Tampaknya sudah menjadi tradisi politik di Tanah Air, setiap menjelang pemilu, muncul fenomena menarik di tengah masyarakat. Menyambut Pemilu 1997, aspirasi politik masyarakat mulai muncul dengan berbagai bentuk dan gaya, mulai dari kelahiran Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Lembaga Independen Pengawas Komite Independen Pemantau Pemilu (LIP-KIPP), doa politik, penggiringan warga NU ke Golkar, kampanye premature, dan lain-lain yang membuat suhu politik makin menghangat.
Sudah disinggung tadi, aspirasi umat Islam lah sasaran setiap organisasi peserta pemilu (OPP), tak juga karena sebagian penduduk Indonesia adalah beragama Islam, namun Islam juga sangat berpengaruh di negara seperti Indonesia ini. Oleh sebab itu para OPP mendekati setiap ormas Islam di Tanah Air untuk menambah dukungan dan menambah suara dalam setiap pemilu. Perbincangan antara keterkaitan agama dengan politik sudah sering menimbulkan perdebatan dan kontroversi. Yang pertama adalah pandangan bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari masalah-masalah keduniaan, apakah itu sosial-budaya, ekonomi, maupun politik. Karenanya, antara agama dan masalah-masalah dunia hendaknya ada kaitan yang formal. Sebagai orang beragama, demikian kalau argumen ini diteruskan, tidak pantas kiranya memisahkan persoalan-persoalan dunia dari agama. Yang kedua adalah pandangan bahwa bukan saja agama itu berbeda dengan persoalan keduniaan, tetapi antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali, dan karenanya harus dipisahkan. Kehidupan agama tidak bisa dicampurkan dengan kehidupan dunia. Agama merupakan persoalan pribai (private).[1]
Terus bagaimana Islam memandang politik ? Fakta poitik yang terjadi saat ini adalah kebalikan dari politik Islam yang sesungguhnya. Dalam istilah Islam sendiri politik yaitu siyasah yang berdefinisi pengaturan urusan umat di dalam dan di luar negri. Politik dilaksanakan oleh negara dan umat, karena negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi negara dalam pengaturan tersebut.
Dengan begitu, menggunakan agama sebagai dasar dalam berpolitik bukanlah politisasi agama. Yang layak disebut sebagai “politisasi agama” adalah mereka yang memanfaatkan agama untuk kepentingan sementara dalam memenangkan pemilu, lalu, setelah pemilu dimenangkan, agamapun akhirnya ditanggalkan. Inilah ”politisasi agama”.
Kita tentu tidak setuju kalau agama hanya digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek memenangkan pemilu. Apalagi kemudian setelah menang pemilu, agama ditinggalkan seperti yang selama ini terjadi. Tradisi elit-elit politik cenderung mendadak Islami menjelang pemilu. Mulai dari memakai kopiah, sholat jumat, sampai kunjungan ke pesantren dan ke majelis ta’lim. Setelah menang pemilu wassalam. Rakyat membutuhkan pemimpin bukan sekedar sholih secara ritual. Tapi pemimpin sholih secara politik, pemimpin yang mau menerapkan syariah Islam, pemimpin yang mau mencampakan ideologi dan sistem kapitalisme.
Harus diakui bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam agama dan kepercayaan ini belum mampu menciptakan kehidupan rukun. Propaganda toleransi dan kebebasan beragama sudah lama diserukan kepada masyarakat. Namun, kenyataannya tindak intoleran masih kerap terjadi. Tentu saja, hal ini terjadi bukan semata-mata karena masyarakat tidak mengetahui soal toleransi. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah rusaknya sistem dan tata aturan dalam menjamin terwujudnya kehidupan rukun di negeri ini. Diantaranya adalah karena pemerintah tidak tegas dalam menegakkan peraturan kehidupan beragama, konstitusi yang sangat lemah, juga karena masyarakat tidak puas hidup dalam sistem yang tidak memberikan keadilan bagi kehidupan beragama. Kasus sengketa pendirian rumah ibadah menjadi bukti yang amat nyata. Persoalan berlarut-larut, bahkan terulang di berbagai tempat.
Dan saat negara tidak mampu membina, bahkan terkadang arogan dalam menyelesaikan persoalan antar pemeluk agama, maka tindakan intoleransi kerap menjadi jalan keluar secara spontanitas. Ini berarti intoleransi sesungguhnya merupakan persoalan sistemik.
Sesungguhnya Islam adalah agama yang pernah hadir dalam sebuah institusi negara. Islam mampu menjadi ideologi, pandangan hidup, arah dan tujuan hidup bermasyarakat dan bernegara. Islam dengan seperangkat fikroh dan thariqoh telah memberikan pengaturan yang jelas tentang masalah hubungan antar pemeluk agama. Atas dasar ikatan aqidah ini, Islam menyatukan manusia diseluruh dunia, lintas bangsa, ras, suku, dan budaya.
Penulis : Affan Ghifary (kader PMII Rashul Walisongo 2016)
[1] Bahtiar Effendy, (RE)POLITISASI ISLAM, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 20