Salah satu pepatah mengatakan, “duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. duniaku bumi manusia dengan persoalannya.”
Melihat pepatah diatas, mungkin kita bisa berpikir sejenak untuk mengingat beberapa masalah yang telah terjadi di berbagai wilayah bumi pertiwi ini. Contohnya, yang masih menjadi perbincangan diberbagai media Nusantara, yakni masalah pendirian pabrik semen di pegunungan Kendeng. Ya benar sekali, hal ini akan mengakibatkan dampak negatif pada lahan-lahan serta keberlangsungan hidup para petani yang tinggal di sekitar pegunungan tersebut. Namun disisi lain, banyak argumentasi yang saling bertentangan dari warga pro dan kontra menanggapi terkait pendirian pabrik semen.
Setelah peristiwa antara warga pro dan kontra masalah pabrik semen tersebut, warga yang kontra ingin menjemput keadilan mereka atas keputusan yang sudah terjadi. Menurut argumen mereka, pendirian pabrik akan menjadikan pencemaran dan merusak ekosistem lingkungan di pegunungan kendeng. Padahal dalam UU sudah dijelaskan tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai peran masyarakat dalam melindungi dan mengelola lingkungan. Dalam hal ini, banyak warga yang bergabung untuk membentuk sebuah aliansi Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK). Dari aliansi ini muncul aksi demo yang dilakukan warga untuk menggugat keputusan pemerintah akibat pendirian pabrik semen. Mereka menjemput keadilan dengan memblokir jalan yang menjadi akses jalan masuk ke dalam pabrik dengan meletakkan bambo dan kayu di tengah jalan. Tak hanya itu, bahkan mereka melakukan perjalanan dari Rembang ke Semarang untuk mendapatkan hak-hak mereka kembali. Setelah sampai di Semarang, mereka melakukan aksi gugatan di depan gedung Gubernuran. Konflik ini berawal pada tahun 2010, dan terus berlanjut sampai pemerintah benar-benar mencabut izin pendirian pabrik tersebut.
Perjuangan warga pegunungan kendeng mulai menunjukkan titik terang usai pertemuan dengan pemerintah setempat. Akan tetapi, pemerintah setempat masih saja mengizinkan pendirian pabrik semen tersebut. Dengan hal ini, banyak warga yang kecewa dan merasa dikhianati oleh pemerintah. Akibatnya para warga menyemen kaki-kaki mereka tanpa mengindahkan apa yang terjadi mendatang. Penjemputan keadilan ini merupakan tohokan keras dan hujaman warga atas keangkuhan pemerintah melaksanakan kekuasaan yang tak bernurani, dan kekuasaan yang tak berkaki di bumi. Disamping itu, mereka juga mengajarkan kepada kita bagaimana pengurus Negara harus bisa memberikan perlindungan terhadap para warga dan keteguhan hati dalam memperjuangkan alam dari kerusakan yang dibuat oleh para pemimpin yang haus oleh pangkat, jabatan, dan juga kecurangan.
Mengenai pandangan diatas tentang perilaku pemerintah yang seperti itu, pemerintah mungkin lupa bahwa sistem hukum di Negara ini masih dipegang dan dikuasai oleh lingkaran mafia hukum dan peradilan. Jadi, ruang dari pengadilan juga tak mampu menjangkau nilai atau tjuan dari pengadilan itu sendiri. Mungkin dalam hal ini, pemerintah mengartikan hukum sebagai alat untuk mempropaganda politik yang ada di Negara ini. Pemerintah berfikiran bahwa para petani kendeng itu miskin, di mata mereka kemiskinan itu adalah kesalahan. Apakah mereka lupa bahwasanya lauk yang mereka makan adalah kerja para warga tersebut?.
