Muhammad Iqbal seorang modernis yang berasal dari keluarga golongan menengah di daerah Punjab. Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1876[1]. Perjalanan intelektualnya dimulai saat di Sialkot. Pada saat itu Iqbal memberoleh guru yang bernama Maulana Mir Hasan adalah seorang teman dekat dari ayah Iqbal sendiri. Gurunya pun segera mengetahui kecerdasan muruidnya. Ia pun selalu memberi semangat pada muridnya itu. Iqbal pun mengakui gurunya itulah yang palin terkenang dalam hatinya yang telah membentuk jiwanya dan memberinya ilmu-ilmu agama.[2]
Setelah di Sialkot Iqbal melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Lahore. Di sana dia memperoleh gelar kesarjanaannya B.A. Di Lahore dia berkenalan dengan seorang orientalis yang bernama Thomas Arnold yang kemudian mendorong Iqbal untuk melanjutkan studinya ke Inggris.[3] Di Inggris Iqbal masuk di Univesitas Cambridge pada 1905 untuk belajar filsafat, kemudian dia pindah ke Munich, Jerman. Di sinilah dia memperoleh gelar doctoralnya dengan tesis The Development of Metaphysics in Persia. Pada masa yang sama dia juga menyelesaikan studi dalam bidang hukum di Lincoln, Cambridge, yang sempat tidak dia selesaikan pada saat di India.[4]
Tahun 1908 dia kembali ke Lahore, tempat dia memperoleh gelar kesarjanaannya pertama. Di Lahore dia menjadi dosen selain itu juga dia adalah seorang pengacara.[5] Ketika di India, Iqbal mengisi ceramah-seramah diberbagai universitas di India, dan dari ceramah-ceramahnya tersusunlah sebuah buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Sebagai seorang yang aktif, pada tahun 1930 dia mulai masuk dalam dunia politik bergabung dengan Liga Muslimin, yang sebulumnya telah dia amati sejak tahun 1910.[6]
Sama halnya dengan para pembaharu Islam lainnya, Iqbal pun berpendapa bahwa ada sebuah kemunduran dalam Islam. Ia beranggapan bahwa dunia Islam ini mengalami kemunduran yang disebabkan oleh kebekuan pemikiran.[7] Pemeluk Islam terlalu terpaku pada produk hukum yang seolah tidak dapat diubah lagi, stagnan. Padahal, hukum-hukum yang terdapat dalam Islam menurut Iqbal bersifat dinamis, dapat berubah-ubah sesuai dengan apa yang dihadapi teks dasar hukum Islam dan di mana teks itu berada.
Sebab lain yang menurut Muhammad Iqbal Islam mengalami kemunduran adalah dari pengaruh zuhud yang terdapat dalam ajaran tasawwuf.[8] Dalam ajaran tasawuf, zuhud sering diartikan sebagai perhatian penuh terhadap Allah dan meninggalkan segala urusan dunia. Hal ini yang kemudian menjadikan umat Islam seseringkali meninggalkan urusan-urusan yang sifatnya sosial kemsyarakatan. Padahal Islam pun menganjurkan untuk saling berinteraksi dengan sesama manusia. Dari awal sudah kurang tepat dalam mengartikan sebuah kata “zuhud”.
Dalam berhubungan sosial tidak hanya terpaku pada hubungan antar manusia saja, termasuk berhubungan dengan Tuhan adalah salah satau interaksi makhluk dengan Sang Pencipta, begitu juga dengan hubungan manusia dengan lingkungan (dalam artian alam seketiar).
Seperti halnya hancurnya Baghdad, menurut Iqbal sebagi pusat kemujan pemikiran Islam di pertengahan abad ke-13 kaum konservatif mengupayakan keseragaman hidup sosial diseluruh umat sebagai penolakkan atas disintegrasi yang mendalam. Mereka menolak segala bentuk pembaharuan dalam bidang syariat dan berpegang teguh pada hukum-hukum yang telah ditentukan para salafus sholih, pintu ijtihad pun mereka tutup.[9]
Pemikiran Iqbal yang begitu kritis ini dia peroleh semenjak ia hidup di Eropa. Dia berpegang pada tiga prinsip, yakni vitalitas dan dinamisme masyarakat eropa dalam menghadapi problematika kehidupan, potensi-potensi yang telah dikembangkan oleh orang Barat sementara orang Timur belum memimpikannya, dan kehidupan orang eropa yang menciptakan pribadi sekuler.[10]
Pembaharuan Hukum Islam
Sebagai bagian dari orang yang telah mengalami dinamika kehidupan di eropa, tentu saja Iqbal sangat berbeda dalam memandang aspek hukum yang berlaku dalam Islam. Pandangan yang tidak terlalu terpaku pada landasan dasar yaitu al-Qur’an dan hadits akan dianggap sebagai orang yang telah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam menurut kalangan konservatif.
