Menuju PEMILU 2019 merupakan hari-hari yang ditunggu masyarakat Indonesia
untuk memilih
para pemimpinnya, tak khayal jika akhir tahun 2018 diprediksi suasana Negara akan mulai memanas, maka kita sebagai warga Negara harus menanggapinya dengan bijak. Diharapkan pula masyarakat mampu menggunakan hak suaranya dengan baik. Terkait isu adanya gerakan 313 yang akan berlangsung pada tanggal 31 Maret nanti, merupakan sebuah strategi yang dilakukan suatu kelompok untuk meraih kekuasaan politik dalam rangka Pilgub Jakarta.
Menurut KH. Said Aqil Siradj yang dilansirkan oleh NU Online mengungkapkan bahwa kepada siapapun umat Islam untuk tidak menggunakan agama dalam meraih kekuasaan karena itu hanya akan membuat citra agama tersebut menjadi negatif. Dan yang
sangat disayangkan adalah mengatasnamakan agama
demi mengalahkan lawan dalam kontestasi politik.
Bila kelak menang kemudian melakukan tindakan korupsi, kemiskinan merajalela. Apa itu hasil membawa Allah dalam politik? Bahkan kyai Said memagari bahwa jika di dalam politik itu tidak ada urusan agama, begitupun sebaliknya. Karena rentan untuk diselewengkan. Terkait hal ini secara kontekstual apa yang dipaparkan oleh Kyai Said memang ada benarnya mengingat realitas yang terjadi memang perlu adanya tindakan tegas dari pemuka agama khususnya
para ulama untuk tidak melegitimasi adanya perilaku kampanye dengan nama agama, bisa kita gunakan kaidah “mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada melakukan kemashlahatan”.
Di Negara Indonesia mayoritas penduduk beragama Islam, tak mengherankan jika kelak para calon pemimpin kemudian berbondong-bondong menarik simpati dari masyarakat untuk memperoleh suara, salah satunya dengan mengatas namakan Islam, ada interest
pribadi dalam hal ini.
Layaknya pedang yang mampu menebas lawan, begitupun agama
khususnya Islam, disebabkan adanya fanatisme Islam bagi para pemeluknya,
menjadi landasan para calon untuk menarik simpati masyarakat yang justru apabila
dibiarkan akan berdampak pada agama itu sendiri kala para pemimpin kelak tak mampu
mengatasi problematika sosial, mengentasi kemiskinan, memberantas korupsi,
bahkan berlaku korupsi, kesenjangan sosial,
bobroknya moral, dan lain sebagainya.
Islam
Agama Keadilan
Orang yang beriman dan beragama Islam harus mampu berbuat adil, terhadap siapapun bahkan terhadap orang yang
berbeda dengan Islam sekalipun, seperti termaktub dalam Al-Qur’an surat al-Maidah:8.
Baiknya tidak boleh lantaran seagama, kemudian membenci yang tak searah dengan kita, tetap dibutuhkan kritis terhadap siapa sosok calon pemimpin ke depan.
Karena dalam adil memiliki maksud menerima hak sesuai porsinya
tidak dikurangi maupun tidak dilebihkan dan itu hanya ada pada kesetaraan dan kesamaan
maka dibutuhkan adil yang dicerminkan oleh pemahaman orang yang memiliki idealism
tinggi dan jiwa yang dipenuhi dengan kepedulian terhadap sesama yang tinggi pula,
sehingga saat kita selaku warga Negara hendak memilih, maka ideal yang dipilih
adalah yang memiliki kredibilitas tinggi, tidak sekedar atas nama agama.
Namun karena kedangkalan dalam memahami agama,
belakangan Islam mulai digunakan tidak
sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang
mempengaruhi ketidakadilan yang terjadi, diantaranya adalah kesalahpahaman dalam
memahami agama khususnya Islam, agama yang memiliki arti tidak kacau berasal dari
bahasa sansekerta sedangkan Islam memiliki arti menuju keselamatan, yang
kemudian mengalami penurunan makna yang luhur, supaya agama Islam ini tetap mampu
relevan sesuai perkembangan zaman, perlu
adanya rekonstruksi ulang terkait pemahaman keagamaan. Beragama Islam diharapkan
tidak hanya dijadikan ritualitas keshalihahan belaka akan tetapi juga mampu merampungkan
keadilan sosialnya.
Dengan adanya rekonstruksi ulang mengenai pemahaman
keagamaan, diharapkan ke depan masyarakat Indonesia mampu merepresentasikan hak
pilihnya untuk keadilan, bukan sekedar pemilihan rutin tahunan yang
mengatasnamakan agama sebagai pedang politik kekuasaan.
Akankah rutinitas pemilihan ini akan membaik?
Nantikan saja!
*oleh Sahabat Imam Baehaqi (kader PMII Rashul 2017)