Melawan mungkin cara yang tepat untuk mengingatkan para pemimpin meskipun dengan kemampuan mereka dan ketakmampuan mereka dalam menjaga kelestarian lingkungan. Ada kutipan seperti ini : Mereka membela apa yang menjadi haknya tanpa mengindahkan maut. Pramoedya ( Bumi Manusia,1980)
Penulis : Fajar Ainul Yaqin Anggota PMII RASHUL WALISONGO
Melihat pepatah diatas, mungkin kita bisa berpikir sejenak untuk mengingat beberapa masalah yang telah terjadi di berbagai wilayah bumi pertiwi ini. Contohnya, yang masih menjadi perbincangan diberbagai media Nusantara, yakni masalah pendirian pabrik semen di pegunungan Kendeng. Ya benar sekali, hal ini akan mengakibatkan dampak negatif pada lahan-lahan serta keberlangsungan hidup para petani yang tinggal di sekitar pegunungan tersebut. Namun disisi lain, banyak argumentasi yang saling bertentangan dari warga pro dan kontra menanggapi terkait pendirian pabrik semen.
Setelah peristiwa antara warga pro dan kontra masalah pabrik semen tersebut, warga yang kontra ingin menjemput keadilan mereka atas keputusan yang sudah terjadi. Menurut argumen mereka, pendirian pabrik akan menjadikan pencemaran dan merusak ekosistem lingkungan di pegunungan kendeng. Padahal dalam UU sudah dijelaskan tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai peran masyarakat dalam melindungi dan mengelola lingkungan. Dalam hal ini, banyak warga yang bergabung untuk membentuk sebuah aliansi Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK). Dari aliansi ini muncul aksi demo yang dilakukan warga untuk menggugat keputusan pemerintah akibat pendirian pabrik semen. Mereka menjemput keadilan dengan memblokir jalan yang menjadi akses jalan masuk ke dalam pabrik dengan meletakkan bambo dan kayu di tengah jalan. Tak hanya itu, bahkan mereka melakukan perjalanan dari Rembang ke Semarang untuk mendapatkan hak-hak mereka kembali. Setelah sampai di Semarang, mereka melakukan aksi gugatan di depan gedung Gubernuran. Konflik ini berawal pada tahun 2010, dan terus berlanjut sampai pemerintah benar-benar mencabut izin pendirian pabrik tersebut.
Perjuangan warga pegunungan kendeng mulai menunjukkan titik terang usai pertemuan dengan pemerintah setempat. Akan tetapi, pemerintah setempat masih saja mengizinkan pendirian pabrik semen tersebut. Dengan hal ini, banyak warga yang kecewa dan merasa dikhianati oleh pemerintah. Akibatnya para warga menyemen kaki-kaki mereka tanpa mengindahkan apa yang terjadi mendatang. Penjemputan keadilan ini merupakan tohokan keras dan hujaman warga atas keangkuhan pemerintah melaksanakan kekuasaan yang tak bernurani, dan kekuasaan yang tak berkaki di bumi. Disamping itu, mereka juga mengajarkan kepada kita bagaimana pengurus Negara harus bisa memberikan perlindungan terhadap para warga dan keteguhan hati dalam memperjuangkan alam dari kerusakan yang dibuat oleh para pemimpin yang haus oleh pangkat, jabatan, dan juga kecurangan.
Mengenai pandangan diatas tentang perilaku pemerintah yang seperti itu, pemerintah mungkin lupa bahwa sistem hukum di Negara ini masih dipegang dan dikuasai oleh lingkaran mafia hukum dan peradilan. Jadi, ruang dari pengadilan juga tak mampu menjangkau nilai atau tjuan dari pengadilan itu sendiri. Mungkin dalam hal ini, pemerintah mengartikan hukum sebagai alat untuk mempropaganda politik yang ada di Negara ini. Pemerintah berfikiran bahwa para petani kendeng itu miskin, di mata mereka kemiskinan itu adalah kesalahan. Apakah mereka lupa bahwasanya lauk yang mereka makan adalah kerja para warga tersebut?.
Melawan mungkin cara yang tepat untuk mengingatkan para pemimpin meskipun dengan kemampuan mereka dan ketakmampuan mereka dalam menjaga kelestarian lingkungan. Ada kutipan seperti ini : Mereka membela apa yang menjadi haknya tanpa mengindahkan maut. Pramoedya ( Bumi Manusia,1980)
Penulis : Fajar Ainul Yaqin Anggota PMII RASHUL WALISONGO