Ditilik dari segi historis, kondisi hiruk pikuk politik semasa
kolonialisme telah memunculkan berbagai bentuk gerakan. Utamanya dari kalangam
Islam, sejak zaman penjajahan organisasi-organisasi muslim telah ikut serta
dalam memperjuangkan kemerdekaan. Gerakan semacam ini, merupakan awal mula adanya populisme Islam di
Indonesia.
Gerakan
populisme sendiri ada sebagai wadah dari berbagai kalangan yang merasa
termarginalisasi. Gerakan tersebut lahir sebagai ekspresi kritik atas
ketidakadilan akibat dari rangkaian aktivitas ekonomi politik globalisasi dan
neo-liberalisme. Termarginalisasi dalam sebuah sistem politik global membuat
komunitas-komunitas Muslim merasakan hal yang sama, yaitu tertindas. Hal inilah
yang kemudian melahirkan corak baru populisme Islam, seperti yang kita rasakan
saat ini.
Populisme
telah berhasil melebur berbagai macam kepentingan, aspirasi dan keluhan dari
berbagai kelas sosial perkotaan, mulai dari masyarakat kelas bawah hingga
menengah. Peleburan tersebut pada akhirnya menghasilkan sebuah potensi kekuatan
dan gerakan politik yang dahsyat, sebagaimana terlihat pada fenomena Ahok dan
Pilkada Jakarta tahun 2017 lalu.
Lewat praktik
kolonialisme, dominasi dan hegemoni dunia Barat atas dunia Muslim memunculkan
fase awal populisme Islam. Ketimpangan antar kelas menjadi produk spesifik yang
lahir dari sistem politik yang hegemonik saat ini. Satu yang menjadi titik
tekan, bahwa populisme Islam membutuhkan kendaraan untuk dapat menanungi
berbagai kalangan. Karena memang salah satu corak dari populisme Islam umumnya
adalah untuk sampai pada merubah sistem tatanan negara. Sebagai contoh Ikhwanul
Muslimin, organisasi Islam di Mesir yang memiliki peranan penting dalam
menumbangkan pemerintahan otoriter Hosni Mubarak.
Satu lagi,
corak dari populisme Islam di Indonesia adalah adanya rasa termarginalkan pihak
borjuasi kecil dan kalangan etnis Tionghoa yang saat ini. Etnis Tionghoa
dianggap sebagai ancaman bagi kalangan borjuasi cilik Indonesia dan etnis
penguasa sumber-sumber ekonomi. Kalangan ini juga terlihat ikut menumpang dalam
fenomena Ahok dan Pilkada Jakarta tahun 2017 lalu sebagai bentuk stereotype
etnis.