Euforia Hari Santri Nasional (HSN) 2018 begitu terasa di
tengah masyarakat, utamanya di kalangan santri itu sendiri. Semenjak disahkan
oleh Presiden Jokowi pada 2015 silam, hari santri semakin menunjukkan
eksistensinya sebagai salah satu hari yang sakral nan bersejarah bagi muslim
Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan berbagai acara dan refleksi yang
dilakukan oleh kaum muslim Indonesia di berbagai wilayah guna menghormati Hari
Santri Nasional.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Ushuluddin
Komisariat UIN Walisongo Semarang, sebagai salah satu organ yang merupakan
bagian dari santri Indonesia (baca tulisan sebelumya;Mahasantri PMII) juga ikut
andil dalam menghormat agenda besar santri ini. PMII Rayon Ushuluddin
mengadakan acara Istighosah dan Dzibaan pada (25/10) sebagai refleksi
perjuangan santri dalam andilnya mempertahanakan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Acara bertajuk refleksi hari santri itu dimulai pada
pukul 20.00 WIB di Aula Pramuka
Kecamatan Ngaliyan, diikuti oleh lebih kurang 60 kader dan anggota PMII Rashul.
Acara tersebut diawali dengan pembacaan Maulid Simtut Duror yang dipimpin oleh
grup rebana dari sahabat-sahabat PMII 2018. Setelah itu acara dilanjutkan dengan
Istighosah bersama yang dipimpin oleh sahabat Muhammad Taufiq, S.Th.I dari IKA
PMII. Diakhir acara, PMII Rashul coba menyuguhkan dialektika dan refleksi
bersama lewat diskusi peran santri di Negeri ini.
Diskusi mengalir dengan penyampaian kesan pesan nyantri oleh
beberapa senior PMII Rashul. Sahabat Munir selaku pembicara pertama mengatakan
“santri yang sebenarnya adalah santri yang mampu mengamalkan dzikir, fikir, dan
amal sholeh dengan baik”. Beliau juga menekankan bahwa santri juga harus mampu menghadapi
tantangan zaman.
Pemateri kedua-Sahabat Umam pada penyampaiannya lebih
menekankan kebanggan menjadi santri. “Jangan minder jadi santri, santri itu
jos. Santri itu serba bisa” tandas beliau diakhir penyampaiannya. Disambung
oleh sahabat Badrudin selaku pemateri ketiga, beliau menyampaikan pentingnya
santri memahami isu yang ada dengan daya kritis, tidak memahami sesuatu secara
leterlek.
Penutup diskusi tersebut adalah penyampaian materi oleh
sahabat Muhammad Taufiq, S.Th.I dari
IKA PMII. Diawal penyampaiannya beliau
mengemukakan mengapa harus ada hari santri ?. Menilik sejarahnya, para Ulama
dan Kyai lah yang mempelopori adanya hari santri. Para Kyai dan Ulama melihat
adanya krisis kepercayaan/krisis identitas di tengah kaum sarungan. Hal itu
juga lah yang menjadi alasan mengapa Gus Dur begitu menggaungkan untuk
menasionalkan hari santri.
Identitas seorang santri harus terus dipupuk, jangan sampai
luntur. Karna Kyai dan Ulama sangat
yakin bahwa sosok yang paling tepat memimpin Negeri ini adalah sosok santri.
Mengapa harus santri ? Sahabat Taufiq menjelaskan karena santri akarnya kuat.
Ibarat pohon, jika akarnya kuat maka batang akan tumbuh kokoh, dan ranting akan
menjulur keatas dengan leluasanya.
Santri di didik dalam kehidupan yang serba pas-pasan, santri
juga di didik dengan gemblengan yang begitu rupa. Sholat berjamaah yang menjadi
rutinitas, dzikir dan sholat malam yang menjadi keharusan, serta ngaji yang
tidak boleh ditinggalkan adalah bentuk penanaman akar yang kuat dalam tubuh
santri. Agar kelak ketika terjun ke masyarakat santri tidak lagi kaget dan
tinggal menyesuaikan dengan lingkungan yang ada.
Kelebihan lain yang dimiliki oleh santri adalah Riyadhoh
(tirakat), melatih batin. Puasa senin-kamis, puasa daud, puasa pati geni,
amalan sholat malam, amalan hizb dan berbagai amalan lain merupakan hal yang
sangat akrab dengan santri. Dengan bekal kemampuan spiritual yang matang
sebagai pondasi kepemimpinan, maka tidak salah jika Kyai dan Ulama berharap
besar kepada santri untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan Negeri ini.
“Jika sampeyan belum bisa punya akar yang kuat, belum mampu
tirakat, belum mampu istiqomah menjadi santri ya balik mondok lagi aja, karna
santri itu memang harus punya akar yang kuat” tukas sahabat Taufiq di akhir
penyampaiannya.[Nanang]