“mereka itu ndak ngerti cara beragama, masa bendera tauhid
dibakar” pekikan pak kumis pedagang angkringan di tengah riuh hujan malam kamis
kemarin. Seperti biasa mengawali dengan senda gurau dan tanpa sengaja membahas
masalah yang lagi viral di jagad media.
Tak biasanya pak kumis bicara seperti itu, mungkin dia sudah
mulai melek media yang mainstream dengan segudang sensasinya. Belum lagi pembicaraan yang berubah ubah
mulai dari pernyataan capres yang saling serang
sampai drama nenek harumpaet .
Yah begitulah kondisi masyarakat sekarang di tahun politik
ini. semua seolah seperti seorang pakar,
setiap kepala berhak mengemukakan berbagai argument yang lagi lagi media
mainstream sebagai pemantiknya.
Nampaknya memang perihal wacana sekarang sudah menjadi
konsumsi di berbagai kalangan baik tua atau muda, miskin atau kaya, kaum
intelektual atau masyarakat biasa sudah
tidak bisa dibedakan diantaranya.
Berbeda dengan kondisi di luar negeri yang masih sibuk
dengan pekerjaan rumahnya, mengembangkan
teknologi, dan bersaing di bidang ekonomi. Masyarakat Indonesia masih saja
sibuk saling adu argument yang acap kali berganti setiap menjadi trending
topik. Hal ini adalah salah satu dampak
lambatnya kemajuan berfikir masyarakat. Sampai kapan masyarakat
Indonesia akan seperti ini ? atau ada yang menyeting semuanya sehingga maksud
dan tujuan mereka sudah sampai pada hasilnya? Aaa…. sudahlah…….
Media sebagai sumber mencibir dan nyiyir
Perhelatan pemilu sebentar lagi. kedua kubu saling serang
dan topic media mainstream selalu menggoreng isu isu. Semua berita secara langsung menjadi buah
bibir di masyarakat. bisa dalam bentuk cibiran
saling hasut dan bahkan berdebat. Bukan
hanya dalam ranah pemberitaan di jejaring sosial media namun warung angkringan
pak kumis pun tak luput dari hal tersebut.
Masyarakat di buat heboh dengan berbagai berita yang
disampaikan dan tanpa berfikir 2 kali untuk menelitinya atau mencoba
bertabayyun dengannya. Di tambah dengan program pertelevisian yang mendatangkan
berbagai narasumber yang saling adu argument dengan ciri khas kentara nuansa
politis di banding dengan mencari
problem solving di antara keduanya. Mereka yang sok intelektualis pun sedikit
banyak berkomentar bahkan sampai ranah masyarakat paling bawah.
Hal tersebut juga pastinya tidak bisa dilepas dengan
berkembangnya teknologi informasi yang tanpa batas. Budaya konsumtif
konservatif masyarakat menambah hiruk pikuk semakin kacau pencernaan program
media yang lebih mengedepankan rating
ketimbang isi konten yang disampaikan.
“Ini mas es teh nya” celetuk pak kumis membangunkan lamunan
penulis di angkringan tersebut
Pada akhirnya penulis teringat dengan lirik puisi yang tidak
sengaja ia temukan di status wa temannya kurang lebihnya seperti ini
Pada akhirnya eksistensi tuhan dilupakan
Kalah pamor dengan berhala sosial media
Kebenaran semakin di sanksikan
Muka berdosa tak nampak karna di edit dengan aplikasi.
[Habib]