Identitas Buku
Judul Buku : Perawan Remaja dalam
Cengkraman Militer -catatan pulau buru-
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan : I Maret 2001, VII Juni 2011
Tebal Buku : ix + 248 hlm, 13,5 x 20 cm
Tentang Penulis
Pramoedya
Ananta Toer lahir di Blora pada 6 Februari 1925. Selain sebagai pengarang,
bermacam profesi telah dijalaninya, seperti juruketik, wartawan serta dosen.
Menulis sejak di bangku sekolah dasar hingga sampai menghasilkan tidak kurang
dari 35 buku, baik fiksi maupun nonfiksi. Karya puncaknya adalah tetralogi
novel sejarah yang ditulis olehnya ketika ditahan selama 11 tahun di Pulau
Buru, yakni Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa (1981), Jejak
Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988) serta Nyanyi Sunyi Seorang
Bisu I (1995) dan II (1996) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
Belanda, Jerman dan Prancis. Sejak 1950, sedikitnya 16 penghargaan dari daalam
dan luar negeri telah diraihnya. Sedangkan novel yang berjudul Perawan
Remaja dalam Cengkaman Militer adalah karya kelima Pramoedya Ananta Toer
yang diterbitkan KPG, setelah Mangir (2000), Kronik Revolusi I,
II (1999) dan III (2001), yang disusun bersama Koesalah Soebagyo Toer dan
Ediati Kamil serta Cerita-cerita dari Digul (2001).
Sinopsis
Dengan
hati yang berat, Pramoedya Ananta Toer menulis surat kepada kita yang belum
sepatutnya kita diajukan suatu berita yang mengguncangkan, memilukan,
menakutkan dan menyuramkan. Para perawan remaja, hidup di alam kemerdekaan
nyatanya ingin mendapatkan kemakmuran, dari itu timbullah impian. Dan impian
itu menjadi cita-cita. Dan cita-cita itu menjadi pola dasar dan petunjuk dari
perbuatan. Dalam masa remaja kita akan mengalami perubahan baik badani dan
jiwani. Pandangan tidak lagi semata tertuju kepada keluarga, orangtua atau
wali. Melainkan, mulai membuka jendela dunia dan mulai menengok kehidupan yang besar. Kita mulai melihat-lihat, menimbang-nimbang
apa yang baik untuk diri dan kehidupan yang terasa menderu serta menggemuruh.
Tak jarang semua yang dicitawi itu berpadu menjadi satu dan jadilah perawan
remaja yang hidup.
Begitu
juga halnya dengan para perawan remaja di masa pendudukan Jepang, Maret
1942-Agustus 1945. Bila ada perbedaan dengan kita hanyalah dalam syarat
kehidupan. Di masa itu serba susah, sandang dan pangan merupakan sumber derita
yang terasa tiada habisnya. Seluruh lapisan masyarakat hidup dalam kekurangan,
kelaparan dan kemiskinan, dalam keadaan tersebut terdengarlah suara sayup dari
kekuasaan tertinggi di Jawa pada waktu itu Pemerintah Balatentara Pendudukan
Dai Nippon : janji memberi kesempatan belajar pada para pemuda-pemudi Indonesia
ke Tokyo dan Shonanto (Singapura). Kabar tersebut didengar pada tahun 1943,
yang diperkuat oleh keterangan dari banyak orang, kiranya tidak begitu
meragukan bila janji itu memang dinyatakan pada 1943, dan pada tahun itu
perawan diberangkatkan.
Jepang
berhasil mengangkut para perawan, karena ada alasan dibalik itu. Pertama,
gadis-gadis yang hatinya penuh berisikan cita-cita mulia untuk maju dan
berbakti pada masyarakat dan bangsanya, bila tidak mengindahkan kenyataan yang
berlaku, akan lebih terpikat. Kedua, keadaan hidup yang mencekik memudahkan
orang untuk melarikan diri pada khayalan, hingga mudah masuk perangkap. Ketiga,
peran orangtua yang bekerja mengabdi pada Jepang. Tak ada yang dapat mengatakan
sudah berapa kali Jepang melakukan pengangkutan, para perwan remaja itu berasal
dari kota besar, madya atau dari kampung dan desa yang berada di dalam kawasan
kota. Para perawan remaja yang ditipu oleh fasis Jepang antara 1943-1945 masih
ada yang hidup di Pulau Buru hingga 1978, hidup dibawah taraf peradaban dan
kebudayaan asal mereka. Hingga diduga sebagian dari mereka itu telah mati
sebagai tawanan dalam penderitaan yang bermacam-macam, tanpa disaksikan oleh
orang-orang yang dikasihinya, tidak pernah mendapat kesempatan belajar
sebagaimana yang dijanjikan dan mati di negeri yang jauh, sungguh
mengguncangkan perasaan kemanusiaan, kecuali bagi serdadu Jepang.
