Saat ini umat Islam tengah menjalani ibadah puasa Bulan Ramadhan. Tentu ada banyak perubahan terjadi sejak sebelum dan sesudah datangnya Bulan Ramadhan. Mari kita refleksikan tentang perubahan apa yang terjadi dengan hadirnya Bulan Ramadhan. Ditengah banyak godaan dan tantangan, apakah perubahan-perubahan tersebut telah mencerminkan esensi Bulan Ramadhan? Ataukah justru jauh dari makna Bulan Ramadhan?
Sebagaimana kita tahu pada tahun-tahun sebelumnya dan tahun ini juga, setiap Bulan Ramadhan tiba orang mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Mari kita perhatikan mulai dari kegiatan sehari-hari sampai pemenuhan kebutuhan hidup. Umumnya pada bulan ini akan ada banyak kegiatan kerohanian diadakan baik itu di desa, sekolah, maupun di masjid-masjid. Tidak terkecuali juga acara pertelevisian yang turut menyajikan tayangan-tayangan khusus di Bulan Ramadhan. Tayangan-tayangan mulai dari yang berisi kerohanian sampai sekedar hiburan disajikan untuk menarik masyarakat agar tetap menyalakan televisi sebagai teman setia bulan Ramadhan.
Bukan hanya acara televisi, periklanan yang munculpun turut memunculkan suasana Ramadhan didalamnya. Seolah puasa tidak lengkap jika tanpa adanya iklan tersebut. Sehingga tanpa sadar kita dituntut untuk mengikuti pola konsumsi yang ditawarkan oleh iklan-iklan tersebut. Inilah salah satu contoh dimana pasar akan selalu memanfaatkan setiap momentum yang ada di masyarakat. Sayangnya, ini juga yang menjadikan Ramadhan bias akan nilai esensinya.
Jangan Menjadi Korban Pasar
Membeli dan mengonsumsi adalah aktifitas vital manusia. Namun kehidupan tidak melulu soal membeli dan mengonsumsi. Dibalik itu ada hal lain yang mesti kita pikirkan bersama, yakni dampak dari kedua perilaku tersebut. Apalagi jika aktifitas itu berhubungan erat dengan aktifitas penting lainnya, seperti aktifitas ibadah. Hubungan yang tampaknya tak memiliki kaitan apapun, namun sesungguhnya sangat berpengaruh terhadap sikap hidup manusia.
Ketika ramadhan tiba, tawaran untuk membeli dan membeli membanjiri media informasi kita. Dengan kata lain, hampir semua iklan menawarkan kebutuhan yang harus dipenuhi untuk melengkapi Bulan Ramadhan. Mulai dari kebutuhan pangan, sandang, sampai kesehatan. Perlengkapan ibadah mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Segala riuh kehidupan kita dipenuhi oleh tawaran untuk membeli benda-benda tersebut, dan telah menjadi bagian yang mempengaruhi pola pikir dan konsumsi kita.
Sayangnya, ketika perhatian umat muslim teralihkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, akhirnya akan menyeret kita dalam kehidupan yang hedonis dan konsumtif. Padahal kehidupan semacam itulah yang mesti dihindari. Seperti ketika berbuka puasa, puluhan macam menu makanan disajikan, tidak seimbang dengan kebutuhan yang diperlukan. Ini berdampak negatif pada pertama, orang tersebut akan merasa kekenyangan dan akhirnya menghambat aktifitas lainnya. Kedua, jika tidak sampai habis akan menyia-nyiakan makanan, dan ini sungguh perbuatan tidak baik karena di sisi lain Islam selalu mengajarkan kita untuk berbagi rezeki terutama dengan orang-orang yang miskin dan kelaparan.
Ketika kita terus menuruti kemauan konsumsi tanpa memperhatikan nilai guna yang didapat atau sekedar hanya mengejar gengsi, maka hal itu tidak akan menemukan ujungnya. Kita justru hanya akan menjadi alat untuk melanggengkan kuasa kapitalisme yang mencengkram siklus kehidupan kita agar senantiasa menjadi konsumen.
Memaknai Esensi Puasa
Kewajiban yang harus dipenuhi pada bulan Ramadhan adalah berpuasa. Apa itu puasa? Puasa secara sederhana diartikan sebagai salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Namun, apakah puasa sesederhana itu?
Alissa Wahid putrid sulung Gus Dur pernah mengatakan, Ramadhan adalah tentang laparnya ego, bukan hanya tentang laparnya perut. Dan ego yang lapar jauh lebih berbahaya daripada perut yang lapar, karena perut yang lapar masih tertanggungkan oleh tubuh, sedangkan ego yang lapar seperti singa yang mencari mangsa, ia menyakiti dan menyakitkan. Dari pernyataan tersebut dapat kita simpulkan bahwa puasa bukan sekedar menahan lapar, namun bagaimana kita bisa mengendalikan ego atau nafsu.
Dengan mengetahui makna Bulan Ramadhan, maka kita semua akan mampu menilai sejauh mana perubahan yang kita lakukan telah mencapai esensi Bulan Ramadhan. Apakah kita mampu mengendalikan ego kita? menekan nafsu untuk selalu memenuhi kepuasan pribadi? Dan berhenti menumpuk kekayaan tanpa mempedulikan nasib orang lain?
Puasa seharusnya mengajarkan kita tentang itu semua. Tentang pengendalian ego dan nafsu. Bukan justru mempraktikkan kebiasaan hidup boros dan konsumtif. Karena jika demikian, kita akan menjadi orang yang rugi dan bertentangan dengan semangat Bulan Ramadhan. Nabi juga menegaskan melalui sabdanya: makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah tanpa berlebihan dan kesombongan. (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Jika kita telah mampu memaknai puasa sebagaimana mestinya, maka kemenangan yang dijanjikan benar-benar akan kita raih. Karena pada dasarnya bulan puasa adalah bulan perang dan panen. Perang melawan hawa nafsu dan panen keberkahan dalam setiap kebaikan.
*ditulis oleh: Umi Ma'rufah