Dok.kiblat.net |
Hal tersebut dapat dipicu oleh berbagai masalah, salah satunya perbedaan doktrin agama dan sikap serta mental penganutnya. Konflik yang terjadi karena hal tersebut biasanya mengakibatkan kerusakan mental, spiritual, serta material. Sebagai contoh yaitu pembakaran tempat ibadah Vihara di Tanjung Balai Sumatera Utara dan pembakaran Masjid di Tolikara serta masih banyak kasus lainnya. Kejadian seperti ini banyak dipelopori permasalahan perbedaan keimanan dan juga mental setiap umat beragama.
Kasus seperti ini tidak jarang diawali dari perdebatan persoalan agama yang ada pada lingkaran-lingkaran kecil media sosial. Perdebatan tersebut selalu merujuk pada keyakinan dan kitab suci untuk membenarkan agama masing-masing dengan cara apapun, kemudian menjadikan sentimen yang nyata di dalam kehidupan sehari-hari. Ketidakdewasaan inilah yang menjadi embrio awal konflik beragama di Indonesia. Padahal mereka tahu agama mereka masing-masing tidak pernah mengajarkan hal semacam itu.
Dari banyaknya perdebatan tersebut melahirkan sebuah apologi yang konfrontatif dengan bertujuan memenangkan perdebatan. Selama ini perdebatan tersebut tidak pernah melahirkan sebuah hasil yang membanggakan ataupun yang menguntungkan secara signifikan terhadap kehidupan beragama mereka masing-masing, yang ada hanya sentimen negatif yang merajalela dikarenakan nafsu beragama semata. Kalau hal ini terus dibiarkan sama saja merusak kebebasan beragama dan asas saling menghormati perbedaan keyakinan seperti mandat PBB dalam piagam PBB tentang deklarasi hak -hak asasi manusia pada tahun 1948.
Banyak manusia beragama lupa bahwa hakikat keberagamaan adalah sikap saling memahami perbedaan, saling menyayangi satu sama lain, selalu menjaga tali persaudaraan, serta mengasihi tanpa pandang bulu. Hal tersebut tentu sesuai dengan tujuan beragama yakni mewujudkan sikap dan suasana keharmonisan ditengah-tengah masyarakat. Tantangan keberagaamaan dalam bingkai kehidupan yang sangat beragam ini tentunya harus dikawal oleh semua pihak agar kita semua dapat terus konsisten dalam keadaan harmonis.
Perbedaan suku dan ras pemeluk agama bukanlah hal penghalang pada setiap kerukunan yang ada, hal itu seharusnya menjadikan kegembiraan pada masyarakat dengan kebebasan dalam keyakinannya juga ras dan sukunya. Potensi konflik dan perpecahan akan terus berkurang jika kita semua memaknai perbedaan dengan benar, semua berkaca pada norma dan nilai etika yang tinggi.
Selain perbedaan antara suku dan ras pemeluk agama, perbedaan pada tingkat kebudayaan juga sangat berpotensi pada perpecahan. Dalam hal ini tingat kebudayaan dengan tinggi rendahnya masyarakat yang berbudaya sangat mempengaruhi pola pikir beragama. Masyarakat yang dibentuk dalam kehidupan berbudaya yang tinggi sudah tentu sangat menghormati kekayaan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, berbeda dengan kualitas budaya masyarakat yang rendah akan mempengaruhi keterbukaan terhadap budaya dan cenderung memandang negatif kepada budaya jika tak sesuai dengan agamanya.
Dinamika mayoritas dan minoritas juga menjadi salah salu pemicu konflik sosial maupun agama. Konflik sosial yang berbau agama akan menjadi sangat kompleks ketika permasalahan mayoritas dan minoritas mengudara. Biasanya pada permasalahan mayoritas dan minoritas ini seringkali dicampuri berbagai macam kepentingan. Tidak jarang bumbu-bumbu politik yang negatif masuk demi kepentingan kekuasaan tertentu. Karena disadari atau tidak, agama menjadi sasaran empuk para politikus dalam meraup suara.
Permasalahan mayoritas dan minoritas banyak didapati pada negara-negara yang pluralis seperti Indonesia, hal semacam ini banyak membenturkan antar golongan dan tentu bisa berakibat pada kejadian yang sama sekali tidak kita inginkan. Dalam permasalahan konflik mayoritas dan minoritas ini D. Hendropuspito O.C . Menuliskan dalam bukunya yang berjudul "Sosiologi Agama" yakni ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari penyebab konflik mayoritas dan minoritas yaitu; (1) Agama diubah menjadi suatu Ideologi. (2) Prasangka mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya. (3) Mitos dari mayoritas.
Jika mayoritas keagamaan mengembangkan suatu ideologi yang bercampur dengan mitos bahwa adanya serangan ataupun niat jahat dari kelompok minoritas terus dihembuskan dengan sentimen emosional yang begitu mendalam, maka akan melahirkan sebuah keyakinan bahwa kelompok mayoritas tersebutlah yang paling berkuasa akan negara dan masyarakat di dalamnya. Segala hal apapun harus tunduk kepada yang memiliki kekuatan lebih besar, yang minoritas harus patuh akan segala hal dari yang mayoritas, kebebasan tidak lagi didapatkan, keadilan menjauh dari peradaban dan keharmonisan menghilang dari kemasyarakatan.
*Ditulis oleh Sahabat Irfan Dani, Anggota Biro Media & Penulisan PR PMII Rashul