(Sumber gambar: konselposlintassulawesi.com)
Istilah hoax atau berita bohong kembali merebak di Indonesia, sebagaimana yang kita ketahui pada momen kemerdekaan lalu kedamaian di negara ini diusik oleh kericuhan di Manokwari dan wilayah Papua Barat yang diduga ada andil dari menyebarnya hoax di media sosial. Hal itu dipicu oleh adanya pengepungan asrama Mahasiswa di Surabaya oleh ormas yang sebelumnya mendapat informasi bahwa ada penistaan lambang negara berupa pembuangan bendera merah putih ke selokan oleh penghuni asrama pada tanggal 16 Agustus.
Pihak aparat yang mendapatkan laporan tersebut langsung meninjau lokasi dan mengupayakan komunikasi kepada penghuni asrama terkait laporan ormas tersebut. Sabtu 17 Agustus gabungan kelompok ormas mendatangi asrama dengan kawalan pihak aparat mencoba meminta klarifikasi kepada para Mahasiswa atau yang mewakili Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) terkait kejadian yang sebenarnya. Namun upaya dari ormas dan aparat tidak juga kunjung direspon oleh penghuni asrama, akibatnya massa yang geram melaporkan kepada pihak berwajib apabila belum juga ada tanggapan akan kembali mendatangi asrama dengan maassa yang lebih banyak.
Pihak aparat menanggapi laporan tersebut dengan upaya pencegahan agar tidak terjadi hal-hal yang diinginkan dari pihak massa dan penghuni asrama, setelah tiga kali upaya negosiasi tidak mendapat jawaban akhirnya pihak polisi pun mengeluarkan surat perintah penggeledahan asrama. Tindakan polisi yang mengangkut paksa sebanyak 43 Mahasiswa ke Polrestabes Surabaya akhirnya dijadikan sebagai langka terakhir akibat buntunya upaya negoisasi.
Dorlince Iyowau selaku perwakilan AMP menjelaskan bahwa dirinya tidak tahu tentang adanya pembuangan bendera yang dilakukan teman-temannya. Peristiwa penggeledahan secara paksa oleh pihak polisi pun menjadi alasan kemarahan masyarakat Papua atas ketidakadilan, karena menurut penjelasan para mahasiswa ada hinaan dan kata-kata rasis yang dilontarkan dari pihak massa aksi dengan ujaran monyet dan sebagainya yang kemudian jelas menyinggung masyarakat Papua.
Sampai saat ini terkait kebenaran adanya video pembuangan bendera merah putih di selokan asrama Papua belum juga dikonfirmasi apakah itu hoax atau memang benar adanya dengan maksud tertentu. Namun, seharusnya dibalik benar atau tidaknya video dan informasi tersebut, haruslah kita menyikapinya dengan tenang agar upaya dan akibat yang sama-sama tidak kita inginkan terjadi dan terus berkelanjutan memecah belah bangsa ini.
Kohanau dan Merau
Kohanau berasal dari bahasa suku Tolaki di Sulawesi Tengara yang artinya "malu" dan Merou berarti "sopan" keduanya menjadi budaya yang lekat akan pedoman hidup suku tersebut. "inae merou nggoieto ano dodio toonu merou ihanuno", barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain akan mendapat balasan santun juga kepadanya.
Istilah ini bisa dijadikan sebagaimana penangkal hoax berbasis kearifan lokal yang saat ini begitu populer dan banyak menjadi barang santapan pemicu kegaduhan di negeri ini, dengan cara dipahami, dijaga dan dilestarikannya.
Orang-orang saat ini kebanyakan hanya mementingkan egonya dan sesuai keberpihakan kelompok yang didukungnya, dengan tidak memperdulikan sama sekali apa yang dibaca dan disebarkannya merupakan informasi yang akurat atau hoax?
Seandainya budaya kohanau dan Merau ini terus dijaga dan diperaktikan, bukan tidak mungkin orang-orang akan berpikir ulang dan memahami budaya sopan santun yang ditanamkan oleh para orangtua dan leluhur mereka dahulu, sehingga bisa menahan diri atau setidaknya memeriksa fakta sebenarnya tanpa langsung menyebarluaskan baik secara sengaja, maupun dalam ketidaktahuannya yang ditujukan demi menjaga persatuan bangsa.
Faktor Literasi Media
Lagi dan lagi faktor literasi juga mejadi alasan penting mengapa banyak masyarakat dengan mudahnya meyakini dan menyebarluaskan informasi terutama yang bertaburan di media sosial, padahal belum tahu pasti akan kebenarannya. Para pegiat literasi terutama media sosial, sudah berulang kali membangun pemahaman paradigma bermedia sosial kepada masayarakat yang diharapkan bisa lebih cerdas dalam bermedia dan mengelolah informasi di era digital saat ini.
Sangat didambakan kepada warganet akan pemahaman literasi bermedia social yang cukup, supaya budaya seperti sopan dan santun seperti suku Tolaki di Sulawesi juga terjaga saat bercengkrama di media social, sebagaimana mereka menjaga adab seketika di rumah bersama orangtua dan juga orang terkasih. Hal ini tentu bisa menekan begitu masifnya peredaran hoax yang sangat berbahaya bagi persatuan bangsa ini.
Menjadi masyarakat yang cerdas dan dewasa sudah pasti dambaan kita semua tanpa terkecuali apapun, untuk itu semua ada pada kendali jari dan akal kita. Apakah bisa menahan dan mengendalikan diri dari apapun yang berbau sensitif dan berpotensi menimbulkan perpecahan? Silahkan pilih menjadi cerdas dan dewasa atau pecundang dengan kebodohan anda?
(Ditulis Oleh Sahabat Irfan Dani, Anggota dari Biro Media dan Penulisan PMII RASHUL Angkatan 2017)