“Agen Social of Change” Masih Pantaskah?


Hampir 20 tahun sudah berlalu, namun hiruk pikuk saat itu bagaikan akar pepohonan yang kokoh tertancap dalam tanah. Tidak dapat dilupakan oleh masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa saat itu yang terlibat di dalamnya. Bahkan orang yang tak tahu menahu kejadian sesungguhnya pun memiliki antusias yang begitu besar ketika mendengar ceritanya, membaca buku sejarahnya ataupun melihat film yang mengisahkannya.

Ya, tragedi 1998 menjatuhkan beratus-ratus korban, baik nyawa maupun harta yang seolah sudah terinstal secara permanen dalam pikiran. Rezim yang begitu kejam, rakus dan tirani selalu menghiasi langkah detik yang berjalan di negeri ini. Mayoritas masyarakat hanya mampu diam, kecuali segelintir orang yang berani menentang walau akhirnya bernasib sial.

Apa guna punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa guna banyak baca buku
Kalau mulut kau bumkan melulu
Di mana-mana moncong senjata
Berdiri gagah
Kongkalikong
Dengan kaum cukong
Di desa-desa rakyat dipaksa
Menjual tanah
Tapi, tapi, tapi, tapi
Dengan harga murah

Sebuah syair milik Wiji Thukul yang dibawakan dengan lantang mengkritisi kekejaman rezim saat itu. Dengan syair tersebut beliau dituduh subversif, ditodong pedang dan diasingkan hingga saat ini tak tahu bagaimana nasibnya. Begitupun tokoh-tokoh lain yang lantang menyuarakan kritikan pasti bernasib sial.

Semua itu berakhir pada tanggal 20 Mei 1998, rezim kejam itu jatuh karena desakan dan keberanian para mahasiwa saat itu. Mengutip dokumen harian kompas terbitan tanggal 19 Mei 1998, menjelaskan bahwa pada tanggal 18 Mei 1998 mahasiswa dapat menguasai gedung parlemen, gedung wakil rakyat yang tak pernah mewakili rakyat. Ketika mahasiswa diminta pulang, bahkan sudah disediakan bus, mereka tetap menolak, tetap bergerak untuk menjatuhkan rezim yang memangsa rakyat.

Keberanian mahasiswa untuk membela rakyat saat itu patut dijadikan contoh untuk kita sebagai generasi bangsa. Apalagi kita sabagai mahasiswa yang sering disebut “agent social of change” atau “agent social of control”. Ungkapan tersebut selau digembor-gemborkan pada saat masa orientasi mahasiswa baru atau sejenisnya. Ungkapan itu bukan sekedar ocehan belaka, tetapi benar-benar menuntut kita sebagai mahasiswa untuk peka terhadap keadaan sosial dan masyarakat sekitar.

Kenyatan berkata lain, begitu yang dirasakan penulis melihat mahasiswa sekarang. Mereka tidak lagi peka dengan masalah-masalah sosial yang ada. Boleh dikatakan meraka pulas terlelap dalam bangku perkuliahan, segitiga keseharian (kampus, kantin, kos) tak pernah membuatnya bosan. IPK selalu jadi acuan, cita-cita lulus cepat dan segera dapat pekerjaan seolah tidak bisa dibendung lagi dalam pikiran. Meskipun, mahasiswa yang masih perduli dengan semua itu tak henti-hentinya merayu untuk tidak takut menjadi aktivis, bahkan mereka mencontohkan menjadi aktivis bukan penghalang untuk mendapatkan IPK cumlaude, namun tetap saja egoisme mereka tidak bisa hilang.

Dalam hal ini menjadi seorang aktivis bukan berarti mengesampingkan kewajiban mahasiswa untuk belajar di kelas. Semua itu tergantung manajemen waktunya saja. Lagian setelah pulang kuliah, menurut pengamatan penulis kebanyakan hanya tidur di kos, jalan-jalan bersama teman bahkan ada juga yang bersama pacar. Masih pantaskah seperti itu disebut agent sosial of change?

