(sumber gambar: greatedu.co.id)
“Janganlah berbuat seperti sapu yang meninggalkan ikatannya, sebatang lidi tidak berarti apa-apa, tetapi dalam satu ikatan sapu akan mampu menyapu segala-galanya”
Closing statement Jenderal
Soedirman tatkala menjadi Komandan Batalyon PETA tahun 1994 ini mampu membakar
semangat para pejuang. Ia, tampak ingin mengatakan bahwa tanpa persatuan,
perlawanan hanya omong kosong. Bagaikan lidi sebatang tanpa kawan, patahkan
saja. Klek!
Lidi memiliki makna filosofis yang
dalam. Jika halaman terbentang luas, sedangkan dalam waktu yang singkat halaman
itu harus bersih dari apapun, sebatang lidi tak akan berguna apa-apa untuk
membuatnya kinclong. Beda halnya dengan lidi seikat. Kuat, mantap, sapu bersih.
Maknanya adalah perjuangan parsial selama
berabad-abad berdampak minim mengusir lalat-lalat kolonial yang mengrubuti Indonesia.
Ketika pada akhirnya perjuangan serempak tersebut diiringi semangat perjuangan
yang membara, kemudian terdengarlah proklamir kemerdekaan bangsa ini yang
didambakan sejak berabad-abad lalu. Tentu tidak semudah itu, perjuangan dan
perlawanan menuju pembebasan meliputi segala hal yang bersifat kompleks. Bukan “mak
bedunduk” dalam istilah Jawa. Namun, lidi seikat ini setidaknya membawa
paham bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil “urun rembuk” semua
kalangan. Bukan hanya milikku, kamu, atau dia.
Berawal dari paham inilah,
peringatan kemerdekaan dimaknai sebagai persatuan semua perbedaan yang pernah
ada. Meski tidak benar-benar bersatu untuk segala hal, setidaknya diusahakan
untuk satu tujuan yang sama ; Kemanusiaan. Hak setiap manusia untuk
dimanusiakan dikembalikan sepenuhnya dan pertumpahan darah atas nama perluasan
jajahan dikecam semua pihak. Sudah sepantasnya bingkai persatuan
ini dijaga dan menjadi tolok ukur seberapa jauh hasil perjuangan para pahlawan
dipertahankan.
Kebhinekaan bukan reka aksara tanpa makna, sekulerisme di bogam
mentah-mentah juga bukan tanpa landasan. Sebab para Founding Father
paham bahwa kemerdekaan ini diperoleh atas usaha bersama, bukan atas nama suku,
agama, golongan dan sekat parsial lainnya.
Lidi seikat menggambarkan persatuan
tersebut. Persatuan menjadi niscaya untuk mempertahankan kapal besar bernama Indonesia.
Tanpa perlu ribut bersilang mengenai perbedaan primordial, apalagi ideologi
negara. Pancasila sudah titik. Pantas saja jika NKRI adalah harga mati. Lantas!
seberapa besar rasa nasionalisme kita di 74 tahun Indonesia merdeka?
( Tulisan ini dibuat oleh
sahabati Ekalaya, Anggota Biro Media dan Kepenulisan PMII Rashul Angkatan
2018)