Judul Buku : Kolom Demi Kolom, Humor-Humor Bernas Sang Maestro
Penulis : H. Mahbub Djunaidi
Penerbit : IRCiSoD
Tahun Terbit : 2018
Halaman : 336 Halaman
Resensator : Nanang Bagus Zuliadi
“Jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia”
(Mahbub Djunaidi)
Goenawan Muhammad pernah mengatakan bahwa ia cemburu dengan Mahbub Djunaidi, terkhusus pada gaya penulisannya. Mahbub dinilai mampu menggerakkan kata-kata, kalimat-kalimat dalam berbagai perumpamaan yang tak pernah membosankan dan selalu tak terduga. Gaya penulisan Mahbub yang syarat akan satire dalam melihat dan mengkritisi suatu kondisi disetarakannya dengan kecakapan seorang tokoh pantomim dunia, Marcel Marceau.
Mahbub Djunaidi adalah salah satu tokoh fenomenal pada zamannya. Ia merupakan penulis yang handal dalam berbagai bidang. Namun kecenderungannya dalam melihat sesuatu dengan kacamata politik tidak dapat di tampik adanya, hal itu dapat di lihat dalam berbagai tulisan Mahbub di dalam berbagai karyanya. Dalam salah satu essay nya ia pernah menulis “Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ihwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa di pikul”.
Salah satu tulisan Mahbub yang menarik adalah Kolom Demi Kolom. Buku terbitan IRCiSoD ini merupakan satu dari sekian banyak tulisan Mahbub yang di abadikan. Buku ini merupakan kumpulan Kolom Mahbub di Koran Tempo mulai dari tahun 1971 sampai dengan tahun 1985. Dalam buku ini Mahbub bercerita dan menggambarkan berbagai isu sosial politik kemasyarakatan dengan gaya bahasa satire yang khas dan di sajikan dengan sub-judul yang berbeda-beda.
Sebagai seorang penulis yang juga merangkap seorang politikus, Mahbub termasuk politikus yang sangat peka terhadap realitas yang berkembang di masyarakat. Ia selalu update dalam setiap kebijakan politik negara, dinamika sosial kemasyarakatan, serta perkembangan kebudayaan di sekitarnya. Mahbub selalu bisa memberikan perumpamaan dan penjelasan kejadian yang secara umum sulit dipahami oleh masyarakat awam.
Perihal UU Pokok Agraria yang lahir pada tanggal 24 September 1960 dapat menjadi contohnya. Ketika banyak orang melihatnya sebagai suatu usaha penghapusan hak-hak asing atas tanah, ketika sebagian orang melihatnya sebagai usaha penghapusan feodalisme, Mahbub melihatnya dari kacamata yang lain.
Ia melihat persoalan ini dari kacamata arus bawah. Dalam buku ini Mahbub mengambil satu tokoh permisalan, yaitu Bapak Sampurno, seorang tuan tanah yang memiliki ratusan hektar tanah, yang sudah barang tentu akan dilanda kebimbangan mendengar peraturan ini, dimana UU hanya membatasi kepemilikan tanah sebanyak 5 hektar (Tuan “Tanah Pancasilais”:halaman 180)
Walau terkesan baik, Mahbub dalam buku ini mengambil sudut pandang lain mengenai UU Pokok Agraria. Mahbub mengulas dampak negatif yang akan timbul akibat adanya Undang-Undang ini. Bapak Sampurno yang seorang tuan tanah dengan ratusan hektarnya tentu akan memutar otak untuk mengamankan seluruh aset tanah yang di miliki. Cara paling efektif yang bisa dilakukan adalah dengan memanipulasi data kepemilikan tanah.
Pak Sampurno dengan berbekal sedikit akal, meramunya dengan kerakusan individu, serta tak henti-hentinya memasang muka manis di depan pemerintahan, sudah bisa mengelabuhi peraturan tersebut. Ia membagikan tanahnya kepada saudara, sanak famili, dan handai taulan dengan tidak cuma-cuma tentunya.
Ada harga yang harus dibayar dibalik kebaikan pak Sampurno, dalam hal ini tentu bukan uang. Disini Mahbub berusaha mengajak pemerintah khususnya, dan seluruh pembaca umunya, untuk bersama-sama memahami berbagai manipulasi yang kemungkinan akan timbul dalam proses penerapan UU Pokok Agraria nantinya.
Di halaman 190, ada satu tulisan menarik dengan sub-judul “Bisnis Kuburan”. Mengulas satu fenomena kemasyarakatan yang jarang tersentuh, bisnis pemerintah terhadap kuburan dengan alibi pajak.
Pajak dalam satu sistem pemerintahan yang ada merupakan suatu hal yang penting. Pajak sebagai fungsi anggaran juga merupakan sumber dana yang manfaatnya kembali kepada masyarakat. Namun, pengadaan pajak dalam sistem pemerintahan, baik lokal maupun nasional seharusnya mempertimbangkan banyak hal. Tidak semena mena dalam menentukan pajak.
Kurang tepatnya pemerintah dalam menentukan kebijakan perihal pajak kerap kali menimbulkan kegelisahan di masyarakat. Penerapan pajak kuburan yang diterapkan oleh Pemerintah Jakarta merupakan salah satu contohnya. Masyarakat dipaksa membayar lahan kuburan yang di tempati dengan nominal berbeda sesuai kenyamanan lokasi kuburan.
Lewat SK No. 64 tanun 1977, pemerintah Jakarta menaikkan nominal pembayaran pajak dengan nominal yang variatif. Hal ini disinyalir memberatkan masyarakat yang notabene tidak memiliki dana lebih untuk sekedar membayar pajak atas lahan kuburan.
Diakhir tulisan tersebut, Mahbub menulis “Awam megnharap betul Pemerintah Daerah sedikit sopanlah terhadap beliau yang sudah tiada, yang tiada kuasa lagi mengeluh atau protes, yang ingin tenteram menunggu hari kiamat. Masih kurangkah rupanya pungutan ketika orang-orang itu masih hidup ? Bisnis-bisnis lain masih cukup banyak,lho.”
Buku ini secara garis besar menggambarkan pada pembaca bagaimana kita ikut andil dan peka terhadap realitas politik dan sosial yang ada. Kita di hadapkan pada realitas sosial yang dibaca lewat sudut pandang yang unik dan menarik.
Pembaca diajak untuk menyelami berbagai dinamika politik, sosial, dan masyarakat lewat kritik khas atas kebijakan-kebijakan masa lalu. Tidak hanya itu, kumpulan kolom Mahbub ini juga memberikan kepada kita sedikit banyak pisau analisa kritis dengan berbagai kejadian yang ada di sekitar kita.
Di sisi lain, ada beberapa tulisan Mahbub pada buku ini yang cenderung menggunakan kacamata Geo-politik Dunia, sehingga terkadang hanya bisa dipahami oleh orang yang benar benar memahami Geo-Politik Dunia. Masyarakat awam macam penulis dalam hal ini hanya bisa mengambil sedikit intisari dari tulisan-tulisan tersebut.
Namun secara umum, buku ini merupakan buku yang sangat menarik dan layak dibaca oleh banyak kalangan, mulai dari mahasiswa, para pengamat politik sampai pekerja sosial.
*Tulisan ini pernah diterbitkan di Minerva.id
Penulis : H. Mahbub Djunaidi
Penerbit : IRCiSoD
Tahun Terbit : 2018
Halaman : 336 Halaman
Resensator : Nanang Bagus Zuliadi
“Jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia”
(Mahbub Djunaidi)
Goenawan Muhammad pernah mengatakan bahwa ia cemburu dengan Mahbub Djunaidi, terkhusus pada gaya penulisannya. Mahbub dinilai mampu menggerakkan kata-kata, kalimat-kalimat dalam berbagai perumpamaan yang tak pernah membosankan dan selalu tak terduga. Gaya penulisan Mahbub yang syarat akan satire dalam melihat dan mengkritisi suatu kondisi disetarakannya dengan kecakapan seorang tokoh pantomim dunia, Marcel Marceau.
Mahbub Djunaidi adalah salah satu tokoh fenomenal pada zamannya. Ia merupakan penulis yang handal dalam berbagai bidang. Namun kecenderungannya dalam melihat sesuatu dengan kacamata politik tidak dapat di tampik adanya, hal itu dapat di lihat dalam berbagai tulisan Mahbub di dalam berbagai karyanya. Dalam salah satu essay nya ia pernah menulis “Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ihwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa di pikul”.
Salah satu tulisan Mahbub yang menarik adalah Kolom Demi Kolom. Buku terbitan IRCiSoD ini merupakan satu dari sekian banyak tulisan Mahbub yang di abadikan. Buku ini merupakan kumpulan Kolom Mahbub di Koran Tempo mulai dari tahun 1971 sampai dengan tahun 1985. Dalam buku ini Mahbub bercerita dan menggambarkan berbagai isu sosial politik kemasyarakatan dengan gaya bahasa satire yang khas dan di sajikan dengan sub-judul yang berbeda-beda.
Sebagai seorang penulis yang juga merangkap seorang politikus, Mahbub termasuk politikus yang sangat peka terhadap realitas yang berkembang di masyarakat. Ia selalu update dalam setiap kebijakan politik negara, dinamika sosial kemasyarakatan, serta perkembangan kebudayaan di sekitarnya. Mahbub selalu bisa memberikan perumpamaan dan penjelasan kejadian yang secara umum sulit dipahami oleh masyarakat awam.
Perihal UU Pokok Agraria yang lahir pada tanggal 24 September 1960 dapat menjadi contohnya. Ketika banyak orang melihatnya sebagai suatu usaha penghapusan hak-hak asing atas tanah, ketika sebagian orang melihatnya sebagai usaha penghapusan feodalisme, Mahbub melihatnya dari kacamata yang lain.
Ia melihat persoalan ini dari kacamata arus bawah. Dalam buku ini Mahbub mengambil satu tokoh permisalan, yaitu Bapak Sampurno, seorang tuan tanah yang memiliki ratusan hektar tanah, yang sudah barang tentu akan dilanda kebimbangan mendengar peraturan ini, dimana UU hanya membatasi kepemilikan tanah sebanyak 5 hektar (Tuan “Tanah Pancasilais”:halaman 180)
Walau terkesan baik, Mahbub dalam buku ini mengambil sudut pandang lain mengenai UU Pokok Agraria. Mahbub mengulas dampak negatif yang akan timbul akibat adanya Undang-Undang ini. Bapak Sampurno yang seorang tuan tanah dengan ratusan hektarnya tentu akan memutar otak untuk mengamankan seluruh aset tanah yang di miliki. Cara paling efektif yang bisa dilakukan adalah dengan memanipulasi data kepemilikan tanah.
Pak Sampurno dengan berbekal sedikit akal, meramunya dengan kerakusan individu, serta tak henti-hentinya memasang muka manis di depan pemerintahan, sudah bisa mengelabuhi peraturan tersebut. Ia membagikan tanahnya kepada saudara, sanak famili, dan handai taulan dengan tidak cuma-cuma tentunya.
Ada harga yang harus dibayar dibalik kebaikan pak Sampurno, dalam hal ini tentu bukan uang. Disini Mahbub berusaha mengajak pemerintah khususnya, dan seluruh pembaca umunya, untuk bersama-sama memahami berbagai manipulasi yang kemungkinan akan timbul dalam proses penerapan UU Pokok Agraria nantinya.
Di halaman 190, ada satu tulisan menarik dengan sub-judul “Bisnis Kuburan”. Mengulas satu fenomena kemasyarakatan yang jarang tersentuh, bisnis pemerintah terhadap kuburan dengan alibi pajak.
Pajak dalam satu sistem pemerintahan yang ada merupakan suatu hal yang penting. Pajak sebagai fungsi anggaran juga merupakan sumber dana yang manfaatnya kembali kepada masyarakat. Namun, pengadaan pajak dalam sistem pemerintahan, baik lokal maupun nasional seharusnya mempertimbangkan banyak hal. Tidak semena mena dalam menentukan pajak.
Kurang tepatnya pemerintah dalam menentukan kebijakan perihal pajak kerap kali menimbulkan kegelisahan di masyarakat. Penerapan pajak kuburan yang diterapkan oleh Pemerintah Jakarta merupakan salah satu contohnya. Masyarakat dipaksa membayar lahan kuburan yang di tempati dengan nominal berbeda sesuai kenyamanan lokasi kuburan.
Lewat SK No. 64 tanun 1977, pemerintah Jakarta menaikkan nominal pembayaran pajak dengan nominal yang variatif. Hal ini disinyalir memberatkan masyarakat yang notabene tidak memiliki dana lebih untuk sekedar membayar pajak atas lahan kuburan.
Diakhir tulisan tersebut, Mahbub menulis “Awam megnharap betul Pemerintah Daerah sedikit sopanlah terhadap beliau yang sudah tiada, yang tiada kuasa lagi mengeluh atau protes, yang ingin tenteram menunggu hari kiamat. Masih kurangkah rupanya pungutan ketika orang-orang itu masih hidup ? Bisnis-bisnis lain masih cukup banyak,lho.”
Buku ini secara garis besar menggambarkan pada pembaca bagaimana kita ikut andil dan peka terhadap realitas politik dan sosial yang ada. Kita di hadapkan pada realitas sosial yang dibaca lewat sudut pandang yang unik dan menarik.
Pembaca diajak untuk menyelami berbagai dinamika politik, sosial, dan masyarakat lewat kritik khas atas kebijakan-kebijakan masa lalu. Tidak hanya itu, kumpulan kolom Mahbub ini juga memberikan kepada kita sedikit banyak pisau analisa kritis dengan berbagai kejadian yang ada di sekitar kita.
Di sisi lain, ada beberapa tulisan Mahbub pada buku ini yang cenderung menggunakan kacamata Geo-politik Dunia, sehingga terkadang hanya bisa dipahami oleh orang yang benar benar memahami Geo-Politik Dunia. Masyarakat awam macam penulis dalam hal ini hanya bisa mengambil sedikit intisari dari tulisan-tulisan tersebut.
Namun secara umum, buku ini merupakan buku yang sangat menarik dan layak dibaca oleh banyak kalangan, mulai dari mahasiswa, para pengamat politik sampai pekerja sosial.
*Tulisan ini pernah diterbitkan di Minerva.id