Seperti halnya Iqbal, dia memandang al-Qur’an tidak hanya sebagai sumber hukum saja, namun bagi Iqbal yang lebih penting dalam al-Qur’an adalah sebagi sumber etika. Dari pandangan ini kemudian dikembangkan oleh pemkir Islam setelah Iqbal yaitu Fazlur Rahman. Rahman beranggapan bahwa al-Qur’an adalah sumber-sumber dasar mengenai moral dan etik, bukan hanya dokumen yang memuat hukum-hukum yang kaku.[11]
Menurut Iqbal (seperti yang telah disebutkan di atas), pertama al-Qur’an tidak hanya memegang prinsip-prinsip dasar hukum saja, dalam al-Qur’an juga memuat prinsip-prinsip etika.[12] Prinsip-prinsip dasar yang termuat dalam al-Qur’an sangat memungkinkan adanya perkembangan secara luas, yaitu sesuai dengan sejarah manusia. Maka dari sinilah al-Qur’an adalah sumber yang sangat universal dan relevan diberbagai zaman yang ada.
Ketika umat Islam memahami al-Qur’an adalah sumber yang universal maka akan ada gerakan dari umat untuk mengembangkannya dengan keratif dan dinamis, sesuai dengan keadaan reel masyarakat sekarang. Melalui pendekatan rasional terhadap al-Qur’an yang menghargai gerak dan perubahan, namun juga tidak mengabaikan dimensi al-Qur’an yang bersifat konstan dan harus dipertahankan.[13]
Kemudian yang kedua adalah pandangannya terhadap hadits. Menurut kajiannya hadits didasaran pada situasi dan kondisi masyarakat yang berkembang pada saat itu. Iqbal sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Syah Waliyullah, yakni Nabi Muhammad ketika menyampaikan risalah-risalah Tuhan perihal hukum – misalnya – membawakannya secara umum dengan tidak mengabaikan kebiasaan masyarakat yang dihadapinya dan kemudian dijadikan “kerangka” dasar dalam membangun hukum Islam yang univeersal. Dia menanamkan prinsip-prinsip dasar syariat “dar u mafasid wa jalbu al mashalih”.[14] Maka keyakinan bahwa Islam sebagai ajaran rahmata lil’alamin adalah apa yang disampaikan Nabi Muhammad pada saat itu tidak hanya berhenti pada saat itu saja, namun dapat berkembang dan menjadi dasar bagi generasi selanjut-selanjutnya.
Sebagai seorang pembaharu Muhammad Iqbal memberikan banyak sumbangan terhadap dunia Islam khususnya dalam hal hukum Islam. Iqbal menempatkan sumbeer-sumber dasar dalam Islam bukan hanya pada sisi doktrinal dan juga sebagai sumber hukum yang konstan tanpa ada perkembangan selanjutnya. Perhitungan Iqbal dalam menentukkan hukum dalam Islam tidak hanya ditinjau dari segi teologis saja, filsafat, tasawuf ilmu sosial dan sastra pun menjadi sudut pandang Iqbal dalam memeperhitungan dinamika yang terjadi di kehidupan terhadap al-Qur’an dan hadits.
[1] Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), hal. 183
[2] Suhermanto Ja’far, Epistemologi Tindakan: Jurnal Teosofi- Volume 5 Nomor 1-Juni 2015.pdf, (Surabaya: UIN Sunan Ampel), hal. 83
[3] Prof. Dr. Harun Nasution, Op cit, hal. 183
[4] Abdullah Firdaus, Konsep Negara Islam dalam Pemikiran Politik Muhammad Iqbal: Jurnal Media Akademika-Volume 29 Nomor 1-Januari 2014.pdf (Jambi: IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, 2014),hal. 25
[5] Prof. Dr. Harun Nasution, Op cit, hal. 183
[6] Abdullah Firdaus, Op cit. hal. 25
[7] Prof. Dr. Harun Nasution, Op cit, hal. 184
[8] Ibid, hal. 184
[9] Ibid, hal. 184
[10] Darmawan Tia Indrajaya, Kontribusi Pemikiran Muhammad Iqbal Dalam Pembaharuan Hukum Islam, Jurna Hukum Islam – Vol. 13, No. 1 – Juni 2013: UIN Suska Riau, hal. 3
[11] Ibid, hal. 9
[12] Ibid, hal. 6
[13] Parven Shaukat Ali, The Political Phlosophy of Iqbal, Lihat Darmawan Tia Indrajaya, Kontribusi Pemikiran Muhammad Iqbal Dalam Pembaharuan Hukum Islam, Jurna Hukum Islam – Vol. 13, No. 1 – Juni 2013: UIN Suska Riau, hal. 7
[14] Ibid, hal. 7
Setelah di Sialkot Iqbal melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Lahore. Di sana dia memperoleh gelar kesarjanaannya B.A. Di Lahore dia berkenalan dengan seorang orientalis yang bernama Thomas Arnold yang kemudian mendorong Iqbal untuk melanjutkan studinya ke Inggris.[3] Di Inggris Iqbal masuk di Univesitas Cambridge pada 1905 untuk belajar filsafat, kemudian dia pindah ke Munich, Jerman. Di sinilah dia memperoleh gelar doctoralnya dengan tesis The Development of Metaphysics in Persia. Pada masa yang sama dia juga menyelesaikan studi dalam bidang hukum di Lincoln, Cambridge, yang sempat tidak dia selesaikan pada saat di India.[4]
Tahun 1908 dia kembali ke Lahore, tempat dia memperoleh gelar kesarjanaannya pertama. Di Lahore dia menjadi dosen selain itu juga dia adalah seorang pengacara.[5] Ketika di India, Iqbal mengisi ceramah-seramah diberbagai universitas di India, dan dari ceramah-ceramahnya tersusunlah sebuah buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Sebagai seorang yang aktif, pada tahun 1930 dia mulai masuk dalam dunia politik bergabung dengan Liga Muslimin, yang sebulumnya telah dia amati sejak tahun 1910.[6]
Sama halnya dengan para pembaharu Islam lainnya, Iqbal pun berpendapa bahwa ada sebuah kemunduran dalam Islam. Ia beranggapan bahwa dunia Islam ini mengalami kemunduran yang disebabkan oleh kebekuan pemikiran.[7] Pemeluk Islam terlalu terpaku pada produk hukum yang seolah tidak dapat diubah lagi, stagnan. Padahal, hukum-hukum yang terdapat dalam Islam menurut Iqbal bersifat dinamis, dapat berubah-ubah sesuai dengan apa yang dihadapi teks dasar hukum Islam dan di mana teks itu berada.
Sebab lain yang menurut Muhammad Iqbal Islam mengalami kemunduran adalah dari pengaruh zuhud yang terdapat dalam ajaran tasawwuf.[8] Dalam ajaran tasawuf, zuhud sering diartikan sebagai perhatian penuh terhadap Allah dan meninggalkan segala urusan dunia. Hal ini yang kemudian menjadikan umat Islam seseringkali meninggalkan urusan-urusan yang sifatnya sosial kemsyarakatan. Padahal Islam pun menganjurkan untuk saling berinteraksi dengan sesama manusia. Dari awal sudah kurang tepat dalam mengartikan sebuah kata “zuhud”.
Dalam berhubungan sosial tidak hanya terpaku pada hubungan antar manusia saja, termasuk berhubungan dengan Tuhan adalah salah satau interaksi makhluk dengan Sang Pencipta, begitu juga dengan hubungan manusia dengan lingkungan (dalam artian alam seketiar).
Seperti halnya hancurnya Baghdad, menurut Iqbal sebagi pusat kemujan pemikiran Islam di pertengahan abad ke-13 kaum konservatif mengupayakan keseragaman hidup sosial diseluruh umat sebagai penolakkan atas disintegrasi yang mendalam. Mereka menolak segala bentuk pembaharuan dalam bidang syariat dan berpegang teguh pada hukum-hukum yang telah ditentukan para salafus sholih, pintu ijtihad pun mereka tutup.[9]
Pemikiran Iqbal yang begitu kritis ini dia peroleh semenjak ia hidup di Eropa. Dia berpegang pada tiga prinsip, yakni vitalitas dan dinamisme masyarakat eropa dalam menghadapi problematika kehidupan, potensi-potensi yang telah dikembangkan oleh orang Barat sementara orang Timur belum memimpikannya, dan kehidupan orang eropa yang menciptakan pribadi sekuler.[10]
Pembaharuan Hukum Islam
Sebagai bagian dari orang yang telah mengalami dinamika kehidupan di eropa, tentu saja Iqbal sangat berbeda dalam memandang aspek hukum yang berlaku dalam Islam. Pandangan yang tidak terlalu terpaku pada landasan dasar yaitu al-Qur’an dan hadits akan dianggap sebagai orang yang telah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam menurut kalangan konservatif.
