Negara besar dalam perjalanan peradabannya tentu harus sejalan dengan misi kesejahteraan rakyat. Prioritas utamanya dalam menjalankan roda kenegaraan adalah kesejahteraan rakyat. Memang bukan perkara yang mudah, mengingat negara besar seperti Indonesia pasti memiliki persoalan yang juga lebih besar dan kompleks dibandingkan negara yang relatif lebih kecil di bawahnya. Dibandingkan dengan Singapura atau Malaysia semisal, yang kapasitas wilayah dan penduduknya jauh lebih kecil. Indonesia dengan kebesaran wilayah, penduduk, serta SDA nya tentu memiliki perjalanan yang lebih rumit dalam mengelola negara dibanding dengan Singapura dan Malaysia yang memiliki rasio wilayah, penduduk, dan SDA yang lebih kecil.
Terlepas dari itu semua, ada hal lain yang juga patut di soroti jika berbicara negara besar, yaitu; keragaman suku, ras, dan budaya. Keragaman tersebut dalam dialektikanya seringkali menimbulkan banyak gesekan jika tidak disikapi dengan bijak. Perlu usaha keras yang konsisten untuk menetralisir gesekan tersebut dan mengakomodirnya menjadi sebuah kekuatan nasionalisme yang besar. Kemajemukan dapat digunakan sebagai senjata yang ampuh untuk gerakan nasionalisme, namun kemajemukan juga beresiko menjadi bumerang jika kita tidak menyikapinya dengan bijak.
Kini, negara besar yang bernama Indonesia tersebut telah memasuki usianya yang ke-73, usia yang tidak lagi dikatakan muda. Usia senja yang menandakan kematangan Indonesia sebagai bangsa dan sebuah negara. Urgensi bangsa seperti keutuhan dari perpecahan, kesejahteraan rakyat, perekonomian yang berdikari, daulat politik bangsa, serta kebudayaan yang berpribadi menjadi fokus penting untuk dicapai dan digerakkan secara utuh dalam usia senjanya tersebut.
Sayangnya, Indonesia belum terlalu tangguh untuk menciptakan
idealitas urgensi bangsa tersebut dalam aksi nyata. Seringkali Indonesia
dihadapkan pada perpecahan sesama anak bangsa hanya karena hal-hal yang tidak
substansional. Kesejahteraan yang seharusnya menjadi milik seluruh rakyat pada
faktanya hanya menjadi peristiwa imajiner yang terbatas pada angan. Kemiskinan
adalah cermin utama tidak tercapainyan kesejahteraan rakyat, berawal dari
sistem perekonomian yang selalu menjanjikan banyak hal muluk kepada rakyat yang pada akhirnya berakhir di dapur
penguasa. Politik yang digadang-gadang berorientasi pada kepentingan rakyat
pada akhirnya juga hanya dinikmati oleh kepentingan pribadi elite kekuasaan.
Tidak diketahui secara jelas apa yang sebenarnya terjadi dan
siapa yang salah dalam hal tersebut, namun yang pasti diumur yang baru sudah
seharusnya menjadi ajang intropeksi kita bersama. Garis-garis haluan negara
dalam menjalankan roda keperintahan harus diperjelas agar roda kepemimpinan
berjalan pada koridor yang tepat. Perekonomian yang berorientasi pada
kesejahteraan rakyat juga harus terus digalakkan dalam skala makro maupun
mikro. Politik yang dewasa ini mendapat tantangan arus global, menjadi penting
untuk dikembalikan pada khitah kedaulatannya. Kebudayaan harus juga menemukan
jati dirinya dan tidak terlalu terbuka atas semua budaya global yang deras
mengalir.
Indonesia memang sudah merdeka dan tidak lagi dijajah secara
fisik, namun penjajahan dan perbudakan imajiner masih dan selalu menghantui
bangsa kita. Hal yang lebih penting dari kemerdekaan universal adalah kemerdekaan
diri sendiri dari perbudakan moral dan mental. Moral yang mengedepankan
kepentingan dan kebaikan bersama, mental pemberani yang berkata dan bertindak
sesuai komitmen kebangsaan. Semoga seluruh anak bangsa, baik pemerintah maupun
rakyat dapat memerdekakan diri dari hal tersebut, dan semoga Indonesia dapat
selalu terbang tinggi dan lebih tinggi. [Nanang]