Menurut sebuah buku karangan Harun Nasution yang berjudul Pembaharuan dalam Islam, Jamaluddin Al-Afghani disebut sebagai seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam. Ia disebut demikian karena kiprahnya yang banyak mengeluarkan ide-ide pembaharu dan melakukan perubahan dalam tatanan kehidupan umat muslim saat itu.
Al-Afghani lahir pada tahun 1839 M di Afghanistan dan meninggal dunia di Istanbul pada tahun 1897 M. Meski demikian, hidupnya justru lebih banyak tercurah di Negeri Mesir. Setelah sempat menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan, lalu menjadi penasehat Sher Ali Khan, Afghani kemudian diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Menteri. Karena saat itu Inggris mulai menguasai perpolitikan Afghanistan, Jamaluddin memilih sikap melawan lalu meninggalkan Afghanistan dan pergi ke India.[1]
Di Indiapun ia merasa tidak bebas karena Negara tersebut telah jatuh ke bawah kekuasaan Inggris, oleh karena itu ia pindah ke Mesir di tahun 1971. Pada mulanya ia menjauhi persoalan politik dan memusatkan perhatian pada bidang ilmiah dan sastra Arab. Rumahnya menjadi tempat memberikan kuliah dan diskusi dengan murid-muridnya.
Pada akhir hayatnya ia meninggal sebagai tahanan Sultan Abdul Hamid di Istanbul pada tahun 1897. Awalnya, Sultan Abdul Hamid berniat menggunakan pengaruh Jamaludin dalam rangka pelaksanaan politik Islam di Istanbul. Namun karena pemikiran jamaludin yang demokratis tentang pemerintahan, sedangkan Sultan masih mempertahankan kekuasaan otokrasi lama, maka tujuan itupun tidak tercapai. Sehingga ia kemudian di kurung dalam tahanan sampai akhirnya ia jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sebagai Pemikir Sekaligus Politikus
Hidup dalam bayang-bayang penjajahan dari dunia barat menjadikan Jamaludin turut memusatkan pikirannya pada gagasan-gagasan tentang perlawanan terhadap para penjajah. Ia selalu menerangkan kepada umat Islam tentang tipu daya yang dilakukan para penguasa asing yang tujuannya untuk kepentingan bangsa Eropa sendiri, terutama politik imperialisme di Negara-negara Islam (Mesir dan India khususnya). Maka ia lebih banyak berbicara tentang umat dari pada tentang orang Islam. Secara terus terang ia berbicara tentang perlawanan terhadap imperialisme Barat sebelum ia berbicara tentang perlawanan terhadap bid’ah dan beberapa kelompok umat Islam.
Meskipun pergerakan Jamaludin cenderung bersifat politis, namun demikian, dasar dan tiang pergerakannya adalah tetap pada al-Qur’an. Dalam melancarkan perlawanannya pada imperialism Barat, Afghani menyerukan kepada umat Islam untuk bersatu dengan al-Qur’an sebagai alat pemersatunya. Konsep Agama Islam bagi Afghani adalah: Pertama, membersihkan akal dengan tauhid dari segala macam keragu-raguan, seperti keyakinan adanya benda yang member manfaat dan bahaya, keyakinan bahwa Allah tampak pada diri manusia atau binatang, atau Dzat yang Maha Suci itu mengalami penderitaan demi kemaslahatan seseorang. Kedua, Islam menghapus paham yang mengistimewakan seseorang atau satu kelompok. Ia mengajarkan bahwa keutamaan manusia tergantung pada kesempurnaan akal dan jiwanya. Ketiga, Akidah Islam didasarkan pada kepuasan, bukan pada taqlid atau meniru-niru apa yang diyakini oleh nenek moyang. Dan keempat, Agama Islam menyeru pada kebenaran dan mencegah kemungkaran sebagaimana tertuang dalam Q.S. Ali Imron ayat 104.