Seperti halnya Iqbal, dia memandang al-Qur’an tidak hanya sebagai sumber hukum saja, namun bagi Iqbal yang lebih penting dalam al-Qur’an adalah sebagi sumber etika. Dari pandangan ini kemudian dikembangkan oleh pemkir Islam setelah Iqbal yaitu Fazlur Rahman. Rahman beranggapan bahwa al-Qur’an adalah sumber-sumber dasar mengenai moral dan etik, bukan hanya dokumen yang memuat hukum-hukum yang kaku.[11]
Menurut Iqbal (seperti yang telah disebutkan di atas), pertama al-Qur’an tidak hanya memegang prinsip-prinsip dasar hukum saja, dalam al-Qur’an juga memuat prinsip-prinsip etika.[12] Prinsip-prinsip dasar yang termuat dalam al-Qur’an sangat memungkinkan adanya perkembangan secara luas, yaitu sesuai dengan sejarah manusia. Maka dari sinilah al-Qur’an adalah sumber yang sangat universal dan relevan diberbagai zaman yang ada.
Ketika umat Islam memahami al-Qur’an adalah sumber yang universal maka akan ada gerakan dari umat untuk mengembangkannya dengan keratif dan dinamis, sesuai dengan keadaan reel masyarakat sekarang. Melalui pendekatan rasional terhadap al-Qur’an yang menghargai gerak dan perubahan, namun juga tidak mengabaikan dimensi al-Qur’an yang bersifat konstan dan harus dipertahankan.[13]
Kemudian yang kedua adalah pandangannya terhadap hadits. Menurut kajiannya hadits didasaran pada situasi dan kondisi masyarakat yang berkembang pada saat itu. Iqbal sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Syah Waliyullah, yakni Nabi Muhammad ketika menyampaikan risalah-risalah Tuhan perihal hukum – misalnya – membawakannya secara umum dengan tidak mengabaikan kebiasaan masyarakat yang dihadapinya dan kemudian dijadikan “kerangka” dasar dalam membangun hukum Islam yang univeersal. Dia menanamkan prinsip-prinsip dasar syariat “dar u mafasid wa jalbu al mashalih”.[14] Maka keyakinan bahwa Islam sebagai ajaran rahmata lil’alamin adalah apa yang disampaikan Nabi Muhammad pada saat itu tidak hanya berhenti pada saat itu saja, namun dapat berkembang dan menjadi dasar bagi generasi selanjut-selanjutnya.
Sebagai seorang pembaharu Muhammad Iqbal memberikan banyak sumbangan terhadap dunia Islam khususnya dalam hal hukum Islam. Iqbal menempatkan sumbeer-sumber dasar dalam Islam bukan hanya pada sisi doktrinal dan juga sebagai sumber hukum yang konstan tanpa ada perkembangan selanjutnya. Perhitungan Iqbal dalam menentukkan hukum dalam Islam tidak hanya ditinjau dari segi teologis saja, filsafat, tasawuf ilmu sosial dan sastra pun menjadi sudut pandang Iqbal dalam memeperhitungan dinamika yang terjadi di kehidupan terhadap al-Qur’an dan hadits.
[1] Prof. Dr. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), hal. 183
[2] Suhermanto Ja’far, Epistemologi Tindakan: Jurnal Teosofi- Volume 5 Nomor 1-Juni 2015.pdf, (Surabaya: UIN Sunan Ampel), hal. 83
[3] Prof. Dr. Harun Nasution, Op cit, hal. 183
[4] Abdullah Firdaus, Konsep Negara Islam dalam Pemikiran Politik Muhammad Iqbal: Jurnal Media Akademika-Volume 29 Nomor 1-Januari 2014.pdf (Jambi: IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, 2014),hal. 25
[5] Prof. Dr. Harun Nasution, Op cit, hal. 183
[6] Abdullah Firdaus, Op cit. hal. 25
[7] Prof. Dr. Harun Nasution, Op cit, hal. 184
[8] Ibid, hal. 184
[9] Ibid, hal. 184
[10] Darmawan Tia Indrajaya, Kontribusi Pemikiran Muhammad Iqbal Dalam Pembaharuan Hukum Islam, Jurna Hukum Islam – Vol. 13, No. 1 – Juni 2013: UIN Suska Riau, hal. 3
[11] Ibid, hal. 9
[12] Ibid, hal. 6
[13] Parven Shaukat Ali, The Political Phlosophy of Iqbal, Lihat Darmawan Tia Indrajaya, Kontribusi Pemikiran Muhammad Iqbal Dalam Pembaharuan Hukum Islam, Jurna Hukum Islam – Vol. 13, No. 1 – Juni 2013: UIN Suska Riau, hal. 7
[14] Ibid, hal. 7