Setelah
Jepang menyerah, mereka ingin sekali kembali ke kampung halaman dan keluaraga.
Tetapi pengalaman buruk telah menjadi beban moral yang berat, sehingga mereka
tidak sampai hati bertemu kembali dengan orangtua, sanak saudara dan lainnya.
Salah satu dari mereka ialah Siti F. (Subang) dan beberapa temannya berhasil
melarikan diri dari cengkeraman serdadu Jepang hingga mendapat perlindungan
dari seorang nelayan Buton di Buru. Bukan hanya Ibu Siti F, ia menyebutkan
masih ada para perawan yang pada waktu itu menetap dan tidak kembali ke
kampungnya yaitu Ibu Mulyati (Klaten) yang teraniaya juga menimpa nasib buruk
sama dengan para perawan lainnya. Kalau hanya hendak menggantikan imperalis
Barat di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia dan tingkat peradabannya setara
dengan Belanda, barangkali orang tidak banyak tanya. Tetapi watak fasisme
militerisme Jepang telah menyebarkan penderitaan berlebihan disetiap jengkal
tanah. Teror merupakan sistem untuk menundukkan rakyat, sedang kerakusan
berlebihan menjadi tujuan dari pendudukan Jepang.
Kelebihan
Buku ini diterbitkan agar
kita dapat mengetahui tentang catatan sejarah tentang perbudakan seks
Balatentara Jepang terhadap perempuan Indonesia. Dapat menjadi sumbangan yang
berarti untuk memperkaya literatur tentang sejarah bangsa ini, mampu menggugah,
menumbuhkan dan memupuk rasa kemanusiaan. Juga semacam bentuk pernyataan
protes, atas kejadian yang puluhan tahun lewat.
Kekurangan
1. Surat ini, ditulis tak ada dokumen atau barang cetakan yang bisa
dipergunakan menjadi pegangan. Semua
didasarkan pada ingatan dan pengalaman orang lain.
2. Gaya
tulisan dan beberapa kosakata dalam surat ini mungkin agak susah
dipahami bagi pembaca pada era saat ini. Hal ini
disebabkan, keterbatasan konsep tulisan berbahasa yang jarang dipakai atau kemungkinan besar hanya
dimengerti oleh segelintir orang.
Kesimpulan
Dari
semua yang telah dikedepankan tersebut dapatlah diambil kesimpulan
setidak-tidaknya untuk sementara bahwa para perawan remaja itu. Pertama,
janji menyekolahkan ke Tokyo dan Shonanto oleh Pemerintah Pendudukan
Balatentara Dai Nippon, yang tak pernah diumumkan dengan resmi, terutama tidak
pernah tercantum dalam Osamu Serei /Lembaga Negara adalah suatu kesengajaan
untuk menghilangkan jejak perbuatan agar orang tidak mudah menjejak
kejahatannya. Setelahnya dilepas tanpa tanggungjawab, tanpa pesangon, tanpa
fasilitas dan tanpa terimakasih dari pihak balatentara Dai Nippon, sebagai
tindakan bercuci tangan terhadap kejahatannya sendiri.
Kedua, para perawan remaja itu meninggalkan kampung
halaman dan keluarganya, diserahkan pada naluri hidup masing-masing, yang
dijemput di rumah masing-masing dan dibawa juga ditempatkan bukan saja di
wilayah Indonesia juga luarnya, pun menempuh pelayaran berbahaya bukan atas
kemauan sendiri tetapi karena ketakutan orangtua mereka terhadap ancaman
Jepang. Juga tidak mendapatkan perhatian dari keluarganya sendiri.
Ketiga, Jepang memilih para perawan
remaja yang belum dewasa untuk memenuhi impian seks serdadu Jepang pada satu
pihak, dan agar tidak mendapat perlawanan dari remaja tidak berdaya itu di
pihak lain. Yang mana surat ini ditunjukkan bukan saja agar kita tahu tentang
nasib buruk yang menimpa para gadis yang seumuran dengan kita, juga agar
memiliki rasa perhatian terhadap sejenis kemalangan. Juga tidak mendapatkan
pelayanan dan perlindungan hukum dari Pemerintah RI. Sebagai akibatnya, sampai
1979 atau sekitar 35 tahun mereka menjadi buangan yang dilupakan.
*Oleh Sahabat Eka Sandra Kumalasari (kader PMII Rashul 2017)