Pernahkah anda mendengar bahwa mahasiswa dikategorikan
sebagai kelompok intelektual? Siapakah mereka yang dikelompokan sebagai
Intelektual? Mereka disebut intelektual karena masyarakat mempercayakan
berbagai batasan moralitas bisa ditanyakan pada mereka. Patokan sikap moralitas
masyarakat dalam merespon suatu fenomena, juga bisa ditanyakan pada mereka.
Intelektual punya kewajiban moral mengabarkan dan menggambarkan mana sikap yang
paling tepat dalam menghadapi permasalahan yang sedang dihadapi. Mereka
dipandang memiliki pengetahuan yang mampu merubah nasib manusia. Intelektual
adalah orang ataupun kelompok yang terus menerus membicarakan seputar
kebenaran. Dalam garis pemikiran seperti ini, maju-mundurnya kehidupan sebuah masyarakat
ditentukan dari seberapa jauh para intelektualnya mampu menggeluti permasalahan
sekaligus menyampaikan kebenaran (Chris Harman: 2002).
Menurut J. Benda, intelektual ialah manusia sangat berbakat
dan yang diberkahi moral filsuf raja, mereka tidak berkarya demi mencapai
tujuan praktis, tetapi mereka yang berkarya dan merasa puas dalam mempraktekan
seni atau ilmu pengetahuan demi kemajuan manusia. Sementara Guru, Ulama, dalam
pengertian Gramsci ia kategorikan sebagai intelektual tradisional. Kelompok
yang melakukan pengajaran secara turun temurun dan bisa dikatakan punya pola
tertentu yang sama. Gramsci kemudian membedakan kelompok berikutnya sebagai
intelektual organik, mereka ini tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dengan
pola yang sama, tetapi selalu mengarahkan pengetahuan menuju kondisi kehidupan
manusia ke arah yang lebih baik dan lebih baik lagi (Edward W. Said: 1998)
Ber-PMII Itu Menjadi Intelektual
Sebagai gerakan mahasiswa yang punya afiliasi dengan
Organisasi Masyarakat seperti Nahdlatul Ulama, sudah selaiknya mahasiswa yang
tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kita sebut sebagai
intelektual. Masing-masing mahasiswa yang telah melalui proses baiat, tidak
semata-mata terikat menjadi anggota PMII, tetapi ia langsung otomatis masuk
kelompok yang dinamai masyarakat sebagai intelektual. Karena tujuan PMII adalah
menciptakan kader yang “..bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan
komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia..” Urusan ia akan masuk
dalam kategori intelektual tradisional ataupun organik sesuai kategorisasi
Gramsci urusan nanti.
Perdebatan mana yang lebih baik, menjadi intelektual tradisional
atau organic harus ditahann dulu. Setiap kader baru harus diarahkan menjadi
intelektual yang memanngul beban tujuan kemerdekaan yang belum terwujud. Mereka
harus disadarkan dan dibiasakan membincangkan permasalah sosial bangsa ini.
Mereka harus dibantu memilih buku mana yang bagus dan lebih bagus untuk dibaca
sebagai penopang kapasitas intelektualitas mereka. Mereka harus disentuhkan
pada pemikiran setiap tokoh-tokoh yang terlebih dahulu mewaqafkan dirinya
menjadi intelektual, sekali lagi entah intelektual tradisional ataupun organik.
Menjadi intelektual adalah tentang membangun lalu memelihara
nalar. Sementara nalar terbangun dari internalisasi hasil bacaan, diskusi
argumentatif dan yang jarang disebut sarjana barat, yaitu suatu sikap
keprihatinan ketika belajar. Adagium yang menyatakan bahwa “proses tidak akan
mengkhianati hasil” hanya berlaku jika memenuhi beberapa syarat. Amal jika
tidak mengetahui ilmunya bisa saja menghilangkan pahalanya, maka
berorganisasi demi mewartakan kebenaran
sebagai manifestasi peran intelektual, tidak bisa proses dimaknasi dengan asal
proker organisasi terealisasi.
Melainkan, harus paham betul ilmunya, harus melalui proses dialektika yang
panjang dan dalam di setiap peneluran proker dan pengaplikasiannya.
Menjaga Masyarakat Dijaga Allah
Menjadi anggota (kader) PMII adalah gerbang awal masuk dalam
ruang kamar rapat sunyi sepi intelektual. Bertugas adu argumen tentang
peletakan batas moralitas, sikap etis politik, keberanian menyiapkan masa
depan, serta tugas-tugas ganjil lain yang tidak pernah dipikirkan kebanyakan
masyarakat meskipun sebenarnya mereka sangat membutuhkannya. Ruang lingkup PMII
yang menaungi batas territorial dan geografis nasional bahkan internasional,
memungkinkan pertemuan antar intelektual untuk mengadu dan meleburkan ide dan
gagasannya. Ber-PMII akhirnya memungkinkan kita berjuang dari berbagai sektor
dengan tetap menjadi intelektual.
Jika setiap jenjang pengkaderan dan jenjang kepengurusanya
mampu menjaga tradisi intelektualismenya, sampai kapanun PMII akan selalu
dibutuhkan masyarakat. Sementara sesuatu yang dibutuhkan masyarakat, sudah
tentu akan dijaga dan dirawat oleh Allah. Maka menjadi PMII, berarti menjadi
intelektual yang dijaga Allah selama ia tetap dibutuhkan masyarakat. Teruslah
kabar dan gambarkan sikap-sikap seperti apa yang harus diambil masyarakat demi
kehidupannya yang lebih baik, demi mendekatnya bangsa ini kepada tujuan
kemerdekaannya. “Belajar” adalah jihadnya mahasiswa yang memutuskan bergabung
dan berbaiat ke PMII.
Ditulis Oleh: Ahmad Muqsith, Wakil Ketua I PMII Rayon Ushuluddin Masa Bakti 2013-2014,
Ketua Himpunan Mahasiswa Perbandingan Agama 2013