Jika demikian, lalu mengapa keadaan umat Islam sekarang memalukan? Ia lalu kembali bertanya, apakah kebobrokan itu bersumber dari agama Islam sendiri atau dari gambaran tentang agama Islam yang menyebar di seluruh dunia atau moral bangsa-bangsa yang menganut atau mengajak kepada Islam? Bagi Afghani, penilaian terhadap Islam harus didasari pada prinsip-prinsipnya sendiri. Yakni sebagai petunjuk yang baik bagi kehidupan manusia. Ciptaan pemikiran manusia dan tradisinya tidak boleh dijadikan sebagai ukuran untuk menilai prinsip-prinsip Islam. Jawaban atas pertanyaan tersebut juga sebagai sanggahan Afghani terhadap seorang orientalis asal Prancis bernama Renan yang menyatakan bahwa Agama Islam tidak mendorong kemajuan Ilmu Pengetahuan bahkan menghalanginya.
Kembali Kepada Al-Qur’an
Telah disinggung sebelumnya bahwa Afghani lebih banyak berbicara tentang umat dari pada perkara bid’ah atau khurafat. Dalam Al-Urwatul Wutsqo Jamaludin berkata: “Mungkin anda heran mendengar kata-kata ini: sesungguhnya prinsip-prinsip agama yang benar (jauh dari segala macam bid’ah) mampu menciptakan persatuan umat, ia akan membangkitkan segala keutamaan dan memperluas pengetahuan dan akhirnya akan dicapailah puncak peradaban.”
Menurut Jamaludin, yang menjadi penyebab kemandegan bahkan kemunduran umat Islam adalah permunculan berbagai aliran dan madzhab yang disebabkan oleh penafsiran-penafsiran yang kemudian menimbulkan fanatisme dan pertikaian antar golongan. Ia lalu mengajak umat Islam untuk kembali kepada al-Qur’an dan ajaran-ajarannya yang murni. Dalam sebuah tulisannya, Jamaludin merasa heran melihat pertentangan umat Islam padahal memiliki satu arah tujuan untuk kemaslahatan umum. Yaitu yang terjadi pada bangsa Afghanistan dan Iran. Ia berkata: “Apa perbedaan bangsa Afghanistan dan Iran? Keduanya sama-sama beriman kepada Allah SWT dan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Bangsa Afghanistan harus melihat dengan pikiran sehat, kemudian bersatu dengan saudara-saudaranya di Iran. Sebab tidak ada perbedaan antara keduanya dalam masalah demi kemaslahatan umat. Semuanya dipersatukan dalam ikatan yang mulia: Ikatan Agama Islam.”[2]
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa konsep kembali kepada al-Qur’an adalah semacam jargon bagi Jamaludin untuk menghilangkan pertikaian antar umat Islam. Agar mereka dapat memimpin diri sendiri dan tangguh di hadapan bangsa-bangsa lain. Secara umum ia menginginkan Umat Islam bersatu melawan Imperialisme Barat dan menjaga kepribadiannya untuk tidak tunduk pada orang asing yang menjajah.
Ia juga berpendapat bahwa para ulama harus menerangkan makna al-Qur’an secara benar dan menghidupkannya di dalam jiwa kaum muslimin. Seruan keagamaan ulama harus diarahkan dalam rangka memperbaiki keyakinan umat Islam yang tidak benar agar mencapai kemaslahatan bersama. Seperti pemahaman terhadap qada dan qadar, yang menurut mereka perintah untuk tidak berusaha. Selain itu, kata Jamaludin, kita juga harus meluruskan Ilmu Pengetahuan, memperbanyak pengetahuan, sehingga kita akan mencapai kemajuan dan keberhasilan.
Perjuangan Melawan Imperialisme Barat
Dalam kata pengantarnya pada majalah al-Urwatul Wutsqo Jamaludin menyatakan bahwa pendudukan Inggris adalah malapetaka besar bagi dunia Islam. Ia mengajak umat Islam untuk bersatu menghadapi malapetaka ini. Salah satu ucapannya adalah: “Penduduk Blukhistan melihat gerakan-gerakan penjajah Inggris di Afghanistan dengan mata kepala mereka sendiri, namun hati mereka tidak tergerak untuk menolong saudara-saudaranya.”
