Kita tahu bersama bahwa peristiwa 10 November 1945 di
Surabaya merupakan peristiwa berdarah yang begitu sakral dan tak kan mungkin
untuk di lupakan. Hingga saat ini diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
73 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 10 November 1945
terjadi satu peristiwa pertempuran di Surabaya. Peristiwa yang merupakan satu
dari sekian banyak kisah besar perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan
kemerdekaan.
Pertempuran tersebut dipicu oleh tewasnya Brigadir Jenderal
Mallaby dalam pertempuran di Surabaya, Jawa Timur. Dalam pertempuran itu,
Mallaby tewas terpanggang di dalam mobil yang ditumpanginya setelah diduga
terkena ledakan granat tepat saat dirinya melintas di Depan Gedung Internatio.
Atas kematian Malabby, Komandan Angkatan Perang Inggris di
Indonesia Jenderal Christison mengancam akan menuntut balas kepada para pejuang
Indonesia di Surabaya. Ancaman Christison tak membuat pejuang Indonesia gentar.
Pucuk pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) Sutomo atau biasa
dipanggil Bung Tomo bahkan menyerukan perlawanan terhadap ancaman Christison
tersebut.
Dengan tewasnya Mallaby, Bung Tomo khawatir pihak Belanda
akan memanfaatkan kemarahan Inggris untuk mencaplok kawasan Surabaya, seperti
Jepang menguasai Mansuria saat perang melawan China.
Kekhawatiran itu pun terbukti benar. Pihak Belanda melalui
Inggris, mengultimatum pemerintah Indonesia yang baru terbentuk, untuk
melakukan gencatan senjata. Dalam selebaran yang disebar melalui udara,
Komandan Angkatan Perang Inggris di Jawa Timur Mayor Jenderal Mansergh meminta
seluruh pimpinan Indonesia, pemuda, polisi dan kepala radio Surabaya,
menyerahkan diri ke Bataviaweg atau Jalan Batavia, pada 9 November 1945.
Tak ayal, hal itu memancing kemarahan para pejuang kala itu.
Mereka menganggap permintaan musuh sebagai sebuah penghinaan. Dengan cepat,
BPRI memberikan pelatihan kilat perang gerilya. Terutama tentang tata cara
penggunaan senjata hasil rampasan pasukan Nippon. Dari pelatihan itulah
terbentuk barisan yang dikenal sebagai "pasukan berani mati".
Pejuang dari berbagai daerah turun. Tak hanya masyarakat
Surabaya, namun juga masyarakat dari Maluku, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi
hingga Bali. Selain itu, para kiai, ulama, santri serta para muda-mudi turut
terjun ke medan perang.
Di tengah situasi genting itu, Gubernur Jawa Timur kala itu,
Suryo, sempat berpidato melalui radio, meminta rakyat Indonesia bersabar
menunggu keputusan dari pemerintah pusat di Jakarta. Namun, pemerintah pusat
justru menyerahkan pengambilan keputusan pada pemerintah daerah dan rakyat.
Akhirnya, Gubernur Suryo kembali berpidato dan meminta rakyat mempertahankan
kemerdekaan yang baru diproklamirkan.
Hingga 10 November 1945 pagi, rakyat masih menunggu, hingga
sebuah laporan yang disampaikan seorang pemuda masuk ke dalam telinga. Laporan
itu menyatakan adanya penembakan yang dilakukan tentara Inggris. Pertempuran
hebat pun terjadi. Segenap rakyat larut dalam perjuangan. Tidak ada perbedaan
golongan, tingkatan, agama apalagi pandangan politik. Mereka bersatu, bahu
membahu mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang terancam.
Dari sejarah itulah kita dapat mengambil hikmah yang
terkandung dalam peristiwa tersebut. Yang pertama kita tunjukan bahwa kita
memang ingin merdeka dan bebas dari penjajahan manapun. Merdeka atau Mati!!!
Sebagaimana perkataan Bung Tomo, bahwa kita ini harus berjuang untuk merdeka.
Yang kedua, kita harus bersungguh sungguh berjuang pantang
menyerah dalam menumpas penjajahan di atas bangsa kita. Kita harus bebas dari
penjajahan apapun dalam bangsa kita. Menjaga bangsa demi Negara Kesatuaan
Republik Indonesia.
Yang ketiga, kita harus bersatu. Karena kita satu bangsa,
tak memandang budaya, ras, dan Agama. Karena kita satu kesatuan yang tak bisa
dipisahkan. Karena Kita Indonesia. Kita Bineka Tunggal Ika.
Semoga kita dapat mencontoh apa-apa yang telah diperjuangkan
oleh para pahlawan, pejuang, dan nenek moyang kita terdahulu. Dan untuk
selanjutnya semoga kita diberi kekuatan untuk terus menjaga kedaulatan Negara
kita tercinta. Amin[Aziz]