Judul
Buku : Politik Berpayung Fiqh
Penulis : Dr. K.H. A. Malik Madaniy, M.A
Penerbit : Pustaka Pesantren
Cetakan : Pertama, Mei 2010
Tebal :
152 halaman
Politik
dan Fiqh, kini seakan tak terpisahkan, banyak politisi yang beragama Islam
menggunakan fiqh untuk kepentingan politiknya. Namun ada juga orang yang sangat
anti terhadap politik karena menganggap dunia politik penuh dengan permainan
kotor. Pelbagai masalah keislaman maupun perpolitikan yang semakin berkembang
membuat manusia sulit untuk menghentikanya. Maka dari itu perlu sekali membedah
perpolitikan Nusantara dengan pisau syari’at, melalui penggalian khazanah Islam
klasik maupun kontemporer, seperti yang tersurat diawal buku ini.
Dalam
buku ini, penulis membahas tuntas pelbagai problematika politik yang dilihat
dari kacamata fiqih, serta beberapa oknum yang sengaja menggunakanya untuk
kepentingan politik itu sendiri.
Tentang
kepemimpinan perempuan semisal, dalam buku ini perempuan boleh menjadi pemimpin
di dalam negara, karena ketika dahulu tidak diperbolehkannya menjadi pemimpin
hanyalah unsur politis. Berpacu pada undang-undang maupun hukum-hukum yang ada
di Indonesia ini, bahwa negara menghargai peran seluruh rakyatnya, baik
laki-laki maupun perempuan untuk membangun bangsa dan negara.
“Tidak
akan beruntung suatu komuinitas yang mungusahakan urusan mereka kepada seorang
perempuan” (H.R al-Bukhari, at-Tirmidzi, dan Ahmad). Sabda Rasulullah Saw ini
menjadi argumen populer tentang tidak sahnya perempuan menjadi khalifah, atau
yang bisa dianggap sebagai kepala negara. Ditinjau dari asbabul wurud (sebab
kemunculan) hadist ini, adanya berita yang sampai Rasulullah Saw tentang bangsa
Persia yang mengangkat Buran, puteri Kisra sebagai kepala negara. Namun untuk
memahami asbabulwurud, Syah Waliyullah ad-Dihlawi dalam teorinya membedakan
antara asbab mikro (kasus-kasus secara detail) dan asbab makro (konteks sosio
historis kultural ketika kemunculanya). Menurutnya asbab makro jauh lebih penting
dan merupakan asbabulwurud yang haqiqi. Ketika hadist itu diriwayatkan oleh
Rasulallah Saw, perlu dipahami ketika itu perempuan dalam kondisi
keterbelakangan, tidak mungkin sukses untuk memimpin suatu komunitas, apalagi
notabenya komunitas bangsa dan negara.
Mayoritas
perempuan masa kini yang tak lagi mengalami keterbelakangan, seperti
pendidikan, peran kerja, dan sebagainya tak jauh berbeda dengan laki-laki, maka
peluang perempuan untuk menjadi kepala
negara sangatlah lebar. Bahkan telah banyak bukti yang menunjukan kemampuan
perempuan dalam kepemimpinan yang menyamai tokoh-tokoh laki-laki saat memimpin
suatu negara.
Mengenai
peran serta masyarakat sebagai negara demokrasi, semarak demokrasi Indonesia
begitu variatif. Salah satunya adalah pemilihan umum (pemilu), namun dalam buku
ini lebih ditegaskan permasalahan pada pemilihan kepala daerah (pilkada). Berlakunya
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah menciptakan
suasana baru dalam proses pemilihan kepala daerah, baik di tingkat propinsi
maupun tingkat kabupaten dan kota (hal. 21). Sebelumnya kepala daerah dipilih
secara musyawarah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), namun semenjak
berlakunya undang-undang tersebut mereka harus dipilih secara langsung di masing-masing
daerah.
Akan
tetapi, berbagai dampak negatif dari sistem pilkada ini mulai bermunculan.
Misalnya, karena ambisi calon pemimpin yang begitu besar, mereka menghalalkan
segala cara demi memenangkan pilkada, yaitu dengan money politics
(politik uang) dan black campaign (kampanye hitam/menjelek-jelekan calon
lain). Bahkan sudah tidak menjadi rahasia lagi bahwasanya pilkada memerlukan
dana yang begitu besar, maka dari itu calon terpilih akan merelakan begitu saja
dana yang keluar ketika kampanye. Akibatnya ketika sudah menjadi pemimpin tidak
mustahil rasanya korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) itu terjadi. Ditinjau secara real
pilkada di Indonesia lebih besar mafsadatnya dari pada maslahatnya. “Dar
u al- mafasid aula min jalbi al-masholih” melihat dari qo’idah
al-fiqhyah tersebut penulis berkesimpulan
bahwa sisitem pemilihan daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2014 perlu
adanya pengkajian ulang.
Masih
banyak permaslahan yang dibahas dalam buku yang berjudul Politik Berpayung
Fiqh, berbagai permasalahan politik yang terjadi di Indonesia dijelaskan secara
rinci menyesuailan kaidah-kaidah dalam fiqh, serta memanfaatkan khazanah
pemikiran dari ulama islam, baik ulama klasik maupun kontemporer, kemudian
membumikanya dalam konteks keindonesiaan. Walaupun tedapat di beberapa halaman
Dr. K.H A. Malik Madaniy, M.A menjelaskan permasalahan dan kesimpulanya dengan
kalimat yang bertele-tele dan penjelasan njelimet, sehingga pembaca sedikit
kewalahan untuk memahaminya, padahal buku ini dapat memberikan bimbingan kepada
umat agar berpolitik sesuai dengan etika dan moralitas Islam. (Aji)