Dok; http://www.carreraderecho.com |
Lewis Coser berpendapat bahwa konflik sebenarnya adalah alat perjuangan yang mempunyai tujuan jangka pendek dan secara simultan menetralisir, menciderai bahkan mengeliminir pesaing-pesaingnya (1956:8). Sementara aksi sosial konfliktual diartikan sebagai usaha kolektif sekelompok orang untuk mendapatkan tujuan jangka pendek, tujuan jangka menengah, nilai yang dianut secara kolektif, bahkan meski harus berhadapan dengan penentangan (Ahmad Muqsith: 2017).
Jika meminjam definisi dari Coser, apa benar ada upaya penetralisiran atau mengeliminir dari seseorang atau kelompok yang sedang berkonflik? Mari kita lihat salah satu contohnya melalui konflik antara pengusung wacana Golput dengan Penyelenggara Pemilu di Pemilu 2019.
Pertama, ada atau tidak adanya film Sexy Killer wacana golput dalam pemilu selalu digaungkan oleh beberapa kelompok, yang menganngap Pemilu hanya sebagai upaya prosedural yang meligitimasi oligarki berkuasa lagi. Sementara kualitas penyelenggaran Pemilu, dinilai penyelenggaranya berbanding secara linier dengan kualitas demokrasi, semakin baik penyelenggaraanya maka demokrasi dinilai semakin berkualitas.
Penetralisiran Lawan Konflik
Mari kita sebut Pengusung wacana Golput menjadi Golputer. Golputer sendiri jelas ingin menetralisir semangat euforia masyarakat yang menganggap “pesta” demokrasi harus diwujudkan dalam sebuah agenda bernama Pemilu. Penetralisiran ini dilakukan dengan tujuan jangka panjang bernama politik alternatif.
Cara yang dilakukan sangat beragam, mulai dari penyampaian data kebobrokan peserta Pemilu dalam rantai korupsi, perusakan alam, mendominasi sumber ekonomi sampai membongkar kredo “politisasi agama”. Melalui diskusi, konten bacaan, kampanye di medsos, kerja jaringan, film dokumenter bahkan sampai aksi jalanan.
Sementara pihak penyelenggara, melakukan hal yang sama. Menetralisir potensi bertambahnya angka Golput dengan menarasikan wacana “Memilih itu keren”. Tentu hegemoni yang diusung oleh Penyelenggara Pemilu lebih terasa karena difasilitasi “infrastruktur” negara. Melalui pembidikan segmen yang lebih terkategorisasikan, pemilih pemula, pemilih pengusaha, pemilih perempuan, semua segmen dipaparkan apa yang mereka sebut “Memilih itu keren”.
Sama dengan Golputer, penetralisiran ini dilakukan di forum kajian, siaran TV, radio, dan sosmed. Mulai dengan menciderai Golputer yang dilabeli sebagai apatis, tidak berterimakasih pada negara, sampai narasi ringan “golput itu tidak keren”.
Sampai hal ini, baru kita masuk pada keterlibatan gerakan PMII secara kolektif. Memang secara atomic, person to person, dalam konteks pemilu 2019 ada kader PMII di dua kubu yang saling menetralisir tadi. Tapi bukan itu yang akan kita bahas secara mendalam kali ini.
Hal di atas bukan ingin menggiring baik-buruknya Golputer atau Penyelenggara Pemilu. Paparan di atas hanya ingin mengajak pemahaman bahwa konflik itu interaksional, timbal balik, menetralisir dan menciderai. Bidang apa saja yang akan diperjuangkan PMII kelak, haarus ditopang kesadaran bahwa, selalu ada pihak yang akan mentralisir dan menciderai perjuangan PMII.
Produksi Produk Hukum
Strategi gerakan sebelumnya pernah saya ulas dalam tulisan di laman PMII Semarang, http://www.pmiisemarang.or.id/2017/11/strategi-gerakan-pmii-di-tengah-gerakan.html?m=0. Apa yang ingin saya fokuskan, adalah model audiensinya. Audiensi bisa saja kepada lembaga negara, bisa juga ke lembaga sewasta.
Dalam konteks negara hukum, sudah seharusnya kader PMII mulai belajar membuat draft hukum dalam setiap isu perjuangannya. Lihat saja, missal pada isu feminism munculah RUU Kekerasan Seksual. Artinya, model yang seperti itulah yang akakn mengisi pertarungan konflik sosial kedepannya.
Jika Kader PMII masih mau berkutat dengan gerakan advokasi, pelatihan “legal drafting” mutlak dilaksanakan. Ingat, di negara hukum yang melegitimasi pemerintahannya menggunakan pemilu, kejahatan terbesar yang sangat mungkin terjadi malah bisa saja sangat konstitusional.
Setiap perundang-undangan jahat yang muncul, itulah awal PMII untuk siap-siap menetralisir, menciderai, sampai akhirnya menghapuskan perudang-undangan tersebut. Jangan sampai dalih “bukan kader hukum” menjadi tameng kebebalan malas belajar kita.
Bayangkan jika kader PMII mampu merumuskan Peraturan Daerah yang mengatur waktu pemadaman listrik di masyarakat, perusahaan, perhotelan. Bayangkan jika kader PMII mampu merumuskan Peraturan Daerah yang mengatur pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan penambangan liar. Semua kebijakan yang salah sudah saatnya dilawan dengan produk hukum alternative yang dilahirkan PMII.
Memang nanti gerakan ini akan mensumirkan garis demarkasi anatara PMII dengan Lembaga Bantuan Hukum, tetapi zaman juga mengarahkan kita harus dan wajib menempuh jalan ini. Belajarlah membuat produk hukum, jikapun dianggap berat dan belum bisa, mari kita buat Peraturan Organisasi terlebih dahulu, tentang Pengkaderan misalnya.
*Ditulis oleh Ahmad Muqsith, Wakil Ketua I PMII Rayon Ushuluddin Masa Bakti 2013-2014