Oleh : A.m Safwan (Pengasuh PonPes Muthahhari Yogyakarta)
Diskusi ini bertujuan untuk mengetahui konteks keislaman kita untuk
dipahami dan disyukuri dan juga untuk mengkritik pemikiran kapitalisme yang
mana masih ada dalam permasalahan agama. Agama sekarang juga sering dijadikan
sebagai politisasi, seperti contoh dalam Pilkada DKI Jakarta. Kemudian juga gerakan
rasional yang bisa masuk ke kampus, contohnya HTI, dll.
Agama semakin lama tidak menjadi kekuatan yang masif, tapi candu.
Dalam artian ada beberapa nilai-nilai yang secara sadar atau tidak sadar
tereduksi dan tergantikan oleh sesuatu yang tidak esensial dan substansial.
Contohnya, membuat masjid bagus tapi lingkungan sekitarnya rusak. Jika ditelaah
dengan NDP PMII yang di dalamnya mencakup hablun min Allah, hablun min an-nas,
hablun min al-alam contoh tersebut adalah suatu ketimpangan. NDP dalam PMII
harus diditerapkan secara bersamaan dan sinergis. Apabila kita dapat beribadah
dengan nyaman kepada Allah namun di waktu yang bersamaan 3 KM dari masjid
terjadi penebangan hutan secara liar yang nantinya akan mengganggu keseimbangan
alam sekitar dan kita biarkan tanpa perjuangan menggagalkan, maka dalam hal
tersebut keberagamaan kita belum bisa dikatakan beragama secara utuh karena
substansi agamanya belum tersentuh.
Apa persoalan sekarang?
1.
Politisasi
agama, menjadi hal yang paling mewarnai kehidupan bernegara kita. Konflik agama
sebenarnya diwarnai kapitalisme (uang) bukan murni karena konflik internal
agama. Adanya perselingkuhan kapitalisme dan feodalisme.
Politik tidak sama dengan partai politik, tapi partai itu mewadahi
politik. Di sinilah kapitalisme menguasai politik, orang-orang yang berkecimpung
di dunia politik sudah pasti membutuhkan uang, dalam artian membutuhkan uang untuk
kebutuhan administratifnya. Kemudian berarti pula bahwa politik telah
dijalankan oleh mesin atau bisa jadi menjadi pesanan dari para pemilik modal.
Tak jarang, agama yang sering digunakan sebagai alat untuk
menyukseskan kepentingan, agama bersentuhan dengan pemilik modal.
Jika ditelisik, adanya sekte-sekte dalam Islam banyak dipengaruhi oleh
politik dan justru menjadi kepentingan pada masa tersebut.
2. Agama
kita tidak sensitif terhadap budaya, dalam artian pengajaran agama masih banyak
yang kaku. Kurangnya kebudayaan yang dimasukan dalam pengajaran agama menjadikan
hal tersebut perlu untuk dikembangkan, salah satunya adalah apa itu Islam
Nusantara atau Islam khas Indonesia.
3. Membawa agama dalam relasi kritis yang
bersifat struktural, dalam hal ini perlu adanya aktor-aktor intelektual organik
untuk mendukungnya. Penyadaran kepada kaum tertindas bahwa mereka tertindas
secara struktural adalah penting untuk adanya gerakan-gerakan perlawanan kaum
tertindas.
Istilah teologi pembebasan identik dengan agama Kristen, dalam Islam
dikenal dengan istilah kiri Islam. Maksud teologi pembebasan adalah membebaskan
agama dari penindasan. Ali Syari’ati dalam pemikirannya berdasarkan tauhid,
yang berati tidak boleh ada penindasan karena Allah yang berhak menguasai semua.
Berbicara
terkait agama adalah berbicara mengenai Tuhan-alam-manusia, ketiganya adalah
satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan, tidak antroposentris saja, atau
kosmosentris, atau teosentris saja tapi menyatukan.
Agama harus
bersifat ilmiah menurut Ali Syariati, kekuatan agama itu adalah kekuatan
ilmiyahnya. Agama itu basis ilmu sosial, orang beragama harus peka terhadap
sosial jadi jangan menjadikan agama untuk menjauhkan kita dari sosial. Selama
ini agama-agama yang ada terlalu metafisik dan abstrak.
Ali syariati
selain mengembangkan agama agar dapat ditelaah secara ilmiah, tapi juga
menjelaskan kaitan tipologi agama yang mencakup salah satunya menjadikan keabstrakan
Tuhan menjadi sesuatu yg ilmiah, mengaitkan Tuhan, Rasul, dan pengembang, ditafsirkan
kehidupan mereka merupakan pesan ilmiah sebagai fungsi kritis dimana pemikiran
Ali Syari’ati dikenal dengan filsafat sejarahnya. Sejarah digunakan sebagai
alat kritik.
Sifat agama itu populis, orang yang membawa pesan-pesan agama tapi
bergelimang harga itu sangat tidak pantas atau pengajar agama (ustadz) seharusnya
bukan dijadikan sebagai profesi agama. Pun sifat pembebasan dalam agama idealnya membawa pada sosialisme, penindasan
atas agama harus dilawan, membebaskan penindasan dalam segi tekstual, kontekstual,
maupun mufasir.
Ali Syariati dengan tiga pokok pemikirannya yaitu kaitan sifat ilmiah agama, tipologi agama, dan filsafat sejarah adalah hal penting untuk dipelajari
utamanya untuk mengkaji kaitan agama.
Sosiologi agama terbentuk dari pengetahuan kita terhadap sejarah.
Agama perlu dibebaskan dari struktur-struktur yang menindas dan membodohi
pemeluknya. Kita harus kritis pada tekstualitas keagamaan. Ilmu sosial harus
terlibat dalam pembebasan yang hanya bukan memahami realitas tapi terjun ke
dalam realitas.
Perubahan harus didasari oleh sistem bukan ketokohan, ini yang
masih menjadi masalah dalam islam, ketika seorang tokoh sudah tiada, apa yg
harus dilakukan? Agama tidak boleh condong terhadap proses ketokohan, tapi
lebih pada sistem yang justru memiliki peluang lebih untuk mengarah pada
perubahan yang lebih baik.
*Notulen: Sahabat Aji Yoga A. (kader PMII Rashul 2016)