunjangnya.


Gus Romzi mencontohkan ketika dalam pertemuan acara, pribadinya yang selalu tepat waktu, disentil terkait background PMII-nya yang dikenal kurang disiplin waktu. Kemudian ia menegaskan bahwa kebiasaan tidak tepat waktu memang melekat pada diri kader PMII (umumnya), berlainan dengan diri Romzi yang concern dalam literasi modernisasi dan globalisasi serta berlatar belakang kader PMII. Karena PMII tidak sesempit hanya perihal ketidaktepatan waktu. Inilah citra diri yang dalam bahasa Gus Romzi disebut personal branding.


Untuk lebih memahami citra diri yang disampaikan Gus Romzi, mengutip Ahmad Muqsith dalam tulisannya "Nilai Teologis Aktivis PMII", tertulis bahwa bergabung dengan PMII harusnya membantu kita menuju tangga hirarkis kualitas kehidupan. Dengan PMII kita bisa lebih leluasa bergerak, bisa menempa pengetahuan yang lebih mendalam dan tidak sekadar pengetahuan yang remeh. Lanjutnya, bergabung dengan PMII berarti siap meninggalkan kenyamanan pribadi untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang tidak egosentris.


Kualitas kehidupan yang tidak egosentris artinya mengembangkan kemampuan diri yang akan berguna bukan hanya untuk diri sendiri. Kader PMII tidak hanya hidup untuk masa sekarang, namun jauh untuk masa berikutnya, citra dirilah yang akan kekal. Paling tidak seperti itulah pelajaran yang penulis dapat. Citra diri -meski tidak banyak disadari- adalah utama dalam proses kaderisasi.


Apa yang diraih oleh para kader hari ini, sedikit banyak akan menyumbang konstruk gerak generasi kader berikutnya. Baik buruknya selalu punya potensi untuk menular. Selagi ada kesempatan menempa diri, membangun citra diri adalah kebutuhan dan kebanggaan sebagai seorang kader.


Jika mendaku diri sebagai kader PMII adalah kebanggaan, idealnya berangkat dari kesadaran adanya peluang luas untuk belajar dan meningkatkan kualitas kehidupan. Mendaku diri sebagai kader PMII, sebagai aktivis, tanpa membangun citra diri selaku nilai tawar pergerakan, kemungkinan rentan terjerumus pada bias kebanggaan yang kosong.


Kembali mengutip Ahmad Muqsith, aktivis bukan untuk masalah kebanggaan, tetapi panggilan kodrat kehidupan yang menuntut manusia terus mencapai titik potensial kualitas tertinggi yang bisa ia capai. Terakhir, untuk refleksi seberapa baik kualitas kita, tentu ukuran seluas apa gerak, pengetahuan dan rasa adalah alat ukur sederhananya.


Demikian sedikit pelajaran di hari raya Idul Fitri tahun ini. Atas nama pribadi dan Rayon Ushuluddin dengan segala penghormatan kepada seluruh sahabat, terucap lirih Taqaballahu minna wa minkum. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H.


Ditulis oleh Sahabat Betari Imasshinta,

Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama