sumber : http://dryp.modkraft.dk |
Berubahnya gaya hidup manusia dari Nomaden menjadi gaya hidup bertani dan berternak turut mengubah corak produksi masyarakat. Dalam tipe masyarakat Nomaden sekaligus tipe awal cara hidup manusia, seluruh kegiatan produksi dijalankan bersama. Semua turut bekerja tanpa ada atasan maupun bawahan. Tidak ada kepemilikan pribadi atas suatu barang maupun hasil produksi. Cara produksi ini bertahan kurang lebih 99% umur manusia sejak awal kehidupannya di bumi.
Semua berubah ketika manusia mulai mengenal sistem pertanian dan ditemukannya alat bajak. Kita tidak ingin memungkiri efisiensi dan manfaat dari penemuan ini, tetapi hal ini bagaimanapun juga telah melahirkan inisiatif diluar nalar manusia sebelumnya; kepemilikan pribadi. Pada tahap selanjutnya para pemilik akan terus mengakumulasikan kepunyaan pribadi, disisi lain mulai muncul golongan tak bermilik yang terpukul. Embrio strata kelas telah lahir.
Kepentingan untuk menjaga kepemilikan yang telah mereka dapatkan timbul segera setelahnya. Kebijakan produksi mulai dikendalikan segelintir manusia. Norma-norma religius disebarkan demi melegitimasi adanya kasta budak maupun brahmana. Produk-produk hukum mulai bermunculan demi mengubah nalar dan ide manusia. ‘Penegak Hukum’ menjadi hal yang sangat dibutuhkan demi keamanan aset. Tugasnya yang ‘sebetulnya’ sederhana, melindungi kelas bermilik, memukul pembangkang dan memenjarakan pencuri. Semuanya demi keberlangsungan keadilan, entah keadilan mana yang dimaksud.
Manusia mulai mengenal mesin uap sekitar abad 15 yang kemudian disempurnakan James Watt (1781) dengan gagasan mengubah arus bolak-balik menjadi arus memutar guna memaksimalkan manfaat dan meminimalisir resiko kerusakan mesin uap. Penemuan ini sangat penting demi kepentingan proses produksi yang disebut Marx sebagai “Corak Produksi Kapitalis”. Ia mempunyai logika yang sama dimana dan kapanpun ia berada; menekan biaya produksi seminimal mungkin demi keuntungan sebesar mungkin. Mesin uap mampu memberikannya.
Sementara kita singkirkan sinisme terhadap Kapitalisme. Kapitalisme dengan tuntutan revolusinernya telah membawa manusia kepada efisiensi kerja. Ia membawa kita pada kenyataan bahwa manusia sekarang (sebetulnya) telah mampu menciptakan makanan dan kebutuhan lebih banyak dari jumlahnya sendiri. Ia dengan segala sifatnya telah membawa manusia pada sebuah kemajuan teknologi dan alat produksi. Bilamana hal itu benar maka, sebetulnya (dan seharusnya) tidak ada lagi manusia yang mati menahan lapar. Tetapi mengapa kenyataan berbanding terbalik?
Inti dari segala malapetakan ini adalah ketika alat produksi tersebut dikuasai oleh segelintir manusia. Merekalah penentu kebijakan produksi, mereka yang mengatur berapa banyak produk yang akan dihasilkan, kepada siapa dan bagaimana produk tersebut diberikan. Menghisap setiap nilai lebih yang dihasilkan. Ya, dalam sistem Kapitalisme tidak ada urgensi untuk memberi makan gelandangan di kolong jembatan kota, karena laba dan kebutuhan pasar yang menjadi Tuhan dalam sistem ini.
Berabad-abad sistem ini telah menjebak manusia dalam kebuasannya, lebih buas dari serigala yang lapar. Tidak hanya kepada para pekerjanya namun juga sesama kapitalis. Apa yang telah mereka dapat seolah tak pernah cukup. Logika kapitalisme menuntut hambanya untuk terus mengakumulasikan modal sehingga kebudayaan ekspansi luar daerah oleh suatu perusahaan adalah hal lumrah. Perusahaan Transnasional bermunculan menyasar semua sektor perekonomian lokal dengan gema ilusi ‘Globalisasi’.
Mereka (kapitalis) bos pemilik kedai jus dengan polos dan sedikit berbaik hati mengatakan “Cukup segini saja sudah cukup, Syukur Alhamdulillah”, pada masanya mereka akan dilindas Coca-Cola dan Starbuck. Terdengar seperti menakut-nakuti bukan?
Lihatlah bagaimana ‘para penentu kebijakan’ terus memformulasikan peraturan untuk mempersilahkan (bahkan mengundang) mereka untuk datang. Dengan segala gembar-gembor bahwa tanpa investasi (katanya) sebuah negara akan terpuruk dan hancur. Kondisi yang sangat aneh bila kita sombong mengatakan ingin menciptakan sebuah masyarakat berdikari.
Kapitalisme telah bercokol begitu lamanya, berubah dan berevolusi setiap harinya. Ia mampu menyesuaikan diri bak serigala berselimutkan bulu domba. Kerja nyata untuk melawan demi menciptakan masyarakat madani harus kembali kita pelajari dan kita telaah demi mengidentifikasi situasi dan lawan, merencanakan gerakan taktis tanpa mengurangi tuntutan sama sekali.
Aku punya Sosialisme, kamu mau?
(Ditulis oleh : Iksan Maulana, Anggota PMII Rayon Ushuluddin UIN Walisongo Semarang)