Organisasi yang notabennya sebagai media untuk melatih kepekaan terhadap sosial, pengembangan skill dan sebagai wadah pendidikan karakter, justru sekarang ini malah memicu sifat asosial. Bisa kita lihat ketika banyaknya kegiatan yang diselengarakan mahasiswa, sedikit sekali mahasiswa yang turut berpartisipasi kegiatan tersebut. Diskusi mahasiswa misalnya, berapakah yang turut andil dalam kegiatan tersebut? Jangankan diskusi, seminarpun yang sudah dirayu dengan adanya sertifikat, tetap saja masih minim yang berpartisipasi. Jika kegiatan di kampus saja minim pesertanya, apalagi jika kegiatan di masyarakat? Bisakah dibayangkan?

Hal tersebut membuktikan lemahnya pendidikan karater di Indonesia. Jokowi dan Jusuf Kalla yang selalu menggembor-gemborkan revolusi mental, sampai saat ini apakah sudah bisa dibuktikan? Bukan hal mudah untuk merubah pola pikir masyarakat, tetap saja mental masyarakat dan pendidikan karakter masih sangat lemah. Menurut survai kementerian sosial, menyebutkan pendidikan karakter di Indonesia menempati urutan ke 108 di dunia dan urutan ke 5 dari 10 negara ASEAN.

Selain hal tersebut mungkin juga peraturan di kampuslah yang mengekang mahasiswanya. Banyaknya tugas makalah yang dikejar deadline dan menumpuk, ancaman sistem birokrasi kampus bagi mahasiswa yang tidak masuk kelas dan sebagainya yang mengakibatkan pengayoman mahasiswa terhadap masyarakat semakin terbatasi. Birokrasi sibuk mengurusi akreditasi dan eksistensi jurusan atau kampus dengan cara menggembor-gemborkan lulus cepat, IPK tinggi, tidak pernah absen kuliah, tapi mereka mengorbankan tri dharma perguruan tinggi yang ketiga, yaitu pengabdian terhadap masyarakat. Baiklah masih ada program Kuliah Kerja Nyata (KKN), apakah cukup? Formalitas!!

Benar sekali apa yang dikatakan Pidi Baiq “Dulu, nama besar kampus disebabkan oleh karena kehebatan mahasiswanya. Sekarang, mahasiswa ingin hebat karena nama besar kampusnya”. Mahasiswa harus bangkit, bukan saatnya lagi mahasiswa hanya duduk rapi di kelas mendengarkan dosen ceramah, tidur nyenyak di ranjangnya, diam terhadap kebijakan birokrasi yang sewenang-wenang dan lebih jauh terhadap kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat. Pemikiran kalian dibutuhkan, sifat kritismu dirindukan oleh negeri ini, jangan hanya diam dan jangan hanya memandang, tapi ikut terjun ke lapangan.

Jika keadaan itu terus berlangsung, mahasiswa enggan bangun dari ranjangnya, maka benarlah apa yang dikatakan Tan Malaka dalam Madilog, buku karanganya “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan mengganggap dirinya lebih tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”. Ungkapan Tan ini bisa disimpulkan bahwa pendidikan dan kepedulian sosial merupakan satu kesatuan, bukan suatu hal yang terpisahkan. Selain mahasiswa mendapatkan pendidikan di kampus, juga dituntut memiliki kepekaan terhadap keadaan masyarakat.

Masih banyak rakyat yang kebingungan di persimpangan jalan, mereka dirampas haknya dengan cara yang tidak bermoral, turunlah kejalan jangan hanya diam, buanglah rasa malu kalian untuk membela keadilan dan kesejahteraan! Aksi atau demontrasi bukanlah suatu tindakan yang tidak bermoral, asalkan dilakukan sesuai prosedur dan tidak mengganggu ketertiban dan kenyamanan masyarakat. Justru dengan ikut turun dalam aksi untuk membela rakyat, itu merupakan suatu tindakan yang mencerminkan kepekaan terhadap keadaan di sekitar, rindu akan kejayaan, dan justru akan menggoreskan sebuah catatan kebanggaan di lembar sejarah negeri ini.

Ditulis oleh: Aji Yoga Anindita, Ketua PMII Rayon Ushuluddin Masa Juang 2018-2019

Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama