Bagi dunia jurnalistik di era kemerdekaan, nama Mahbub
Djunaidi bukan lagi nama yang asing. Kepiawaiannya dalam mengolah kata
membuatnya disegani oleh kawan maupun “lawan”. Lewat tangan dinginnya kritik
menjadi mudah diterima, persoalan rumit menjadi mudah dicerna, bahkan kondisi
pelik menjadi tampak bersahaja.
Pria kelahiran Kebon Raya 22 Juli 1933 itu mengawali karier
kepenulisannya pada saat mengenyam pendidikan di SMA Budi Utomo, kendati
demikian ia sudah rajin menulis sedari SMP. Di SMA Budi Utomo Mahbub menjadi
inisiator dibalik lahirnya Majalah siswa kala itu, ia juga menjadi Pimpinan
Redaksi pertamanya. Sejak itu, menulis menjadi sebuah kebutuhan batin yang
harus dipenuhinya. Tulisannya pun kerapkali menghiasi majalah bergengsi pada
masa itu, seperti Siasat (puisi), Mimbar Indonesia (esai), Cinta (cerpen).
Kecintaan Mahbub terhadap junalistik terus berlanjut hingga
Mahbub tumbuh dewasa. Karier Jurnalistik profesionalnya bermula pada tahun 1958
ketika ia mulai menjadi bagian dari koran Duta Masyarakat. Jam terbang
penulisan Mahbub semakin tinggi ketika ia diberi amanah sebagai pimpinan
redaksi koran naungan partai NU tersebut. Sebagai wartawan, Mahbub juga
tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pada tahun 1965 ia ditunjuk
sebagai Ketua Umum PWI.
Basic dunia Mahbub adalah dunia literasi, tulisan-tulisan
dan karyanya menyebar luas dan dibaca seantero negeri. Empat tahun pasca amanah
sebagai Ketua PWI, Mahbub memenangkan sayembara mengarang roman yang
diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Roman inilah yangdi kemudian hari
dikenal dengan judul Hari ke Hari. Karya lain Mahbub adalah kumpulaan artikel
yang dikenal dengan judul Kolom Demi Kolom. Tahun 1985 ia juga melahirkan
sebuah karya yang berjudul Angin Musim.
Sekilas bisa ditebak bahwa kesukaan paling dasar Mahbub
adalah dunia penulisan dan jurnalistik, namun siapa sangka jika sebenarnya
Mahbub lebih menyukai sastra daripada dunia jurnalistik. Mahbub menyukai
sastra-sastra asal Rusia. Ia menilai
sastra Rusia syarat akan kritik pedas nan tajam yang dibungkus dengan satire
rapi. Kesukaannya dengan sastra Rusia secara tidak langsung berpengaruh pada
gaya tulisannya. Mahbub adalah orang yang unik, ia selalu bisa membuat satire
dalam setiap kritiknya. Guyonan dan bahasa santai menjadi andalan Mahbub jika
sedang bermain satire. Peliknya persoalan disikapinya dengan humor santai yang
tidak menghilangkan substansi.
Selain dikenal sebagai penulis, pengagum serta teman diskusi
Bung Karno ini juga ditokohkan dalam pergulatan aktivis gerakan pemuda
(mahasiswa). Ketidakadilan, penindasan, irasionalitas, dan feodalisme adalah
sederet musuh besar Mahbub dalam perjalanan gerakannya.
Mahbub adalah sosok yang keras dan tegas dalam menyikapi
feodalisme dan penindasan di tengah bangsanya. Propaganda dan agitasinya banyak
diserap aktivis pergerakan kala itu. Pergerakannya tersebut berujung pada
penangkapannya oleh pemerintah orde baru pada tahun 1978 dengan tuduhan
subversif. Ia diasingkan di penjara politik Nirbaya bersama salah serorang
pejuang nasional dari surabaya, Bung tomo. Karena menulis seolah sudah menjadi
urat nadinya, bahkan di penjara pun ia sempat menerjemahkan satu buku karya
wartawan Mesir Hassanain Haekal, yang berjudul Road to Romadhon.
Keprihatinan Mahbub akan kondisi bangsanyaa mengantarkannya
pada dunia politik nasional. Pada tahun 1960 Mahbub mendapat kedudukan di
parlemen, ia menjadi anggota DPR-GR/MPRS. Saat menduduki kursi parlemen, Mahbub
memanfaatkan momen tersebut untuk membenahi apa-apa yang kurang benar dalam
tubuh pemerintahan, salah satunya adalah perjuangannya melahirkan UU tentang
Ketentuan Pokok Pers. Karena menurutnya, perubahan akan lebih mudah dicapai
jika dilakukan dari dalam sistem.
Kemampuan leadership dan progresivitas gerakan Mahbub juga
tercermin dalam tubuh NU. Pernah menjadi Ketua Umum Ikatan Pelajar Nahdotul
Ulama (IPNU) adalah bukti bahwa Mahbub termasuk kader unggulan NU. Mahbub juga
pernah menetralisir goncangan yang ada dalam tubuh NU, kala kitu Mahbub
mendamaikan dua kubu yang berseberangan yaitu kubu Situbondo (Gus Dur & KH.
As’ad Syamsul Arifin) dengan kubu Cipete (KH. Idham Khalid). Sebuah prestasi
dan ghiroh luar biasa yang bisa dicontoh oleh kader Muda NU.
Puncaknya adalah ketika Mahbub Djunaidi lagi-lagi diberi
amanah, untuk menjadi Ketua Umum pertama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII), sebuah organisasi naungan NU yang mewadahi proses kader di tingkatan
mahasiswa. Tentu bukan hal mudah mengurus sebuah “anak”organisasi besar di masa
awal, ibarat membuka lahan baru di suatu semak. Namun bukan Mahbub namanya jika
keder dengan hal seperti itu. Toh Mahbub sudah berpengalaman dalam hal rintis
merintis.
PMII dibentuk sedemikian rupa diawal berdirinya, dengan
kapasitas berorganaisasi yang mumpuni,
Mahbub menanamkan dasar-dasar serta prinsip-prinsip moral organisasi.
Pembentukan karakter kader terus digalakkan, loyalitas kader terus dipupuk,
Semangat kader juga tak luput dari pandangan. Kurang lebih 7 tahun memimpin
PMII, Mahbub berhasil mengangkat citra PMII sebagai organisasi yang disegani
serta dikenal di banyak kalangan.
Mahbub secara tidak langsung menggambarkan kepada kita akan
sosok pemimpin sejati. Mahbub adalah sosok yang kompleks. Ia seorang penulis,
disisi lain ia juga seorang aktivis yang sangat progresif, ditambah lagi ia
merupakan salah satu kader terbaik dalam satu organisasi masyarakat yang kental
akan nuansa agamis. Indonesia sangat butuh sosok sepertinya. 1 Agustus 1995
Mahbub Djunaidi sang pendekar pena yang memiliki banyak kelebihaan dipanggil
keharibaan-Nya. Ia menutup usia yang
hampir sama dengan Rosulullah, 62 tahun. Selamat jalan Bung. Semoga kami
dapat mengikuti langkah progres mu.
Ditulis oleh:
Nanang Bagus Zuliadi, Ketua Biro Media dan Penulisan PMII Rayon Ushuluddin Masa
Juang 2018/2019