Dalam majalah ini juga, Jamaludin banyak membahas ayat-ayat al-Qur’an. Di lain makalah, ia juga banyak berbicara tentang politik melawan imperialisme Barat dan juga menerangkan hadits-hadits yang shahih. Dengan demikian jelaslah bagaimana Jamaluddin melancarkan perjuangan politiknya atas dasar Islam.[3]
Tak henti-hentinya Jamaluddin menyatakan Inggris adalah perampas kehormatan, pelanggar hak-hak asasi manusia yang menjadikan manusia lain sebagai budak. Ia juga menyatakan kepada umat Islam bahwa agama mereka memerintahkan untuk mengusir penjajah dari negeri mereka.[4] Maka nampaklah dari sini bahwa Jamaludin berusaha menghidupkan agama sebagai dasar perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Begitulah perjuangan Jamaludin menghadapi imperialisme Barat, sebagai seorang muslim yang kritis atau sebagai tokoh politik yang menggunakan prinsip-prinsip Qur’an dan Sunnah dalam setiap propaganda politiknya.
Menolak Kaum Atheis
Salah satu karya monumental milik Jamaluddin Al-Afghani adalah buku yang berjudul Ar-Radd ‘alad Dahriyin (Penolakan Terhadap Atheis). Dalam buku ini Jamaludin berusaha memaparkan bahwa salah satu bentuk yang dilakukan oleh penjajah barat untuk merusak kepribadian Islam adalah usaha merusak akidah seorang muslim, baik dengan menciptakan bermacam keraguan atau menghilangkan akidah dari hatinya. Seperti aliran naturalis di India yang dikenal dengan sebutan kaum ateis.
Ada tiga hal dalam penolakan Jamaludin terhadap kaum ateis, yakni: tentang pentingnya agama bagi masyarakat, bahayanya aliran ateis dalam masyarakat, dan keunggulan agama Islam sebagai suatu agama dan akidah di atas agama-agama lain. Ia berpendapat, keyakinan agama sebagai suatu akidah menjamin tiga unsur penting bagimasyarakat: rasa malu, jujur, dan setia.[5] Ia menilai bahwa ajaran ateisme tidak memiliki ketiga unsur ini.
Menurut pandangan Jamaludin, tujuan sosialisme komunisme adalah menjunjung tinggi keunggulan manusia seluruhnya dan membolehkan segala-galanya. Agama dan raja adalah penghalang yang sangat besar bagi undang-undang alam (keserbabolehan). Maka, ia harus memberontak terhadap kedua penghalang itu, para penguasa dan pemimpin agama. Apabila kelompok ini bertambah besar, maka umat manusia akan menemukan kehancurannya tidak lama lagi.
Kesimpulan
Akhirnya dapat penulis simpulkan bahwa pokok pikiran dalam gagasan al-Afghani adalah keinginan untuk mewujudkan persatuan umat Islam. Dengan bersatu dan mengadakan kerjasama yang eratlah maka umat Islam dapat kembali memperoleh kemajuan. Persatuan adalah sendi yang sangat penting dalam Islam.
Islam adalah sesuatu yang paling dalam bagi kaum muslimin. Jika untuk hidup di dalam dunia modern menuntut adanya perubahan-perubahan di dalam cara mereka mengorganisasikan masyarakat, maka mereka harus berupaya melakukan itu, tetapi tetap jujur pada diri sendiri.[6] Hal ini tak lain agar umat Islam dapat selaras dengan kehidupan, kemajuan, dan kekuatan dunia. Inilah titik tolak bagi mereka yang disebut kaum modernis. Bahwa Islam tidak hanya cocok dengan akal, tetapi juga dengan kemajuan dan solidaritas sosial sebagai dasar-dasar peradaban modern agar Islam dapat mengambil manfaat darinya.
*ditulis oleh sahabati Umi Ma’rufah sebagai bahan diskusi Rayon PMII Ushuluddin tanggal 8 Maret 2017.
[1] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Bulan Bintang: Jakarta, 2001, cet. 13), hlm. 3
[2] Kumpulan al-Urwatul Wutsqo, hlm. 94 dalam Muhammad al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, (Pustaka Panjimas: Jakarta, 1986), hlm. 50
[3]Muhammad al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, (Pustaka Panjimas: Jakarta, 1986), hlm. 44
[4] Ibid
[5] Ibid, hlm. 37
[6] Albert Hourani, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, (Mizan: Bandung, 2004), hlm. 584