"Hari siang bukan karena ayam berkokok, akan tetapi ayam berkokok karena hari mulai siang. Begitu juga dengan pergerakan rakyat. Pergerakan rakyat timbul bukan karena pemimpin bersuara, tetapi pemimpin bersuara karena ada pergerakan"
~Moh Hatta.~
~Moh Hatta.~
Pergerakan nasional lahir atas penderitaan rakyat Indonesia. Bangsa miskin atas kekayaan negaranya, dalam berbagai bidang. Mereka terbelakang pendidikannya, mereka miskin ekonominya, mereka diam dalam berpolitiknya. Pendidikan tertinggal karena sebagian besar rakyat buta huruf, jumlah sekolah sedikit dari jumlah penduduk, adanya sistem kasta dalam mengenyam pendidikan di sekolah.
Rakyat biasa hanya bisa memasuki sekolah 'rendah'. Murid-muridnya pun hanya diajarkan hal mendasar saja seperti membaca, menulis, dan berhitung, setelah tamat mereka hanya diangkat menjadi pegawai rendah dengan upah yang sangat sedikit. Belum lagi ekonomi yang dikuasai bangsa asing dan pelaksanaan politik etis.
Pendidikan saat itu memiliki sistem pendidikan barat. Sistem di mana hanya boleh diikuti anak-anak bangsawan dan priayi. Rakyat tidak mempunyai tempat untuk mengadu. Penguasa-pengusa sudah tidak berkuasa dengan semestinya. Raja-raja dan bupati dikendalikan oleh Belanda. Bahkan, banyak di antaranya dijadikan pemuas ketertindasan rakyat. Dalam keadaan kala itu, golongan pelajar tampil ke muka. Mereka yaitu para pemuda yang mendapat pendidikan di Barat. Mereka mempelopori dan memimpin pergerakan nasional, serta memperjuangkan Indonesia dalam bidang politik, ekonomi, maupun pendidikan.
Siklus atau putaran waktu dalam rangkaian kejadian masa penjajahan mempunyai makna tersendiri. Beberapa yaitu siklus estetika--keindahan dan kesungguhan memperjuangkan bangsa. Estetika sendiri memeliki arti sebagai kepekaan terhadap seni dan keindahan. Seni pergerakan melahirkan pejuang-pejuang tak pantang menyerah. Satu persatu menempatkan dirinya sebagai pionir perjuangan. Ikatan persatuan dan kesatuan mengusir penjajah membuat mereka berjuang untuk Indonesia.
Tujuan pergerakan dan perjuangan itu hanya satu, mencapai kemerdekaan bangsa dan tanah air. Berbagai peristiwa-peristiwa penting dalam negeri mempengaruhi pergerakan nasional. Peristiwa itu antara lain kemenangan Jepang dalam perang melawan Rusia pada tahun 1905, Jepang bangsa Asia sedangkan Rusia bangsa Eropa(Barat). Revolusi Cina, gerakan nasional India dan Filipina.
Banyak faktor mempengaruhi pergerakan nasional. Salah satunya adalah menikmati kebesaran layaknya kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Indonesia sebagai negara telah mengalami zaman nasional pada masa kerajaan yaitu kebesaran Majapahit dan Sriwijaya. Kedua kerajaan tersebut memainkan peran sebagai negara nasional yang hampir meliputi seluruh nusantara. Kebesaran inilah membuat golongan terpelajar menggugah nasionalisme pada dekade awal. Tak hanya itu, rakyat yang telah lama menderita akibat penjajahan dan beberapa pengaruh pendidikan Islam. Pendidikan Islam di Indonesia yang melahirkan pejuang muslim, banyak dari mereka menjadi penggerak dan tulang punggung perjuangan kemerdekaan.
Berkaca Pada Masa Lalu
Semangat membara untuk memperjuangkan Indonesia diraskan oleh seluruh rakyat. Anak-anak muda hingga orang-orang tua bersatu padu membebaskan diri, segala penindasan layaknya hujan yang luruh deras namun akan berhenti. Kemerdekaan dilalui dengan cucuran perjuangan dan usaha berkorban jiwa raga. Beberapa organisasi didirikan untuk menunjang pemuda-pemuda yang terdidik agar senantiasa menjalin diskusi dan belajar memimpin.
Tidak semua organisasi pada zaman penjajahan berjalan mulus, Indische Partij (IP) misalnya. IP yang didirikan oleh tokoh tiga serangkai bertujuan mencapai Indonesia merdeka, karena itu IP dianggap sebagai 'organisai politik' pertama. Pada tanggal 11 Maret 1913 IP dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah Belanda karena dianggap membahayakan kepentingan penjajah dan Belanda merasa malu oleh sindiran Suwardi Suryaningrat yang tertuang dalam tulisan, "Als Ikeens Nederlander Was" yang berarti Andaikan Aku Seorang Belanda. Sejak itu IP akhirnya mundur.
Betapa pun para pejuang Indonesia dipenjara atau dibuang ke luar negeri, mereka selalu menunjukkan pergerakannya. Membaca buku adalah modal untuk bergerak tanpa susah payah, setelah mengetahui segala kondisi, mereka menyusun langkah-langkah pergerakan. Bukankah menyusun strategi membutuhkan pengetahuan yang luas? Bagaimana jika para pejuang bangsa ini malas membaca, menggertak Belanda dengan sekonyong-konyong tanpa label 'rencana'?[Zeyla]