Dirunut dari sejarahnya, globalisasi merupakan alternatif yang
telah disiapkan negara-negara pusat kapitalisme sejak sebelum strategi
pembangunan (developmentalisme) dilancarkan dan mengalami kegagalan. Krisis
terhadap pembangunan yang terjadi saat ini pada dasarnya merupakan bagian dari
krisis sejarah dominasi dan ekploitasi manusia yang lain yang diperkirakan
telah berusia lima ratus tahun.
Proses dominasi
sejarah pada umumnya dibagi menjadi tiga periode. Fase pertama adalah periode
kolonialisme yakni fase perkembangan kapitalisme di Eropa yang mengharuskan
ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah, fase ini
dikatakan penjajahan secara langsung. Fase kedua merupakan berakhirnya
penjajahan secara langsung kemudian tergantikan oleh penjajahan teori dan
ideologi, fase ini dikenal dengan era pembangunan atau era developmentalisme.
Kemusdian fase ketiga terjadi menjelang abad dua puluh satu, ditandai dengan
liberalisasi segala bidang yang dipaksakan.
Melalui structural
adjusment program oleh lembaga finansial global, dan disepakati oleh rezim
GATT dan Perdagangan Bebas, suatu organisasi global yang dikenal WTO (World
Trade Organization) proses liberalisasi semakin berjalan lancar. Sejak saat
itulah suatu era baru telah mencul menggantikan era sebelumnya, dan dengan
begitu dunia memasuki periode yang dikenal dengan globalisasi
Secara garis besar
globalisasi adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem
ekonomi dunia berdasarkan pada perdagangan bebas. Para teoritisi kritis sejak
lama telah meramalkan bahwa kapitalisme akan berkembang menuju pada dominasi
ekonomi, sosial, politik, dan budaya beskala global. Secara teoritis tidak ada
perubahan ideologi dari ketiga fase yang telah disebutkan diatas, bahkan lebih
bersifat canggih, eksploitatif, represif, dan secara budaya berwatak hegemonik
dan diskursif.
Semua mekanisme
dan proses globalisasi yang diperjuangkan oleh aktor-aktor globalisasi yakni
TNC’s (trans national corporations), Bank Dunia/IMF melalui kesepakatan
yang di buat di WTO sebenarnya dilandaskan pada suatu ideologi yang dikenal
dengan neo-liberalisme. Penganut paham ekonomi neo-liberalisme percaya bahwa
pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil dari kompetisi bebas, berangkat dari
itu pasar bebas adalah cara yang tepat dan efisien untuk mengalokasikan sumber
daya alam untuk memnuhi kebutuhan manusia.
Secara lebih
spesifik, pokok-pokok pendirian neo-liberal meliputi, pertama, bebaskan
perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah. Kedua, hentikan subsidinegara
kepada rakyat. Ketiga, penghapusan ideologi “kesejahteraan bersama” dan
pemilikan komunal, karena dinilai menghambat pertumbuhan. Implikasi perubahan
kebijakan nasional ini tidak saja akan memarjinalkan rakyat miskin namun juga
akan berhadapan dengan kepentingan dan nasib para petani kecil, nelayan,
pedagang, serta masyarakat adat, khususnya dalam hal perebutan sumber daya
alam, tanah, hutan dan laut (Mansour Fakih, 2010).