Yang terpenting dalam pengetahuan adalah bagaimana
pengetahuan itu mempunyai sifat ilmiah, rasional, dan objektif sehingga
semuanya bisa dijangkau oleh penelitian yang bersifat empiris dan objektif.
Tidak heran jika konsekuensi logisnya menimbulkan lahirnya ide-ide tentang
pembenaran secara rasional yang justifikasinya hanya ditunjukan kepada sesuatu
hal-hal bergerak seperti materi air, udara, api yang sifatnya itu fisik maupun
materi. Begitupun pengetahuan tentang realitas atau fenomena yang kita saksikan
lewat panca indra mengharuskan selalu terjangkau oleh metode ilmiah yang
bersifat empiris pula. Lalu bagaimana dengan pengetahuan mengenai objek-objek
yang melampui (meta) pengalaman empiris atau indrawi? Mungkinkah masuk kepada bagian pengetahuan
yang bersifat empiris atau objektif? Inilah kira-kira proses berfikir kita yang
harus dibangun sebelum melangkah ke pemahaman tentang metafisika.
Metafisika sebenarnya adalah term yang sangat harfiah dan
multi interpretasi. Oleh karenanya tidak jarang terkadang sering disalah fahami
yang dasarnya metafisika secara historis ada dan mempunyai basis epistimologi
sendiri. Mungkin kita sering mendasarkan kepada pemahaman bahwa metafisika
sebagaimana umumnya difahami dalam dunia pemikiran filsafat, yaitu tentang pengetahuan
yang melampaui (meta) realitas objek (fisik) secara indrawi. Padahal secara
historis metafisika ini adalah ilmu yang berawal dari karya Aristoteles yang
disusun oleh Andronikos tentang fisik atau filsafat alam yang struktur
kajiannya tentang gerak, bentuk, materi, perubahan dan potensialitas. Dari
karya itu kemudian karena ditempatkan setelah kajian fisik atau filsafat alam
maka dinamakan metafisika. Namun seiring perjalanan pemikiran filsafat kemudian
berkembanglah kajian metafisika ini yang sebelumnya hanya gerak, perubahan dan
lain-lain maka beralih kepada studi tentang ada, sebab, akibat kesatuan, dan
lain sebagainya.
Hal ini berbeda dengan pendapat Immanuel Kant salah satu
tokoh filsuf jerman yang paling berpengaruh dalam perjalan filsafat Modern yang
terkadang gagasannya mengenai metafisika sering disalah fahami. Immanuel kant
mempunyai pemahaman yang khas tentang metafisika itu sendiri. Menurut Dr.
Sitorus yang mengutip pemikiran Immanuel Kant mengatakan bahwa metafisika itu
adalah pengetahuan yang bersifat pasti dan objektif tentang struktur-struktur
apriori yang memungkinkan pengetahuan dalam diri manusia itu sendiri. Kalau
penulis tarik konklusinya memang dari sononya, iya selalu ada dalam diri
subjek. Oleh karenanya pengetahuan tentang struktur-struktur apriori itulah
yang disebut Immanuel Kant adalah metafisika itu sendiri. Jadi tidak heran jika
Immanuel Kant sendiri ingin memberikan pendasaran terhadap metafisika untuk
bisa sejajar dengan pengetahuan yang bersifat empiris dan sama dengan pengetahun
lainnya seperti pengetahuan alam, pengetahuan hukum gravitasi dan lai-lain.
Pengetahuan Tentang Tuhan
Berbicara mengenai Tuhan maka kita harus berani berpikir
tentang Tuhan itu sendiri sekalipun terkadang ada tekanan seacara teologis dan
bahkan kemustahilan seacara empiris. Karena dalam proses berpikir bukanlah
usaha pembenaran atau mencapai kebenaran mutlak, akan tetapi usaha
terus-menerus melakukan pengkajian secara kritis sehingga kita mampu dan sejauh
mana kita bisa mempertanggungjawabkan argumentasi tentang Tuhan tersebut secara
rasional.
Pengetahuan tentang tuhan selalu ada daya tarik tersendiri
untuk kita kaji sebab disatu sisi kajian ini tidak pernah lekang oleh waktu dan
perkembangan zaman. Dan di sisi lain juga menjadi wacana konstruktif bagi semua
kalangan, terutama bagi mereka yang tidak percaya Tuhan karena tidak empiris.
Mengapa demikian? Karena peroblematika bagi mereka tentang Tuhan bukanlah
wilayah empiris yang bersifat ilmiah, objektif dan rasional melainkan mustahil,
anggapan inilah yang menarik perhatian untuk kita kaji.
Tidak jarang kita menemukan literatur bahwa dalam memahami
dan mengetahui Tuhan harus dengan pengetahuan, kesimpulannya karena dengan
pengetahuan kita dapat membongkar kebuntuan berpikir kita untuk sampai pencapaian
yang objektif, namun pernahkah kita berfikir dengan bertolak dari literatur
diatas untuk mencari pendasaran filosofis tentang pengetahuan akan Tuhan? Apa
pendasaran filosofisnya yaitu apakah kita punya akses pengetahuan tentang
Tuhan? Argumentasi diatas masih bisa diperdebatkan, dengan apa yaitu dengan
kekuatan berani berfikir kritis. Apakah cukup dengan bermodal berani berfikir
kritis? Tentu tidak, karena dalam berfikirpun kita memiliki keterbatasan.
Pengetahuan tentang Tuhan tidak akan pernah final untuk
menemukan argumentasi yang logis karena menurut Immanuel kant akal kita hanya
mampu mengetahui femomena-fenomena Empiris. Begitupun dengan pendapat Dr.
sitorus bahwa pengetahuan itu sendiri mempunyai sifat Empiris dan objektif.
Oleh karenanya mendudukkan pengetahuan tentang Tuhan akan berujung pada
pemahaman yang nihil jika kita belum mempunyai argumentasi yang cukup tentang
pengetahuan akan Tuhan. Kemudian pertanyaan selanjutnya apa argumentasi
solutifnya terkait akan keyakinan bahwa Tuhan bukan wilayah pengetahuan?
Penulis sangat sepakat dengan apa yang dikatakan Oleh Immanuel Kant bahwa Tuhan
itu bukan wilayah pengetahuan akan tetapi wilayah iman. Karena dengan imanlah
kita mampu dan cukup kuat dalam memahami Tuhan.
Ditulis oleh : Sareadi, Ketua Biro Kajian dan Wacana Masa Juang 2018/2019, Balapikir KSMW angkatan 2016