Mengenal Batas Minimum dan Maksimum Muhammad Syahrur





Nama lengkap beliau adalah Muhammad Syahrur Ibnu Dayb. Lahir pada tanggal 11 April 1938 di Salihiyah, Damaskus, Syiria. Syahrur adalah anak kelima dari pasangan Dayb Ibnu Dayb dan Siddiqah binti Salih Filyun. Istri syahrur bernama Azizah dan ia mempunyai lima orang anak, yaitu Tariq, Al Lais, Basul, masum dan rima[1].
Jenjang pendidikan beliau di tempuh dikotanya  yakni syria, pendidikan dasar dan menegahnya. Dan memperoleh ijazah pada tahun 1957.pada tahun 1958 dia memperoleh beasiswa dari pemerintah dan berangkat ke Saratow di Moskow, Uni Soviet untuk mempelajari tekhnik sipil dan pada tahun 1964, berhasil menyelesaikan program diploma tekhnik sipil. Tahun 1965, muhammad Syahrur kembali ke Syiria dengan gelar sarjana tekhnik sipil dan mengajar di fakultas tekhnik sipil universitas Damaskus.
Selanjutnya pada tahun 1968, oleh universitas dia dikirim ke irland National University dan memperoleh gelar Magister di tahun 1969 dan gelar Doktor ia peroleh ditahun 1972 dalam spesialisasi mekanika pertahanan dan fondasi. Pada tahun 1972 – 1999 ia diangkat sebagai profesor jurusan tekhnik sipil diuniversitas damaskus. Selain itu pada tahun 1982 – 1983 Syahrur dikirim oleh Universitas untuk menjadi tenaga ahli pada al sand consult di arab saudi.[2] Adapun karya-karya beliau antara lain: Al kitab wal qur’an, Al iman wa al islam, Nahwa,  ushul jadidiah lil fiqh al islami, dll.
Teori Batas Hukum (Hudud)[3]
Syahrur adalah seorang cendekiawan mesir –Syiria yang menawarkan berbagai teori inovatif dalam hukum islam, salah satunya ialah teori Hudud (teori batas hukum) atau teori limit. Teori tersebut dapat digambarkan sebagai perintah allah yang diungkapkan dalam al-qur’an dan sunnah mengandung ketentuan yang merupakan batas terendah dan tertinggi untuk manusia. Dalam kasus hukum ketetapan terendah adalah batasan minimum dan tertinggi adalah batasan maksimum. Tidak ada bentuk hukum yang lebih rendah dari batas minimum dan lebih tinggi dari batas maksimum. Hukum akan ditetapkan antara batas maksimum dan minimum tergantung dari kualitas kesalahan yang dilakukan. Berikut uraiannya.
1.      Batas maksimal
Contoh: Q.s al maidah ayat 38:
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari allah, dan allah maha perkasa lagi maha bijaksana.
Didalam ayat tersebut hukuman yang ditentukan mewakili batasan maksimum yang boleh dilampaui. Dalam kasus tersebut, hukuman bisa dikurangi berdasarkan kondisi obyektif yang berlaku dalam setiap masyarakat tertentu. Didalam surat al maidah :38 tidak memakai istilah tersebut sehingga Q.S al maidah: 33 dipakai yang artinya: sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan dimuka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri ( tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka mendapatkan siksaan yang besar.
Dalam ayat ini tertulis bentuk hukuman dengan batasan yang cukup bervariasi sehingga menyediakan ruang yang luas untuk berijtihad.
2.      Yang kedua batas minimal dan maksimal bersamaan pada satu titik atau posisi lurus atau posisi penetapan hukum partikular (ainiyah)
Posisi batas ini hanya berlaku dalam kasus zina saja, yaitu batas hukum maksimal yang sekaligus sebagai batas minimal berupa seratus kali cambukan.

Pandangan tafsir[4]
Syahrur memandang tafsir sebagai upaya manusia untuk memahami teks ketuhanan, dimana seluruh interpretasi atasnya tidak lain hanyalah usaha manusia utuk mengetahui, bertindak, dan berinteraksi dengan teks ketuhanan.
Tafsir itu bersifat nisbi, relatif, dan temporer, termasuk didalamnya adalah hasil penafsiran nabi muhammad yang oleh pemegang ortodiksi kemudian dibakukan dan dibekukan dalam bentuk hadist. Menurut syahrur interpretasi nabi atas al-qur’an berada dalam wilayah , batas kultural, dan budaya, sehingga tidak boleh dipaksakan untuk diterapkan diera sekarang. Menurutnya tafsir sebagai proses yang meniscayakan adanya dialektika secara terus menerus antara teks, akal, dan konteks yang terus berubah.

Pandangan tentang Al-Qur’an.[5]
Al kitab disifati dengan kata mubarak artinya bahwa al-qur’an memiliki bentuk tekstual yang tetap. ini tampak jelas dalam firmanya tabaraka allahu yang berarti tetap dan tidak berubah. Pengetahuan manusia selalu berkembang menuju level yang lebih tinggi dan seiring berjalannya waktu manusia dapat  menemukan di dalam alqur’an pengetahuan baru yang belum pernah diungkap. Dengan perkembangan pengetahuan manusia, akan lahir beragam pengetahuan dan teori baru. Dan teks al-qur’an mencakup semua perkembangan tersebut oleh karena itu maka al-qur’an disebut kitab mubarak.
Al qur’an adalah realitas obyektif yang bersifat material dan historis sama sekali tidak mengikuti kesepakatan mayoritas ulama, al-qur’an hanya tunduk pada penelitian ilmiah. Hendaknya kita menjebol benteng dugaan tentang aksioma ini. Maka dari itu Allah menyatakan al-qur’an sebagai hudan linnas.
*Ditulis oleh Jundatur Rohmah sebagai bahan diskusi 19 April 2017 di rumah Pak Mukhsin Jamil.


[1] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, (Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2010)
[2] Muhammad Syahrur, Prinsip  dan Dasar HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2004)
[3] Muhammad Syahrur, prinsip dan dasar hermeneutika hukum islam kontemporer, terj. Sahiron syamsudin
[4] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, (Yogyakarta: PT. LkiS Printing Cemerlang, 2010)hlm 123-125
[5]  Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar HERMENEUTIKA AL-QUR’AN Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2004) hlm 116

Post a Comment

sahabat PMII wajib berkomentar untuk menunjang diskusi di dalam blogger

Lebih baru Lebih lama