(Sumber gambar: mediaindonesia.com)
International Day for the Remembrance of the Slave Trade and
Its Abolution, atau
hari penghapusan perdagangan dan perbudakkan dalam bahasa Indoenesia secara
internasional diperingati pada tanggal 23 Agustus yang merujuk pada hasil sidang
keputusan UNESCO pada tahun 2016. Tujuannya adalah memberi reward berupa
dukungan atas kebebasan dari segala bentuk perbudakkan dan perdagangan manusia
yang tidak manusiawi dan melanggar norma-norma kemanusiaan.
Latar Belakang peringatan ini tidak terlepas dari peristiwa
kelam perbudakkan di Haiti yang
korbannya berasal dari orang-orang Afrika. Pada saat itu para korban mencoba
kabur dan mencari kebebasan saat malam hari 22-23 Agustus 1971. Upaya tersebut berhasil
dan kemudian juga dikenal dengan “Revolusi Haiti”. Dengan atas alasan
kemanusiaan yang sama seperti UNESCO, PBB pun ikut memploklamirkan kemerdekaan
dari segala perbudakan untuk rakyat
Afrika dan dunia.
Potret Perbudakan Pasca Sidang UNESCO 2016
Awal Juli tahun 2019 lalu, secara mengejutkan polisi Inggris
berhasil membongkar praktek perbudakkan modern dengan korban total sebanyak 400
orang. Hal ini menjadikan praktik perbudakkan modern yang pernah terjadi di
dunia.
Praktik ilegal ini cukup lama terhendus oleh polisi yang
dalam kurun waktu selama tiga tahun dan baru terbongkar pada tahun 2019
ini.Tidak tanggung-tanggung keuntungan dari korban sampai sebanyak jutaan
poundsterling yang didapati oleh pelaku kriminal yang dipimpin oleh warga asing
berkebangsaan Polandia. Sementara itu para korban hanya diberi upah sebesar
Rp881 ribu perhari.
Pelaku kriminal ini menargetkan para gelandangan, pecandu,
dan orang-orang kalangan ekonomi ke bawah. Tidak jarang para korban yang sudah
ditipu dan diimingi pekerjaan yang layak dan bergaji besar tersebut, dari
kalangan orang tua dan wanita rentan juga anak-anak remaja dan belia dari
negara Polandia.
Namun, pada akhirnya mereka diberi kehidupan serta tempat
tinggal yang yang tak layak dan hidup dalam kesulitan. Hal ini jelas mencoreng
harga diri kemanusiaan yang pada awalnya setelah penghapusan undang-undang
perbudakan dunia oleh UNESCO berharap berakhir pula segala bentuk perbudakan,
ternyata sampai sekarang masih terus berlanjut dengan korban yang tak sedikit
jumlahnya. Para pelaku yang menjalankan bisnis ilegal sejak tahun 2017
ini dianggap praktik perbudakan paling ambisius oleh Stacey yang produktif dan
juga berjaring meluas. Tidak heran jika kasus ini sempat menghebohkan
Negara-negara Eropa hingga saat ini.
Perbudakkan di Indonesia
Indonesia tidak terlepas dari sejarah kelam perbudakkan yang
dilakukan lewat kolonialisme, bahkan tidak sedikit yang menawarkan dan
merelakan diriniya menjadi budak dikarenakan himpitan ekonomi sebab penjajahan
dan hutang yang melilit terhadap pemerintah VOC. Kini bukan sudah
berakhir kisah kelam perbudakkan pada masa penjajahan tersebut, semuanya masih
berlanjut sampai saat ini dengan kemasan yang berbeda.
Tahun 1999 sebenarnya di Indonesia sudah diterbitkan UU Nomor
19 tentang penghapusan kerja paksa melalui konvensi ILO. Namun, pada
kenyataannya berdasarkan data riset dari Global Slavery Index pada tahun
2016, Negara ini menempati Ranking ke-10 soal perbudakkan modern di dunia
dengan total jumlah korban sebanyak 736.000 atau setara 0,3% dari keselurahan
popolasi penduduk di Indonesia.
Perbuddakan modern didefinisikan oleh Walk Free
Foundation seperti praktik perdagangan manusia dari mulai penjualan
organ, prostitusi, eksploitasi anak, buruh paksa dan sebagainya. Nusa Tenggara
Timur (NTT) menjadi provinsi terbanyak dengan jumlah 468 orang lebih yang menjadi
korban pada tahun 2015 tidak hanya itu, Indonesia juga sempat menjadi jalur perdagangan
manusia internasional dari Negara ASEAN yang dirujuk melalui hasil lembaga
riset SEAFish for Justice, Ever Green Myanmar, dan JPKP Sulawesi
Tenggara.
Faktor meledaknya jumlah populasi
penduduk, sulitnya lapangan kerja dan kemiskinan masih menduduki sebab utama
maraknya perdagangan dan perbudakkan di Indonesia. Mereka semua bukan tanpa alasan
dan bodoh, akan tetapi tidak punya banyak pilihan untuk bertahan hidup jika
tidak terjun sebagai pelaku bisnis illegal atau korban.
Mereka yang sudah memiliki
pekerjaan terutama buruh, sering menjadi korban dariperbuddakan dari kalangan
kapitalis yang hanya memikirkan keuntungan besar tanpa memikirkan nasib
karyawnnya. Tampak dari luar istilah gaji UMR dianggap sudah layak, tetapi masih
banyak di balik itu mereka yang mendapatkan gaji jauh dari kelayakkan dengan
tambahan siksa jam kerja, fasilitas jaminan untuk karyawan.
Jadi sampai kapan perdagangan dan
perbudakkan manusia bisa berakhir?
(Ditulis Oleh
Sahabat Irfan Dani, Anggota dari Biro Media dan Kepenulisan PMII RASHUL
Angkatan 2017)